15

78K 3.7K 40
                                    

Coba kita balik lagi ya ke Mita
  
 
-----------
  
 
"Kenapa sih Mit kok murung terus?" Tanya Firny sambil mengelus kepalaku seolah aku anak kecil. "Sikap lo buat gue bingung. Lo gak ada nangis, tapi muka lo itu kelihatan banget sedihnya. Cerita dong Mit." Lanjutnya.

Aku memiringkan kepalaku menghadapnya. "Cuma masalah Dion kok." Aku mencoba tersenyum semanis mungkin agar dia percaya apa yang kukatakan. Saat ini, aku benar-benar gak mengerti perasaanku sendiri. Sebenarnya satu-satunya manusia yang sepenuhnya paling mengerti diriku cuma Katya. Tapi rasanya gak mungkin banget aku cerita masalah Devan ke dia. Jadilah aku disini, di rumah Firny berniat curhat namun jatuhnya aku malah berbohong.

"Kenapa sama Dion? Dia ngajak balikan?" Tanya Firny. Aku menggeleng pelan. "Jadi  apa masalahnya?"

"Menurut lo, Dion itu termasuk cowok brengsek gak sih?" Aku menggigit bibir bawahku, teringat omongan Devan yang secara gak langsung bilang Dion bukan cowok baik-baik. Kalau dipikir-pikir sok tau banget sih tuh orang.

Firny terkekeh. "Mita sayang, jaman sekarang siapa sih cowok yang gak brengsek. Ck.. lo jangan kepolosan deh. Nanti lo malah jadi bahan para cowok brengsek." Aku mendengus. Bener kan, ngomong sama Firny gak ada benernya. Malah aku dibilang kepolosan lagi. Iss...

"Buruan sana cari pacar. Biar gak galauin Dion lagi. Apa perlu gue daftarin ke biro jodoh?" Ejek Firny. "Bodo amat!" Jawabku ketus. Tuh kan, lagi-lagi dia kira aku masih cinta sama Dion.
 
 
 
***
 
 
 
Sudah entah hitungan hari ke berapa aku terus bertingkah seperti penyusup di kantorku sendiri. Dari awal masuk lobby, aku harus mengintip dulu dari balik dinding supaya bisa memastikan apakah lift aman atau tidak. Lalu begitu keluar dari lift dengan secepat kilat aku masuk ke dalam ruanganku. Bahkan mau ke toilet pun aku harus mengintip dulu situasi di toilet itu. Sekretaris, rekan, bahkan security pun merasa ada yang aneh dengan tingkahku. Mereka terus bertanya-tanya dan mungkin menganggapku stress. Lebay memang, tapi begitulah kenyataannya. Karena jika aku bertemu dia lagi, dia pasti bakal berbuat ulah yang aneh lagi.

Devan memang bisa dikatakan bos. Namun kalau pada umumnya bos itu cenderung sulit untuk didekati, sulit untuk ditemui, selalu berada di ruangannya... Maka lain halnya dengan Devan. Percaya gak percaya dia itu layak dinobatkan sebagai hantu penunggu di kantornya sendiri. Lasak dan keliaran terus. Aneh kan..

 
Tok tok..

 
"Masuk."

"Permisi, ibu panggil saya?" Tanya Nanda, sekretarisku dengan muka polosnya. Seperti biasa.

"Ehm begini.." Otakku berpikir harus mulai darimana. Aku takut Nanda salah persepsi. "Pak Devan ada dimana ya?" Ahh... sebuah kalimat pertanyaan biasa namun terdengar menjurus kayak pengungkapan perasaan. Tapi tunggu dulu! Ini tidak seperti yang kalian pikirkan. Aku tanyain Devan karena ada beberapa berkas yang harus dia tanda tangani. Itu aja kok. Iya.. itu.. aja..

Baiklah aku menyerah. Yang namanya perasaan emang gak bisa ditutupin terus-terusan. Sebagian otakku memang bertanya-tanya dimana keberadaannya. Akal sehatku selalu menyuruhku untuk menjauhi Devan. Tapi kenyataannya aku selalu mengikuti kata hatiku yang sudah pasti berlawanan dari akal sehatku itu. Huh ternyata aku terlalu naif.

"Ooh saya dengar dia baru pulang dari Kalimantan. Terus kata sekretarisnya begitu pulang dari sana dia langsung sakit. Udah berhari-hari sih, kayaknya parah." Ujar Nanda masih dengan tampang polosnya. Mendadak perasaanku mulai khawatir. Tapi gak mungkin kan aku tunjukkin secara blak-blakan. Ntar ketahuan banget aku naksirnya.

"Oh ya sudah." Jawabku disertai keluarnya Nanda dari ruanganku.

"Aaargghh!!! Apa katanya tadi? Parah?!" Teriakku setelah memastikan Nanda sudah menjauh dari ruanganku. "Ya ampun, ngapain juga gue harus khawatir. Kan lebih bagus lagi kalo dia mati." Aku menggelengkan kepalaku cepat. "No, no, no, dia gak boleh mati."

Hold Me CloserTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang