Katya marah besar sewaktu tau aku kabur tiba-tiba dari acara. Ini semua jelas karena Devan sialan yang bilang acaranya sudah selesai. Alhasil dengan santainya aku bergegas pulang ke apartemen dan siapin semua barang-barangku. Ya, sebentar lagi aku pergi ke puncak bareng Devan. Mengejutkan ya? Hahaha mungkin setelah ini aku akan mempertanyakan soal kewarasanku sendiri.
Aku duduk manis di sofa ruang tamu. Katanya satu setengah jam lagi Devan mau menjemputku langsung kesini. Jangan tanya gimana deg degannya aku sekarang. Kuku di jariku ini sudah gak karuan lagi bentuknya aku gigitin karena gugup.
Sekitar 10 menit bel berbunyi. Devan berdiri di depan pintu apartemenku bersama Gavin. Devan yang penampilannya tadi serba formal sekarang berubah santai dengan celana jeans dan kemeja yang warnanya hampir sama dengan celananya itu. Tapi auranya gak berubah. Tetap Devan yang gagah, dingin, dan penuh karisma. Tuh kan aku muji dia lagi.
"Katya marah." Sahutku saat kami bertiga di dalam mobil.
"Terus?"
Aku mengerutkan keningku. "Kok santai banget sih. Ini kan semua gara-gara kamu." Tuduhku.
"Kenapa jadi gara-gara aku?" Devan masih berlagak santai.
"Ya iyalah, kan kamu yang bilang acaranya sudah selesai. Tapi kenyataannya belum. Dan karena itu aku jadi seenaknya kabur pulang. Kan aku jadi gak enak sama keluarga kamu. Dan yang lebih parah lagi gimana kalau Katya tau aku kaburnya sama kamu. Mau kasih alasan apa?"
Devan mendesah. "Apa susahnya bohong? Ngapain juga kamu bilang pergi sama aku? Bilang aja ada keperluan mendadak. Selesai kan."
Aku melongo. Betapa sederhananya pemikiran laki-laki ini.
"Terus kamu sendiri mau buat alasan apa? Keperluan mendadak juga? Itu sama aja memancing kecurigaan orang, Dev."
Devan menyeringai. "Kamu gak perlu takut soal aku. Mereka gak akan heran atau bahkan kecarian kalau aku menghilang tiba-tiba."
Okelah, aku malas balas omongan dia lagi, apapun alasannya. Aku tau sampai kapan pun aku gak akan mungkin menang adu argumen sama dia.
Aku melirik ke arah jok belakang. Gavin bisa-bisanya tertidur lelap meskipun ributnya suara kami tadi. Memandangnya membuatku terkadang merasa iba, apa anak ini sudah terbiasa hidup dengan orang tua terpisah seperti ini. Usianya masih terlalu kecil untuk kehidupan bar-bar ala Devan dan Valerie. Apa Devan gak niat cari ibu tiri yang layak buat anaknya? Entahlah. Semoga aja Devan cari ibu tiri yang jauh lebih baik dari ibu kandungnya.
Entah berapa lama waktu yang kami habiskan di perjalanan. Demi menetralisir rasa gugup dan canggung, aku memilih tidur di sepanjang perjalanan. Sampai akhirnya kami sampai di villa yang menurutku terlalu besar untuk muatan kami yang cuma bertiga. Tapi suasananya gak bisa dipungkiri. Sejuk, nyaman, dan tentram. Rasanya semua beban yang ada di kota terasa menguap.
"Devan? Beneran ibu gak salah lihat kan?" Sapa seorang ibu paruh baya yang kelihatannya kaget dengan kedatangan kami. Dan kayaknya ibu ini pun kenal banget sama Devan. Sebenarnya ini villa siapa sih?
"Iya ini saya. Ibu gak salah liat kok." Devan tersenyum lembut kemudian memeluk ibu itu.
"Eh ada Gavin juga. Tapi hmm..." Pembicaraan ibu itu menggantung. "Tumbenan bawa cewek kesini. Pacar baru lagi ya?" Bisik ibu itu tapi tetap kedengaran di telinga tajamku. Aku pun jadi gelagapan pura-pura tuli.
"Bukan, dia sahabatnya Katya." Jawab Devan. "Oh iya Mit, kenalin ini Ibu Ratna. Dia bareng suaminya yang jagain villa ini. Dia juga yang suka ngasuh aku waktu kecil." Oh begitu. Pantas aja akrab banget.
Aku pun menyalami tangan ibu yang ada di depanku itu. Syukurlah Ibu Ratna ini ramah banget. Aku suka. Sifat lembutnya hampir sama kayak ibu kandung Devan sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hold Me Closer
RomanceAku cuma perempuan biasa yang gak begitu terburu-buru dengan masalah cinta. Sampai akhirnya atau lebih tepat sialnya aku bertemu dengan Devan. Pria yang dingin, kasar, dan sinis. Dan yang lebih menyakitkan lagi, Devan adalah pria dengan selera yang...