Dikira Miskin oleh Keluarga Suami 24
Part 24 (pekerjaan Sinta)
Setelah Bu Sofiatun pergi agak menjauh, aku menghampiri sopir taksi yang tadi kupesan.
"Pak, kalau bapak mau pulang nggak papa. Ini saya bayar full ya pak, dan saya tambahin tip nya," ucapku sambil menyerahkan beberapa lembar uang untuk Pak Sopir yang sudah menunggu ku dari tadi.
"Yasudah Mbak, terimakasih," ucap Pak Sopir lalu pergi meninggalkanku.
Selepas Pak Sopir pergi, aku langsung menuju ke warung kopi dimana Sinta sedang menunggu Bu Sofiatun.
"Mau pesan apa Mbak?" tanya penjual kopi yang seorang wanita.
"Ehm ehm." Aku membenarkan suaraku agar tak dikenali Sinta.
"Pesan susu coklat hangat satu ya," ucapku.
"Baik. Tunggu sebentar ya Mbak," ucapnya lalu pergi untuk membuatkan pesananku.
"Mbak," ucapku menyapa Sinta karena Sinta dari tadi menatapku. Aku takut Sinta curiga dengan penampilanku.
"Hmm," jawab Sinta ketus lalu memalingkan wajah dan kembali memperhatikan Bu Sofiatun.
Kriiinnngg
Ponsel Sinta berdering.
"Halo Om," ucap Sinta diponsel.
"...."
Aku tak bisa mendengar apa yang diucapkan si penelpon.
"Bisa Om. Tapi nanti ya jam 9 malem aku langsung ke hotel. Sekarang aku lagi sibuk," ucap Sinta.
"..."
"Oke Om siap itu mah. Tapi ditambahin ya bayarannya, nanti aku kasih service terbaik buat om," ucap Sinta dengan suara dibuat selembut mungkin.
"...."
"Oke om. Bye," ucap Sinta mengakhiri panggilan.
Aku sengaja berpura-pura cuek dan tidak mendengar percakapan Sinta.
"Ini mbak pesanannya," ucap penjual kopi sambil meletakkan susu pesananku.
"Mbak, saya minta sedotan ya. Ini bibir saya lagi sariawan jadi agak susah minumnya," ucapku berbohong. Sebenarnya aku meminta sedotan agar aku tak perlu membuka maskerku terlalu lebar agar Sinta tak melihat wajahku.
"Baik Mbak," ucap Mbak penjual kopi mengambilkan sedotan dan menyerahkan kepadaku.
"Mbak, itu nggak kasian sama ibunya disuruh kaya gitu," ucap Mbak penjual kopi kepada Sinta.
"Udah, biarin aja," ucap Sinta ketus.
"Kasian tau Mbak, ibunya lagi sakit kaya gitu disuruh ngemis-ngemis padahal embak nya masih sehat. Harusnya embaknya yang kerja terus ngurusin ibu nya."
"Udah deh Mbak. Nggak usah ngurusin urusan saya," ucap Sinta mulai tak senang.
"Bukan mau ikut campur Mbak. Saya cuma nggak tega aja ada orang tua di kaya gitu apalagi lagi sakit. Coba bayangin mbak, kalau embak udah tua terus disiksa sama anaknya mbak. Emang mbak mau?"
Brakkk
Tak disangka-sangka Sinta menggebrak meja.
"Mbak! Mau diapain kek itu urusan saya! Ibu juga ibu saya! Jadi saya harap mbak nggak usah ikut campur sama urusan saya," ucap Sinta emosi.
"Yaudah maaf Mbak. Saya cuma ngasih tau," ucap Mbak penjual kopi lalu masuk ke dalam warung.
Selagi aku meminum susu, aku sesekali melihat Bu Sofiatun saat Sinta lengah. Aku tak mau jika tertangkap basah sedang memperhatikan Bu Sofiatun.
Aku melihat Bu Sofiatun menengadahkan tangannya kepada siapa saja yang melintas di depannya.
Cukup lama aku berada di warung bersama Sinta, aku tak mau Sinta curiga karena aku yang tak kunjung pergi.
"Mbak," ucapku memanggil si penjual kopi.
"Berapa?" tanyaku.
