14

71.1K 3.7K 22
                                    

This is Devan's pov.
 
 
 
***
 
 
"Dia memang gila." Gumamku saat melihatnya mulai keluar dari ruanganku. Yang lebih membuatku kesal, dia bilang supaya menganggapnya sebagai adik? Apa isi otaknya itu hah?

Baiklah, aku menyerah. Kuakui aku tertarik padanya. Ingat, aku cuma tertarik. Dan aku tidak menjamin adanya perasaan lebih dari itu.

Beberapa bulan yang lalu aku sempat kebingungan kenapa adikku, Katya bisa-bisanya bersahabat dengan orang seperti dia. Pertemuan pertama kami saat di dapur rumahku, melihatku dengan tampang bodohnya. Ya aku ingat itu. Bodoh sekali sampai aku kira dia pembantu. Tapi siapa sangka, dia memang punya hubungan erat dengan keluargaku. Bahkan Bunda bilang, "Mita itu udah jadi keluarga kita".

Entahlah... mungkin dia memang baik pada keluargaku selama ini.

Aku tau jelas dari raut wajahnya dia merasa takut di dekatku. Tapi lama kelamaan ekspresi takutnya itu menguap entah kemana. Ekspresi takut itu berubah menjadi ekspresi menantang. Bahkan kelihatannya dia juga tidak peduli dengan jarak usia kami. Dia berbicara padaku seolah aku seusianya. Dia juga menganggapku menyebalkan, dingin, kasar, dan hal buruk lainnya. Seakan-akan dia makhluk paling sempurna di alam semesta.

Aku tidak masalah saat Ayah menyuruhnya bekerja di kantor yang sama denganku. Toh posisi kami juga beda. Pasti kami jarang bertemu nantinya. Makanya dengan cuma-cuma aku menyetujui keputusan Ayah. Tapi memang dasar hidupku lebih banyak sialnya daripada mujurnya. Ada saja kesempatan yang memaksaku bertemu dengannya. Di lobby, lift, ruangan ini, ruangan itu, bahkan -entah bagaimana ceritanya- di depan toilet, padahal jelas kami berada di lantai berbeda.

Anggaplah selesai masalah di kantor. Terkadang setelah pulang kerja aku menghabiskan rasa penatku ke club. Dan suatu kejutan sial, aku bertemu dengannya lagi. Aku sempat besar kepala. Kupikir dia menguntitku. Tapi akhirnya aku tau dia sama sekali tidak menyadari keberadaanku. Dia cuma duduk manis menghabiskan minumannya. Itupun kelihatannya tidak sampai mabuk. Berbeda kontras dari teman-temannya yang terkesan bitchy. Aku tau itu karena sebagian dari mereka sering menggodaku, dan bahkan salah satunya pernah tidur denganku. Jadi aku sangat tau seberapa jalang teman-temannya itu.

Namun yang membuatku bingung, dia selalu bersikap innocent di depan keluargaku. Sedangkan diluar itu jaringan pertemanannya cukup liar. Lantas hal itulah yang membuatku kurang suka melihat dia berteman dengan Katya. Cukup diriku yang berantakan, adikku jangan.

Tapi hati berkata lain. Aku memang tidak bisa sepenuhnya membencinya.

Perkenalan dia dan Gavin terjadi secara mendadak. Mau tidak mau aku harus memperkenalkan mereka. Aku juga pastikan itu cuma sekedar perkenalan belaka. Aku pun cukup yakin kalau Gavin tidak akan ingat siapa Mita. Tapi dugaanku salah, Gavin mengingatnya. Dan yang lebih ajaib lagi mereka akrab dalam jangka waktu cepat. Bermain bersamanya seolah-olah mengenalnya dari bayi. Dia... seperti seorang ibu yang sesungguhnya. Sangat jauh dari Valerie yang sibuk dengan kehidupan sosialitanya.

"Lo masih virgin, Mit?" Tanyaku penasaran.

"Yaiyalah. Salah rupanya?"

Aku lumayan kaget begitu mendengarnya masih virgin. Astaga, kenapa aku jadi menilai orang sesukaku? Dan sejak kapan juga pemikiranku jadi sempit? Seharusnya aku tau dia tidak mungkin segila itu meskipun teman-temannya gila.

Oh ya satu nama lagi, Dion. Aku tau siapa dia. Namun jangan tanya bagaimana aku bisa tau dia. Karena yang jelas segalanya mulai menarik saat melihatnya bersama Mita di club.

"Mungkin mereka cuma teman. Lagipula apa urusanku" pikirku.

Mendadak ada rasa panas di dalam tubuhku saat melihat Dion mencium Mita jelas di depan mataku. Setelah mereka melepaskan ciumannya barulah aku sadar Mita sedang mabuk berat. Brengsek! Ternyata lo ngambil kesempatan dalam kesempitan.

Hold Me CloserTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang