Part 2 (Menikah)

2K 132 2
                                    

Dikira Miskin oleh Keluarga Suami

Part 2 (menikah)

'Ada apa? Apa ada yang salah dengan penampilanku?' batinku.

Aku memperhatikan penampilanku. Setelah memastikan tidak ada yang salah, aku kembali menatap mereka bertiga dengan menampilkan senyum ramah.

"Bu, kenalin, ini Amira, pacar Galih yang Galih ceritain sama Ibu," ucap mas Galih memperkenalkanku. Aku melangkah untuk bersalaman dengan ibu Mas Galih, tetapi beliau enggan membalasnya.

Aku merasakan hawa tak enak disini, sepertinya ibu Mas Galih tidak menyukaiku. Dan dua orang perempuan tadi ternyata adalah adik Mas Galih. Mereka bertiga menatapku dengan tatapan mengintimidasi.

Tanpa membalas jabat tanganku, mereka bertiga ngeloyor masuk ke kamar. Aku merasa tak enak berlama-lama disini.

"Neng, maafin ibuk sama adik-adik Mas ya." Mas Galih meminta maaf padaku soal perlakuan keluarganya.

"Iya mas, nggak papa."

"Yaudah kamu duduk dulu ya, Mas mau ngambilin minum buat kamu." Mas Galih mempersilahkanku duduk.

Ku amati ruang tamu ini. Cenderung kecil, bahkan dengan jika dibandingkan dengan kamar tidurku pun tidak ada separuhnya.

Didinding, aku melihat sebuah foto keluarga. Terdapat foto Mas Galih, ayahnya, ibunya dan kedua adiknya. Namun, dari tadi aku tak melihat sosok ayah Mas Galih.

"Ini Neng minumnya, maaf ya cuma ada teh anget aja." Mas Galih datang dengan membawakan teh hangat untukku.

"Iya Mas, makasih ya."

"Oh iya, Mas, itu siapa?" Tunjukku kearah foto didinding.

"Oh itu foto keluarga mas. Ada ayah, ibu, Sinta dan Tari. Tapi ayah mas udah meninggal tujuh tahun lalu. Jadilah mas tulang punggung keluarga," jelas mas Galih.

"Oh maaf ya, Mas, aku nggak bermaksud buat ngingetin Mas sama ayahnya Mas," sesalku.

"Nggak papa kok Neng."

"Oh iya, selama kita kenal, mas kok belum pernah denger tentang keluarganya Neng ya?" tanya Mas Galih.

"Oh itu, aku sebenarnya orang perantauan. Bapak sama ibuku udah meninggal saat aku masih umur 11 tahun karena kecelakaan. Sejak saat itu aku diurus sama nenek. Aku nggak punya saudara karena aku anak tunggal. Dan 4 tahun lalu nenek meninggal jadi aku putusin untuk merantau kesini dan bekerja jadi ART," jelasku.

"Oh gitu, yang sabar ya, Neng." Mas Galih berbicara sambil mengusap pelan punggungku.

"Emm, maaf Neng, terus selama ini kamu tinggal di rumah itu? Terus emang tuan rumahnya kemana ya, Neng? Mas kok nggak pernah lihat padahal udah beberapa kali kesana."

"Ohh, itu emm anu, tuan sama nyonya ngurus bisnisnya di luar kota, jadi cuma sebulan sekali kesininya," jawabku berbohong.

'Maafkan aku mas terpaksa harus bohong, aku cuma pengen tau apakah kamu serius dengan hubungan kita jika seandainya aku hanyalah orang yang tak punya apa-apa," batinku

"Umm, Neng, terus kalau kita nikah, kamu mau nggak tinggal disini. Kan mas anak laki-laki satu-satunya. Mas juga masih punya tanggung jawab buat nyekolahin Tari yang masih SMA."

"Iya, mas, asalkan sama kamu, dimana pun aku mau," jawabku menunduk menyembunyikan pipiku yang terasa menghangat.

