19

174 117 117
                                    

Paginya, Keana lebih banyak diam daripada berbicara. Orang-orang yang melihat itu ada yang merasa aneh dan ada juga yang bersyukur karena dibebaskan oleh ocehan dan sifatnya yang menyebalkan.

Tadi pagi waktu datang ke sekolah, ia sudah disuguhi dengan berbagai macam pertanyaan mengenai pelipisnya yang diberikan plester luka. Orang-orang tidak melihat lututnya yang juga terluka karena ada roknya yang menutupi luka itu.

Luka di kepala Keana membuat orang-orang ada yang prihatin dan ada juga yang mengatakan bahwa itu adalah karma untuknya.

Keana pun hanya membalas orang-orang itu dengan tertawa dan ia hanya berkata bahwa kepalanya luka karena terkena lemparan batu dari orang iseng. Keana jujur-jujur saja menjawabnya. Namun, ia tak menceritakan kejadian itu dengan detail.

"Tumben lo diem aja. Kesambet apaan lo?" tanya Daniel menghampiri meja Keana.

Keana menoleh. "Nggak tahu, lagi males aja."

"Bagus deh. Lebih baik kek gini. Lo kalau kumat meresahkan banget tahu nggak sih? Gue jadi bosen ngeliat lo dan sikap lo."

Keana melebarkan matanya. "Apa lo bilang?! Awas nanti lo kangen sama sikap gue yang ceria!"

Daniel hanya mengedikkan bahunya cuek. Ia lalu menatap semua teman yang ada di kelasnya. "Oiya, kertas aneh itu udah nggak ada lagi kan?"

"Iya, udah nggak ada. Kepala sekolah bener-bener udah ngurus masalah ini dengan baik!" sahut Aina.

Keana tersenyum kecut. Ia mengingat kejadian tadi malam. Si misterius itu seperti mengancamnya. Games? Ah, sudahlah. Kenapa ia harus memikirkan hal itu. Orang itu pasti hanya iseng dan ingin menakut-nakutinya. Ia jadi berpikir, apakah kepala sekolah benar-benar sudah menyelesaikan masalah ini? Atau berhentinya kertas aneh itu ada hubungannya dengan dirinya?

"Btw, orang dibalik semua ini emang udah ketemu ya?" tanya Kayla.

"Tau tuh. Keknya udah deh cuma pak kepsek nggak mau ngasi tahu aja. Udah sih, yang penting sekarang kita bebas dari kertas-kertas aneh ituuu!" seru Naysa girang.

"Nggak asik anjir. Kalo kertas itu udah nggak ada, berarti jam masuk kita balik ke semula lagi dong. Gue jadi nggak bisa puasin maen game pagi-pagi!" celetuk Daniel.

"Lo mikirnya game mulu. Nggak sakit apa mata lo maen game mulu Nil?" Keana menyahut.

"Enggak dong. Gue kan emang jago!" Daniel mengangkat dagunya angkuh.
"Iya kan, Sel?" Daniel menatap ke arah Sela yang sedang melamun di belakang kelas.

Di kelas ini memang hanya Sela yang duduk sendirian. Posisi-nya pun juga berada di pojok kiri paling belakang. Benar-benar kesukaan Sela. Menyendiri.

Sela tak kunjung sadar dari lamunannya membuat Daniel melangkah ke arah Sela. "Liat nih, Sela orang pro aja matanya nggak sakit main game mulu. Ya kan, Sel?" Daniel menyikut pelan tangan Sela membuat Sela tersadar dan menoleh ke arah Daniel.

"Jangan sentuh gue." Sela menatap Daniel tajam. Sedangkan yang ditatap hanya terkekeh pelan dan meminta maaf.

Orang-orang yang melihat tingkah Daniel memutar bola mata malas. Sedangkan Keana menertawakan Daniel sambil beberapa kali memberikan ejekan padanya. Oke, sifat bobroknya kumat lagi. Ia memang masih memikirkan kejadian semalam. Bagaimana misterius itu mengatakan bahwa ia akan menyakiti sahabatnya. Namun, ia tetap berusaha tenang dan melupakan hal itu.

"Sel, mabar yuk!" ajak Daniel.

Daniel, Sela, dan Rika adalah anak gamers. Banyak juga anak gamers lainnya di kelasnya. Di antara mereka bertiga, orang yang paling jago dan hebat bermain game adalah Sela. Pangkatnya juga paling tinggi diantara teman-temannya. Siapa pun orang yang mabar dengannya adalah orang yang sangat beruntung. Apalagi Sela sangat jarang mau bermain game bersama orang lain sekali pun bersama Rika, sahabatnya.

Keana's Life GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang