9

72K 3.9K 20
                                    

Malam ini, sepulang kerja aku menghadiri reuni SMA kecil-kecilan. Kenapa kecil-kecilan? Karena hanya 3 orang. Hanya sebagian dari teman-teman akrab waktu SMA. Kami berkumpul di sebuah club malam. Sebenarnya aku gak terlalu suka berada di tempat hiburan malam. Tapi teman-temanku suka.

"Eh Mita, bos lo kece ya?" Kata Firny tiba tiba menyebutkan kata bos, yang berarti Devan.

"Lo tau darimana?"

"Tau dong. Perusahaan gue kan ada kerja sama bareng dia." Oh begitu. Pantas aja Firny tau kalau Devan itu memang kece. Tapi Firny belum tau aja kalau sifat aslinya yang kayak pembunuh berdarah dingin.

Firny dengan asiknya menceritakan segala yang ia tau tentang Devan. Dia hanya tau garis besarnya aja. Sedangkan dalam hati aku tertawa penuh kemenangan. Karena ternyata akulah yang paling tau tentang Devan hahaha.

Namun saat ditengah asiknya mengobrol, Talia -temanku yang satu lagi-, tertawa cukup keras. Aku pikir dia mabuk. Tapi ternyata tidak.

"Devan ya? Gue udah pernah tidur sama dia." Ujarnya tiba-tiba mengagetkanku maupun Firny. Satu lagi fakta yang mengejutkan! Okelah, Devan memang brengsek. Tapi aku gak nyangka kalau temanku ini bisa jadi partner seks-nya Devan.

"Gimana bisa lo tidur sama dia?" Tanyaku dengan jiwa yang berkobar. Firny mencoba menenangkanku. Aku tau dia pasti juga penasaran.

"Sekitar 2 minggu yang lalu gue gak sengaja ketemu dia di club ini juga. Ya udah, kita ngobrol terus check in. Tapi sayang, hubungan kita cuma one night stand doang. Padahal dari lubuk hati gue yang paling dalam, gue pengen banget bisa lebih deket sama dia." Talia bercerita dengan mata berbinar. Aku menghela nafas berat. Kenapa rasanya kayak patah hati gitu ya?

"Terus, gimana dia orangnya? Hot banget pasti." Tanya Firny antusias pada Talia. Aku yakin Firny pasti benar-benar pengagumnya Devan.

"He's amazing ! Bahkan kami 3 kali melakukannya dalam semalam."

Anjrit! Gak bisa ditutupin lagi. Hati aku rasanya panas banget dengarnya. Pengen pulang terus nangis di pojok kamar. Dan hei... itu baru bareng Talia, belum lagi sama perempuan lain cuy!

"Mit, lo kok diam aja sih. Jangan-jangan lo naksir juga sama Devan ya? Atau lo memang udah pernah 'ngelakuin' juga sama dia? Secara kalian kan satu kantor bareng." Pertanyaan Talia dengan nada menggodanya membuatku kesal.

"Ih apaan sih? Dia itu abangnya temen gue. Gila aja gue nge-seks sama dia!" Jawabku ketus.

"Oh iya, gue lupa. Lo kan termasuk penganut no sex before married." Talia dan Firny tertawa secara bersamaan. Aku mendengus kesal. Memang sih, di antara mereka berdua hanya aku yang masih virgin. Bahkan pemegang predikat jomblo paling lama. Terakhir kali pacaran waktu kuliah semester 5. Abis itu belum pernah pacaran dan jatuh cinta lagi.

Devan? Masa sih aku suka sama laki-laki model begitu. Apa kata orang?
 
 
***
 
 
"Lo kok murung banget sih?" Tanya Dea -tetanggaku- yang sengaja kupanggil untuk menemaniku.

"Gue... galau De." Ucapku pelan seperti berbisik.

"Lo galau kenapa? Dion? Atau abangnya Katya?" Dea menaik turunkan alisnya. Pasti dia sedang mengejekku.

Tapi memang benar, aku galau karena Devan. Mengingat nama Devan membuatku ingin teriak dan menangis. "Gue bingung, De. Masa gue suka sih sama Devan. Demi surga dan neraka, dia itu buka tipe gue banget."

"Denger ya Mita, kita gak bisa nentuin siapa yang kita cintai. Dia bukan tipe lo, tapi bukan berarti lo gak bisa jatuh cinta sama dia."

Aku mengangguk pasrah. Benar juga apa yang dibilang Dea. "Tapi yang jelas, gue bakal tersiksa kalau suka sama dia."

"Loh, kok bisa gitu?"

Aku menghela nafas berat. "Pertama, dia itu sejenis pria brengsek, suka main perempuan. Bahkan dia udah pernah tidur sama temen gue." Aku hampir menangis. "Kedua, tipe cewek dia itu high class banget. Mana mungkin dia suka cewek butut kek gue."

Dea menggeleng-gelengkan kepalanya. Lalu tertawa. "Bisa aja dia berubah dan suka sama lo. Gak ada yang gak mungkin, Mit."
 
 
***
 
 
Tanpa terasa sudah sebulan aku gak ketemu Devan. 2 minggu yang lalu, aku pergi ke rumah Katya. Seperti yang dia bilang waktu itu, dia sudah pindah ke apartemennya. Kemudian minggu lalu aku dengar dia pergi ke Hongkong untuk urusan bisnis. Dan sekarang kenyataan yang sulit kuterima adalah aku merindukannya. Benar, perasaanku makin dalam. Aku sudah berusaha menepis perasaanku itu. Tapi yang ada makin parah.

Aku gak tau apa yang harus kulakukan sekarang. Bekerja pun gak semangat. Pengen banget rasanya naik ke lantai atas, ke ruangan Devan, ngecek dia sudah pulang dari Hongkong atau belum. Oh Tuhan, kenapa aku bisa segila ini?

Sedang asik melamun tiba-tiba ada telepon masuk. Aku mengangkatnya dengan malas. "Halo."

"Halo. Ibu Paramita, ibu dipanggil Pak Devan di ruangannya."

Mataku yang tadinya sedikit sendu karena mengantuk mendadak terbuka lebar. Hatiku rasanya seperti tumbuh beribu bunga. Devan memanggilku. Baru aja aku melamunkan dia, tapi dia sekarang memanggilku. Aku gak peduli lagi siapapun yang menelponku itu. Aku langsung bergegas menuju ke ruangan Devan. Sudah lama rasanya hatiku sebahagia ini.

Dengan girang aku berjalan ke lift. Beberapa orang di lift heran memperhatikanku yang senyum-senyum sendiri. Bahkan sampai sekretasinya Devan pun heran melihatku. Bodo amat ah! Yang penting ketemu Pak Devan.

Sebelum masuk, aku kembali dilema mengingat kejadian waktu itu. Gimana kalau aku masuk terus dia lagi make out sama cewek? Kan pedih. Dengan hati-hati kuketuk pintu itu. Syukurlah, dia menyuruhku masuk.

"Duduk." Perintahnya.

Aku duduk berhadapan dengannya. Oh Tuhan, orang yang aku rindukan sekarang berada di hadapanku. Seingatku terakhir kali bertemu, aku gak pernah segugup ini.

"Mana?" Dia mengulurkan tangannya kayak mau minta sesuatu.

"Apa?" Tanyaku heran.

"Berkasnya? Kata Ayah ada berkas yang harus gue tanda tangani, mana?"

"Ayah gak ada bilang ke gue." Memang sih ada berkas yang harus dia tanda tangani. Tapi aku gak tau kalau berkas itu harus ditanda tangani sekarang.

Devan menatapku kesal. Aku jadi takut dan merasa bersalah. "Ya udah deh. Nanti aja ditanda tangani."

Sambil menunduk meminta maaf, aku bangkit dari tempat dudukku. Perasaanku campir aduk. Aku terus menunduk, aku takut melihatnya. Pasti dia marah sama aku.

"Mit.." Devan memanggilku. Tapi suaranya lembut kali ini. Jantungku kembali berdebar gak karuan.

"Ada apa?" Demi apapun aku belum siap kalau sekarang dia ingin memarahiku.

"Lo gak makan siang?" Aku menggeleng. "Makan siang bareng gue, mau?"

Aku terdiam, mencerna apa yang dia bilang. Ini bukan mimpi, kan? Devan ngajak aku makan siang!

"Woi, lo masih hidup kan?"

Ya masih lah. "Iya, boleh kok." Kataku dengan dengan nada setenang mungkin. Mencoba stay cool , padahal hati rasanya kayak melayang ke angkasa. Hanya Devan yang bisa melakukan ini padaku.

****

Bingung mau lanjutin kayak gimana. Ya begini aja deh. Kindly vote and comment ya ;)

Hold Me CloserTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang