5

78.8K 4.5K 33
                                    

"Mama? Iya ini Mita." Jawabku pada orang yang menelponku di seberang sana, Mamaku.

"Wah, Mama seneng kamu udah dapat kerjaan yang baik. Kamu gak lupa terima kasih sama ayahnya Katya kan?"

"Udah kok, Ma. Nanti kalau liburan Mita balik kesana. Mita kangen sama semuanya." Mataku mulai memanas. Sepertinya air mataku akan menetes sebentar lagi. Aku memang rindu dengan semua keluargaku disana.

"Iya. Terlebihnya adik kamu. Dia lebih kangen sama kamu." Ucap Mama lagi.

"Iya. Kirim salam kangen sama Tia ya, Ma."

"Iya, pasti."

"Ya udah, Mita lanjut kerja dulu ya Ma. Assalamualaikum."

"Walaikumsalam."

Aku menutup sambungan telponnya. Bertahun-tahun sejak kuliah, tinggal sendiri disini membuatku jauh lebih mandiri. Aku memang dari SD sudah tinggal di jakarta. Tapi waktu kuliah, Papa dipindah tugaskan ke Semarang yang kebetulan juga kota asal Papa. Itu membuat orang tuaku akhirnya bisa melepaskanku tinggal sendirian disini.

Ku rasakan handphoneku kembali bergetar. Ternyata ada WhatsApp dari Dion.

Hei Mita. Katanya udah dapet kerjaan ya? Selamat ya.

Senyumanku mengembang. Aku membalasnya.

Iya, makasih ya.

5 menit kemudian dapat balasan lagi.

Oh, kalau gitu kapan punya waktu luang?

Mungkin malam minggu aku punya banyak waktu luang.

Ah ya. Nanti kita keluar ya. Nanti ku hubungi lagi. Oke?

Oke.

Aku tersenyum lebar. Setidaknya lumayan lah, malam minggu bisa jalan berdua bareng cowok. Biar gak kelihatan banget jomblonya.
 
 
***
 
 
Hari ini aku absen di kantor karena menghadiri acara wisuda Katya. Absen satu hari aja gak apa apa dong. Lagi pula kan buat kepentingan Katya.

Katya cantik banget dengan balutan kebaya dan toganya. Sifat terharunya terlalu berlebihan. Dia nangis terus karena gak nyangka dia bisa dapat gelar dr.

Tapi sejujurnya aku salut sama dia. Dibandingkan aku, Katya memang jauh lebih pintar. Dia bisa lulus tepat waktu. Sedangkan aku... kuliah 11 semester, lima setengah tahun, hanya karena nilaiku banyak C bahkan D. Bodoh? Iya bodoh.

Katya berfoto bersama orangtuanya, kemudian diikuti bersama kedua saudaranya. Dari beberapa kali ketemu, untuk pertama kalinya aku ngeliat Devan senyum. Sungguh momen yang sangat langka. Meskipun senyumnya gak selebar senyum anggota keluarganya yang lain.

"Congratulations, spoiled girl." Devan memberikan sebuket bunga berwarna pink, warna kesukaan Katya.

"Thanks, Kak Dev."

Katya dan Devan saling berpelukan. Aku hanya bisa tersenyum menyaksikan momen bahagia kakak beradik itu. Aku yakin, Devan sebenarnya penyayang. Tapi karena dia memang dasarnya dingin, ya mau bagaimana lagi.

Pandanganku gak bisa lepas memandangi wajah Devan. Ganteng, tinggi, keren, dan belum nikah alias berstatus bujangan. Ciri-ciri yang hampir sempurna. Tapi ngomong-ngomong sudah punya pacar belum ya? Masa umur setua gitu gak pengen nikah. Kan malu sama kucing.

Disaat aku masih memandanginya, tiba-tiba saja dia melihat ke arahku. Kacau, kali ini aku ketahuan diam-diam ngeliatin dia. Pasti dia kegeeran. Atau yang lebih parah dia jadi makin jijik sama aku.

Katya menyuruhku agar mendekat. Aku pun berjalan mendekati mereka. Dan ya, aku berada di samping Devan sekarang. Mau negur, tapi takut. Gak negur, merasa bersalah.

Aku pun terpaksa memberanikan diri. "Pak..."

"Itu hanya untuk di kantor." Jawabnya tegas.

"Jadi panggil apaan dong?" Tanyaku polos.

"Lo temennya Katya, kan? Jadi panggil gue sama kayak Katya."

OH! Bisa juga nih anak ngomong secara non-formal ke aku. Tapi tunggu dulu. Jadi aku panggil dia dengan sebutan 'kakak"? Kok rasanya terkesan sok imut gitu ya kalau aku panggil dia kakak.
 
 
***
 
 
Keesokan malamnya, sesuai janji, Dion mengajakku keluar malam minggu. Aku memperhatikan penampilannya, kontras banget sama penampilanku. Meskipun gak bisa dibilang formal, tapi yang jelas beda banget deh sama aku. Dia pake kemeja dilapisi blazer, terus aromanya wangi banget. Sedangkan aku cuma pake kaos dengan tulisan band favoritku 'Artic Monkeys' dan celana jeans, dan juga aromaku cuma wangi sabun campur deodoran.

"Udah siap kan? Yaudah yuk." Ujar Dion sambil menarik tanganku. Dasar Dion, suka main tarik tangan orang sembarangan. Alhasil aku pun pasrah. Lalu kami pun berjalan menuju lift dan parkiran.

Ternyata dia membawaku ke restoran di hotel yang berkelas. Pantesan tampilan dia begini. Tapi masalahnya penampilan aku yang gak pantes banget. Kayak majikan dan babu.

"Kamu kok gak bilang sih mau bawa aku kesini. Kalau gak kan aku gak pake baju kayak gini."

"Gak apa apa kali, Mit. Lagi pula kamu mau pake baju apa? Kebaya?"

Dion memang kenal aku banget. Dia tau aku gak suka pake baju bergaya girly. Bahkan dari dulu dia tau aku nyamannya pake kaos atau kemeja dan celana jeans.

"Sepele banget sih! Minimal aku punya dress meskipun itu gak formal."

Dion menyentil jidatku. "Udah deh. Tinggal makan aja kok ribet."

Aku pun memilih berhenti membahas busana. Kami pun memesan makanan dan menunggu pesanan sambil mengobrol obrolan ringan. Namun dengan sontak obrolanku terhenti ketika mataku seperti menangkap keberadaan seseorang. Seseorang yang bernilai sangat sentimen di mataku.

Devan, bareng cewek. Mereka pegangan tangan. Terus Devan juga senyum ke cewek itu. Apa itu pacarnya? Ah... aku yakin banget itu pacarnya. Ternyata dugaanku salah, dia memang punya pacar. Selera Devan benar- benar tinggi. Cewek itu cantik banget. Putih, mulus, langsing, tinggi. Dan apalah daya diriku.

Hold Me CloserTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang