11

67.4K 3.7K 16
                                    

Dikit.

***

 
 
"Jarang-jarang lo pengen mabuk, Mit." Firny menepuk pundakku. Aku yang sengaja mengajaknya ke club malam ini buat mabuk-mabukkan. Aku memang lumayan sering minum, tapi gak pernah sampai mabuk. Oh iya, disini ada Dion juga. Kebetulan dia juga ada di club ini sekarang.

"Gue pusing sama kerjaan di kantor." Jawabku asal yang juga mulai setengah mabuk.

"Yaelah, baru beberapa bulan kerja udah pusing. Santai aja kali." Firny menyuruhku santai, tapi dia malah menuangkan minum untukku.

"Mit, jangan minum kebanyakan. Ntar kamu pusing." Ujar Dion yang gak kusadari udah duduk di sebelahku. Mana Firny? Bodo amat. Paling dia lagi ngincer cowok-cowok kece.

"Iya, gue gak boleh mabuk." Ucapku yang memang mulai mabuk.

"Iya, gak boleh. Nanti kamu pusing terus muntah-muntah."

Aku menggelengkan kepalaku. "Bukan, Di. Tapi nanti kalo aku mabuk siapa yang nyetirin mobil aku. Terus kalo bukan aku yang nyetir nanti pulang sama siapa dong?" Meskipun aku mabuk dan lampu sangat minim disini, tapi aku tau Dion lagi senyum kearahku.

"Nanti pulang bareng aku. Aku juga yang nyetirin mobil kamu."

Terpujilah Dion yang selalu baik padaku walaupun sikapnya waktu itu yang menciumku tiba-tiba cukup kurang ajar. Tapi mungkin dia memang kurang ajar, karena sekarang dia memelukku dan mencium keningku. Jangan lupa, itu semua tanpa persetujuan dariku. Aku memang belum punya pacar. Tapi aku bukan jablay yang harus diginiin. Aku mau menolak dan memarahinya, tapi saat ini aku lagi gak punya cukup tenaga. Jadi ku biarkan aja dia memperlakukanku kayak gini.

"Kita pulang ya?" Bisik Dion di telingaku. Bisikannya benar-benar sensual. Tapi aku gak tau apa ini perasaanku aja atau memang dia memang sensual.

"Iya.." Kataku pasrah.

Aku merasakan tangan Dion memegangi pinggangku. Aku gak tau apa dia udah pamit sama Firny atau belum. Yang jelas dia membawaku keluar dan tanpa sadar sudah sampai di basement.

Dion memasukkanku ke dalam mobil, entah mobilku atau mobilnya aku pun gak tau. Tapi aku merasa aneh kenapa Dion lama sekali masuk ke mobil ini. Aku berusaha melihat apa yang di depanku. Walaupun dengan tingkat kesadaran yang sangat rendah, aku tau saat ini Dion lagi bicara sama seseorang. Aku cuma tau seseorang itu pria, tapi aku gak tau itu siapa. Bahkan wajahnya terlihat rata di mataku.

Astaga... aku benar-benar mabuk.

***

Aku mengedipkan mataku berulang kali. Benar yang dibilang Dion, aku pusing. Aku berusaha bangun dari posisiku yang berbaring. Aku tertawa pelan. Ternyata disaat udah bangun tidur pun alkohol masih berpengaruh ditubuhku. Ku lihat tempat tidurku. Sejak kapan tempat tidurku berubah menjadi king size bed ? Bahkan ruanganku sekarang lebih besar dan beraroma cowok.

Aku memukul-mukul kepalaku supaya terbangun dari alusinasi ini. Aku tersenyum lebar. Ya, aku udah sadar. Aku gak mabuk. Ini bukan kamarku. Lalu aku dimanaa?

"Aaaaaaa!!!"

Aku berteriak frustasi. Aku berusaha mengingat kejadian tadi malam. Seingatku, aku mabuk dan Dion ngajak aku pulang. Jangan-jangan Dion yang ngelakuin semua ini. Bahkan bajuku juga udah diganti. Laki-laki yang bajingan atau aku yang bodoh?

Gubrakk... Pintu kamar terbuka secara kasar.

"Apaan sih masih pagi udah teriak-teriak?"

Aku membelalakkan mataku. Ya Tuhan apalagi ini? Kenapa ada Devan disini?

"K-kok lo ada disini?" Tanyaku terbata-bata.

Devan mengerutkan dahinya kemudian bersandar di samping pintu kamar. "Ya iyalah gue ada disini. Inikan apartemen gue."

Aku semakin frustasi. Aku gak peduli lagi gimana caranya aku yang kemarin bareng Dion bisa ada di apartemen Devan. Yang jelas dipikiranku, udah pasti terjadi 'sesuatu' kalo aku nginep di apartemen cowok playboy ini. Aku kotor..

Aku menangis. Ini benar-benar diluar dugaanku.

"Eh, jangan nangis. Lo denger dulu penjelasan gue."

Aku mengangkat kepalaku, menatap Devan yang udah ada dihadapanku. Devan duduk di pinggir tempat tidur kemudian menarikku.

"Dion itu bukan pria yang baik." Jelasnya.

"Apa bedanya sama lo!" Sahutku.

Devan kayak menggeram. "Setidaknya gue gak jahatin lo."

"Udah deh jelasin semuanya. Gak usah berbelit-belit."

Devan menahan emosinya lalu kembali tenang. "Gini ya, jangan tanya gue tau dari mana, tapi yang jelas gue tau Dion itu siapa. Jadi kebetulan atau lebih tepat sialnya gue ngeliat lo mabuk semalam. Dia meluk lo, terus kalian ciuman. Ya awalnya gue pikir lo gak mabuk. Baru gue sadar ternyata lo mabuk dan dia ngambil kesempatan dalam kesempitan." Devan menghela nafas.

"Ciuman?" Aku benar-benar gak tau soal itu. Aku memang mabuk semalam. "Terus?" Tanyaku makin gak sabar.

"Terus gue lihat dia bawa lo keluar. Perasaan gue gak enak, jadi gue ikutin kalian. Sampe di parkiran gue halangi dia. Tapi gue males nganter lo, jadi gue bawa aja kesini."

Aku tersenyum paksa. "Kalo lo males, kenapa gak biarin aja gue bareng Dion."

"Seharusnya lo berterima kasih." Devan mendesis. "Oh iya, asal lo tau aja ya, lo nyebelin banget kalo lagi mabuk. Lo masuk ke apartemen gue terus langsung nyamber kamar gue. Alhasil gue yang tidur di kamar satu lagi." Sembur Devan. Gak nyangka dia bisa marah ala emak emak.

"Hehe maaf deh. Tapi baju ini.."

"Lo muntah. Jadi mau gak mau terpaksa harus diganti. Yang gantiin asisten gue yang baru. Jadi jangan nangis lagi, karena gue gak ada nyentuh lo."

Aku lega mendengar semua penjelasan Devan. Meskipun dia ngejelasinnya secara kasar tapi aku gak nyangka segitu pedulinya dia sama aku. Aku tau sifat pedulinya ini karena suruhan Bunda. Tapi aku berterima kasih banget sama dia.

"Makas.." Baru aja mau ngucapin terima kasih tiba-tiba ada suara bel. Devan pun keluar sedangkan aku cuma bisa nungguin dia. Gak lama Devan datang dengan ekspresi kebingungan.

"Mit, lo cepetan sembunyi. Ada Katya. Gue gak mau dia nuduh kita yang enggak-enggak."

Ada Katya? Sial...







Hold Me CloserTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang