Aloha!
Aku update extra part nih buat kalian yang pada request. Dan alurnya pun sesuai yang kalian banyak request juga. Standar dan berantakkan, tapi gak apalah.Love,
Belizzes.
***
Aku membuka mataku perlahan setelah merasakan ada pergerakan di sampingku. Aku tersenyum melihat Gavin yang sudah tertidur pulas sambil memelukku. Meskipun gak setiap hari, tapi aku lumayan sering menemani Gavin tidur di kamarnya untuk sekedar mengobrol tentang kegiatannya di sekolahnya, ataupun cerita tentang semasa aku kecil yang berakhir ketiduran disana. Dan Devan adalah orang yang selalu membangunkanku apabila tertidur di kamar Gavin. Tapi untuk malam ini, sepertinya aku harus bangun sendiri.Pagi ini, kami kembali bertengkar. Namun bukan sekedar pertengkaran ringan yang biasa kami lakukan. Setelah menikah, aku dan Devan berjanji untuk selalu terbuka dan dilarang merahasiakan masalah apapun. Dan sejauh ini aku menepati janji itu. Kecuali untuk masalah momongan. Memang, kami baru 10 bulan menjalani rumah tangga. Tapi aku tetap gak bisa menutupi perasaan kalau aku benar-benar pengen punya anak dari rahimku sendiri. Aku pernah beberapa kali menyindir soal itu ke Devan. Dan jawabannya cuma, "Santai aja, umur kamu kan masih muda. Gak usah buru-buru amat". Aku pun mencoba meresapi ucapannya. Tapi masalah itu tetap aja terpikir di otakku. Alhasil aku memilih diam pagi ini saat dia bertanya apa masalahku. Karena aku rasa Devan gak akan bisa mengerti.
Memang rejeki itu gak ada yang tahu. Padahal aku dan Devan terbilang sering melakukan dibandingkan rata-rata pasangan lain. Jika idealnya sekali seminggu, maka kami melakukannya tiga kali seminggu. Selain karena nafsu Devan yang terbilang lumayan besar, aku pun juga berkeinginan untuk punya anak. Padahal sebelum menikah aku gak pernah sekali pun terpikir soal anak. Dunia selalu berubah. Bahkan sekarang saja aku sudah bisa dinobatkan menjadi pelanggan apotek saking seringnya membeli alat test pack. Sekali beli pun bukan hanya satu, tapi lima test pack. Dan sampai yang terakhir, hasilnya masih negatif.
Flashback dua bulan yang lalu ketika aku menemani Gavin ke Singapura untuk bertemu mamanya. Valerie? Yes, she is. Aku lakukan itu setelah berulang kali membujuk Devan agar mengizinkan Gavin bertemu mamanya. Sekarang aku memang mama barunya dan aku juga menyayanginya sepenuh hati. Tapi betapa dosanya aku kalau menjadi benteng penghalang antara anak dan ibu kandung. Jadi setelah berusaha sebisa mungkin, akhirnya Devan memberi izin asalkan aku ikut menemani Gavin saat disana.
Sambutan pertama sampai di bandara adalah tatapan dingin Valerie yang menatapku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Dia bahkan menarik tangan Gavin yang daritadi kupegang erat. Dia dan Gavin berjalan lebih dulu sedangkan aku mengekor di belakang mereka. Tujuan pertamanya adalah restoran yang ada di bandara itu juga. Dia dan Gavin duduk bersebelahan, dan aku dengan posisi berhadapan dengan Valerie. Sikapnya pun jauh lebih buruk dari yang tadi. Dia sibuk berbicara dengan Gavin dan gak sedikitpun melihatku. Mungkin dia menganggapku seperti tumbuh-tumbuhan sekarang. Saat makanan pesanan kami datang, barulah dia angkat bicara.
"Kamu program hamil?" Tanyanya tiba-tiba. Aku kesal. Dari sekian banyak kalimat pembuka, kenapa harus ini yang dia tanyakan.
"Menurutmu?" Tanyaku balik. Dia tersenyum sinis.
"Dari gayanya, aku yakin sih nggak."
Aku mulai jijik melihat ekspresi wajahnya. Sudah sejauh ini pun dia masih aja dendam rupanya.
"Asal tau aja ya, waktu itu aku cuma tiga kali ngelakuin sama Devan. Eh... udah langsung hamil aja."
Aku mengenggam garpuku erat. Menahan tingkat emosi dan kadar waras yang sedang berperang agar gak menusuk matanya dengan garpu yang kugenggam.

KAMU SEDANG MEMBACA
Hold Me Closer
RomanceAku cuma perempuan biasa yang gak begitu terburu-buru dengan masalah cinta. Sampai akhirnya atau lebih tepat sialnya aku bertemu dengan Devan. Pria yang dingin, kasar, dan sinis. Dan yang lebih menyakitkan lagi, Devan adalah pria dengan selera yang...