Halooo!
Gak nyampe setahun kan aku hiatus. Tapi ya gak tau juga sih entah ada yang udah lupa atau bahkan udah ada yang remove cerita ini dari library :(
Tapi jangankan kalian, aku aja lupa ceritanya sampe mana :(Yaaa biar gimanapun balik lagi ke aku sih, aku pengennya selesain ini cerita meskipun kadang aku males bgt nulisnya wkwk. Jadi ini tuh bener2 menuntut kerajinan aku buat nulis ini cerita. So, i really need your appreciation, guys!
P.S: sorry apabila mengecewakan padahal sudah lama gak update. Meskipun pake sistem kebut semalam, but i've tried my best.
Dan satu lagi, aku mau ngepost cerita baru nih. Gak gimana2 banget sih, but i need your respond. Dibaca ya yaa yaaaBtw here ya go
***
Langkahku semakin jauh dari keberadaan Devan dan Kak Windy. Aku gak tahu sejak kapan aku jadi sepengecut ini. Bukannya sombong, aku cuma merasa sampai kapanpun Katya gak akan pernah bisa menang dari aku. Dan setiap kali kami bertengkar pun memang selalu seperti itu. Tapi kenapa aku gugup?
Katya memang memiliki kelebihan yang gak bisa dianggap remeh. Dari sekian banyak bakat bodohnya, yang paling aku benci yaitu dia mampu membuat aku jadi merasa bersalah. Padahal orang-orang pun pasti setuju denganku kalau mereka tau masalah yang sebenarnya. Jadi seharusnya aku gak boleh lemah. Lagipula kalau dipikir-pikir lawanku kali ini cuma sahabatku, si anak manja.
"Tante..."
Entah kenapa tiba-tiba ada suara imut yang berasal dari arah belakangku. Aku menoleh, itu Gavin. Dia berdiri gak begitu jauh dari posisiku dan masih memakai seragam sekolah. Suram banget rasanya hidupku hari ini.
"Tante, kenapa ngomong sendiri?"
"Eh..." Kampret, ternyata dia denger aku lagi komat kamit. "Nggak apa-apa kok. Tante memang suka ngomong sendiri hehehe." Tawaku yang sebenarnya kedengaran asem banget.
"Ooh." Jawabnya singkat, tapi masih berdiri memandangiku di tempat yang sama. Gavin memang bukan tipe anak yang banyak omong. Malah lebih tepatnya misterius kayak bapaknya. Cuma dia versi angel-nya.
"Hmm, Gavin, masih ingat sama Tante?" Pertanyaan spontan yang tiba-tiba meluncur dari mulutku. Salahkan alam bawah sadarku yang penasaran setengah mati dari kemarin.
"Ingat, kok." Dia mengangguk. "Tante pacarnya Papa, kan?"
"Eitss, siapa yang bilang begitu?!" Kataku kaget.
"Papa." Jawabnya polos.
Aku menghela nafas panjang dan perlahan mendekatinya. "Sebenarnya Gavin ngerti kata pacar gak, sih?"
"Kata Papa, pacar itu nanti jadi mama buat Gavin."
Wah, kurang hebat apalagi si gila itu. Sudah bisa memanipulasi Mama dan adikku, ternyata dia juga meracuni pikiran anaknya. Tapi kenapa hatiku kecilku malah berbunga-bunga ya.
"Ya udah. Itu Papa kamu ada di belakang. Sana samperin, gih." Aku mengacak-acak rambutnya. Dan dia pun menurut ucapanku. Syukurlah.
Sekarang, saatnya kembali melanjutkan misiku. Aku melangkahkan kakiku menaiki tangga dengan cepat. Kepercayaan diriku mendadak meningkat setelah bicara bareng Gavin tadi. Tenyata anak itu bisa kasih efek positif yang luar biasa juga ya.
Aku mulai mengetuk pintu kamar Katya. Satu-dua kali masih belum ada jawaban. Terakhir aku menggedornya lumayan kuat dan barulah dia bersuara. Tapi aku sengaja gak membalas pertanyaanya. Aku kembali menggedor pintunya.
"Apaan sih gak sabaran... Mita?" Dia melototkan matanya dan langsung ingin menutup pintunya lagi. Tapi tentu aja dong aku tahan.
"Minggir! Ngapain lo disini?!" Teriaknya sambil mendorong pintu yang masing-masing sisinya kami tahan secara berlawanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hold Me Closer
RomanceAku cuma perempuan biasa yang gak begitu terburu-buru dengan masalah cinta. Sampai akhirnya atau lebih tepat sialnya aku bertemu dengan Devan. Pria yang dingin, kasar, dan sinis. Dan yang lebih menyakitkan lagi, Devan adalah pria dengan selera yang...