"Susu aja Mbak? 5 ribu," ucapnya.
Aku memberikan selembar uang sepuluh ribu dan menyuruh si penjual mengambil kembaliannya.
"Makasih Mbak," ucapnya.
Aku hanya mengangguk.
Sebelum pergi dari warung, aku telah memesan taksi online. Setelah taksi yang ku pesan datang, aku langsung naik ke mobil.
"Pak, deketin wanita itu ya," ucapku kepada sopir sambil menunjuk ke arah Bu Sofiatun.
"Baik Mbak," ucapnya.
Setelah itu, mobil melaju mendekati Bu Sofiatun, dan benar saja, saat mobil hampir melintas di hadapan Bu Sofiatun, tangan Bu Sofiatun menengadah untuk meminta belas kasian orang berupa uang.
Aku membuka kaca mobil sedikit dan memberikan sejumlah uang kepada Bu Sofiatun, tak banyak karena aku tau uang itu pasti nantinya akan diambil oleh Sinta.
"A-a-cih," ucapnya.
Aku hanya mengangguk. Aku melirik ke arah Sinta. Sinta memperhatikan kami. Aku buru-buru menutup kaca mobil dan menyuruh pak sopir untuk melajukan mobil.
"Pak stop pak," ucapku kepada pak sopir.
"Iya Mbak," ucapnya lalu menghentikan mobil.
"Sebentar ya Pak, saya lagi mau ngawasin mereka," ucapku kepada pak sopir sambil menoleh kebelakang dan memperhatikan Bu Sofiatun.
"Baik, Mbak."
Walaupun aku tak mendengar apa yang mereka katakan, setidaknya aku bisa melihat apa yang mereka lakukan.
Tak lupa aku merekam semua kejadian agar nanti jika ada sesuatu yang tidak diinginkan terjadi, aku punya bukti.
Aku melihat Sinta mengambil paksa uang yang tadi kuberikan. Tapi kali ini tidak ada adegan tarik-menarik seperti tadi.
Setelah itu, Sinta mendorong kursi roda Bu Sofiatun dan pergi. Mungkin mereka akan pulang. Aku meminta sopir untuk mengikuti mereka dari jarak yang agak jauh agar tak ketahuan.
Ternyata benar, mereka pulang ke kontrakannya. Mereka pulang dengan jalan kaki, karena memang jarak dari tempat tadi ke kontrakan mereka tidak terlalu jauh.
Aku masih memantau jarak jauh dari tempat kontrakan Mas Galih. Sekitar setengah jam, aku melihat Sinta keluar lagi dengan mengenakan pakaian yang berbeda.
Dia mengenakan rok span hitam pendek dipadukan dengan blazer. Yang menjadi perhatianku adalah rok yang dikenakan Sinta benar-benar sangat pendek. Bahkan ... ahh aku tak mau bilang!
Sinta berjalan menuju ke arah sebuah mobil yang berada tak jauh dari taksi online yang ku tumpangi. Bahkan dia sempat melintasi taksiku, membuatku harus menunduk agar tak ketahuan.
Saat sudah sampai di dekat mobil, aku melihat ada seorang pria paruh baya keluar dari mobil dan menyambut Sinta. Astaga!!! Bahkan mereka melakukan cipika-cipiki!
Setelahnya mereka kembali masuk ke dalam mobil dan melajukan mobilnya.
Aku meminta pak sopir untuk membuntuti mereka. Sekitar hampir satu jam, ternyata mereka datang ke sebuah hotel yang sebenarnya cukup jauh dari kontrakan Mas Galih.
Mereka berdua berperilaku tampak seperti sepasang kekasih, padahal jika dilihat dari umurnya, laki-laki tadi lebih pantas menjadi ayah Sinta.
Sinta bergelayut manja di lengan om-om tadi tanpa rasa malu. Apalagi pakaian yang dikenakannya sangat minim. Bahkan tak sungkan si om-om tadi meremas bagian belakang Sinta dan Sinta hanya cekikikan.
Astaga! Sinta!
KAMU SEDANG MEMBACA
Dikira Miskin oleh Keluarga Suami (TAMAT)
DiversosBagaimana jadinya jika pengorbanan kita sebagai seorang istri tak pernah dihargai hanya karena status pekerjaan?