"Makasih ya, Neng." Mas Galih mendekat ingin memelukku. Reflek aku menghindar.

"Belum halah atuh Mas," ujarku.

Mas Galih hanya cengegesan sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.

**********************

"Sah?" tanya pak penghulu kepada para saksi.

"SAH!" jawab saksi serempak.
  
Alhamdulillah, kini aku sah menjadi istri Mas Galih. Hanya acara sederhana, ijab qobul pun dilakukan di KUA.

Dari pihakku hanya ada Mbok Jumi dan Pak Kosim, dan dari pihak Mas Galih dihadiri oleh 6 orang, yaitu ibu, dua adik Mas Galih, dan lainnya adalah saudara dari ibu Mas Galih.

Tak apa hanya acara yang sangat sederhana, yang penting adalah isi dari acaranya.

Tapi aku merasakan bahwa ibu Mas Galih yang kini sudah jadi ibu mertuaku itu masih enggan untuk menerimaku. Terlihat dari caranya menatapku. Apalagi adik-adik Mas Galih, Sinta dan Tari.

Hah! rasanya aku ingin mencolok bola matanya yang terus menatapku dengan sinis itu.

'Sabarkan hatiku YaAllah,' bisikku dalam hati.

************************

Setelah acara selesai, aku langsung diboyong ke rumah Mas Galih. Aku meminta izin kepada suamiku itu untuk mampir dulu ke rumahku untuk mengambil beberapa pasang baju dan celana selama aku tinggal di rumah Mas Galih.

"Mas, kamu tunggu dulu disini nggak papa ya?" pintaku kepada Mas Galih untuk menungguku di luar rumah.

Bisa gawat kalau Mas Galih masuk dan tau kalau rumah ini adalah rumahku karena terdapat banyak foto-fotoku dan almarhum kedua orangtuaku yang terpampang rapi didinding.

"Iya, nggak papa. Jangan lama-lama ya," pinta Mas Galih.

Aku langsung menuju ke kamarku yang berada di lantai atas.

Saat sedang beberes baju, tiba-tiba Mbok Jumi datang sambil menangis.

"Neng? Neng yakin mau tinggal di rumah Mas Galih? Neng kan tau kalau rumah Mas Galih teh kecil, belum lagi harus tinggal sama mertua dan adik ipar." Mbok Jumi berkata sambil menangis. Mungkin dia pikir aku akan tinggal di sana dalam waktu yang lama.

"Mbok tenang aja ya, aku di sana akan baik-baik aja. Tiap hari aku akan ke sini kok, 'kan Mbok tau kalau aku itu dikira ART sama Mas Galih, jadi nanti aku bakalan izin buat kerja lagi ke rumah ini," jelasku kepada Mbok Jumi agar beliau sedikit tenang.

*************

Sesampainya di rumah Mas Galih, aku langsung masuk ke kamar dan membereskan pakaianku dari dalam tas untuk aku tata didalam lemari.

Tiba-tiba mertuaku berdiri di ambang pintu dan berkata ...

"Heh, disini nggak ada yang gratis ya! Saya nikahin kamu sama anak saya bukan cuma-cuma! Kamu tiap hari harus nyapu, ngepel, masak, nyuci dan bersihin semua rumah ini! Inget kamu disini cuma numpang, jadi sadar diri aja!" ucap mertuaku itu dengan nada tinggi.

Setelah mengucapkan kata-kata yang menurutku tak pantas itu, ibu mertuaku langsung pergi.

'Padahal baru beberapa menit masuk ke rumah ini. Belum apa-apa aku harus sudah dihadapkan dengan sikap mertuaku yang semaunya. Belum lagi nanti adik iparku. Ah, semoga saja Mas Galih tidak seperti mereka,' doaku dalam hati.

Dikira Miskin oleh Keluarga Suami (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang