Dikira Miskin oleh Keluarga Suami 22
Part 22 (Karma Bu Sofiatun)
Pov Amira
"Ma, Pa, liat deh calon mantu Papa sama Mama mukanya udah kaya kepiting rebus," ucap Reyhan kembali menggodaku.
Ah memang sepertinya mukaku sudah memerah seperti kepiting rebus.
Aku bingung, bagaimana jika mereka tau bahwa aku sampai saat ini masih berstatus istri orang.
Bahkan orang-orang kantor sampai saat ini tak tau jika aku telah menikah dengan Mas Galih. Orang kantor yang tau hanyalah Winda, tetapi Winda kini berada di penjara. Jadi Pak Rudi --Papa Reyhan-- pun tak tau jika aku telah menikah.
Aku hanya takut jika nanti semua orang tau tentang pernikahanku, mereka akan menyebutku sebagai seorang pembohong.
"Hey! Kok malah ngelamun sih?" tanya Reyhan mengagetkanku.
"Eh, nggak apa-apa kok," ucapku gugup karena ketahuan melamun.
***********
"Pak Kosim, sebelum ke kantor, kita ke rumah dulu ya. Saya mau lihat renovasinya udah selesai apa belum," ucapku kepada Pak Kosim.
"Iya, Neng."
Dari hotel, kami menuju ke rumah dulu sebelum aku berangkat ke kantor. Sudah hampir sebulan semenjak kebakaran itu aku tak pernah melihat kondisi rumahku.
Memang setelah kebakaran itu, aku menyuruh orang untuk merenovasi bagian yang rusak dan juga mengecat ulang rumahku.
Selama ini Pak Kosim yang sering kusuruh untuk mengawasi para pekerja, dan beberapa hari lalu Pak Kosim baru saja ke sana dan bilang kalau renovasinya sudah hampir selesai, jadi hari ini aku memutuskan untuk mengecek sendiri ke rumah.
"Pak, gimana? Udah selesai renovasinya?" tanyaku kepada Pak Heri, mandor yang mengawasi para tukang bekerja. Pak Heri sendiri merupakan tetanggaku, jadi ku percayakan renovasi rumahku dipegang oleh Pak Heri.
"Udah hampir selesai Mbak, cuma tinggal ngecat bagian dapur ini aja sama beberes sedikit, mungkin 3 atau 4 hari lagi selesai," jawab Pak Heri.
"Oh ya sudah, saya mau lihat-lihat dulu ke atas," ucapku lalu pergi untuk mengecek lantai atas rumahku, sekaligus kamarku.
Aku cukup puas melihat rumaku yang sudah selesai di renovasi. Ya hanya renovasi sedikit dibagian dapur dan kamar Mbok Jumi saja. Tambahannya aku menyuruh para tukang untuk mengecat ulang semua ruangan, walau dengan cat yang sama seperti dulu, setidaknya memberikan warna yang lebih segar di setiap ruangan.
Kriiinnnng
Ponselku berdering, ternyata Silvi. Ada apa? Tumben telfon? Pikirku.
"Halo Sil?" sapaku dalam ponsel.
"Halo Mir, aku ada informasi buat kamu," ucap Silvi
"Apa?"
"Adik Galih yang namanya Sinta, sekarang kerja jadi pel*c*r. Semalem aku liat dia di club malam sama om-om, aku buntutin dia, ternyata dia pergi ke hotel," jelas Silvi.
"Masa iya?" tanyaku kurang percaya.
"Kamu nggak percaya? Aku punya fotonya," ucap Silvi lalu mematikan sambungan telfon.
Ting
Sebuah chat masuk dari Silvi, kubuka chatnya dan ternyata itu foto Sinta dan seorang om-om.
"Astaga! Pakaiannya aja kurang bahan banget begitu," jeritku melihat pakaian yang dikenakan Sinta.
Silvi mengirimiku 3 foto. Foto pertama memperlihatkan Sinta yang turun dari mobil, foto kedua memperlihatkan Sinta yang tengah bergelayut di lengan om-om dan foto terakhir memperlihatkan Sinta dan om-om di hotel, mungkin sedang akan check in.
"Abangnya dipenjara, adeknya jadi pel*c*r, yang satu lagi bentar lagi juga di penjara, ibunya stroke. Ckckck. Miris sekali keluarga kamu Mas Galih." Aku berbicara dengan diri sendiri sambil membayangkan nasib keluarga Mas Galih yang berantakan.
Setelah aku puas melihat rumahku, aku melanjutkan aktifitasku ke kantor.
"Bu, maaf, tadi ada yang nyariin Ibu," ucap Lisa ketika aku sudah sampai kantor san hendak menuju ruanganku.
"Siapa?" tanyaku heran.
"Saya kurang tau Bu, tapi tadi yang dateng seorang nenek-nenek. Katanya namanya Nenek Sum, Neneknya Winda kalau nggak salah," ucap Lisa.
'Nenek Sum? Ngapain dia kesini?' batinku.
"Oh yaudah. Makasih ya informasinya," ucapku.
"Sama-sama Bu," jawab Lisa.
Setelah itu aku masuk ke dalam ruanganku.
"Untuk apa Neneknya Winda sampai datang ke kantor ku?" pikirku.
"Apa ada yang penting ya? Mending nanti aku kesana aja lah, daripada penasaran."
Sore hari setelah aku menyelesaikan pekerjaanku di kantor. Aku berniat menuju ke kontrakan Nenek Sum.
"Pak, anterin saya ke kontrakannya Nenek Sum ya. Di jalannya sempit itu," ucapku kepada Pak Kosim.
"Iya Neng," jawab Pak Kosim.
Akhirnya aku dan Pak Kosim menuju ke kontrakannya Nenek Sum.
"Pak, berhenti dulu Pak," ucapku kepada Pak Kosim saat kami hampir sampai di lampu merah.
"Kenapa Neng?" tanya Pak Kosim sambil menghentikan mobil.
"Itu Pak," tunjukku kepada seorang ibu-ibu yang sedang mengemis.
Pak Kosim mengarahkan pandangannya ke arah dimana aku menunjuk.
"Loh itu kan Ibunya Mas Galih. Ngapain disitu," ucap Pak Kosim.
"Makanya itu Pak. Kayanya lagi minta-minta gitu deh Pak," ujarku.
Aku melihat ibu Mas Galih duduk di kursi roda dengan pakaian lusuh, bibirnya mencong ke samping dan sepertinya tangan kirinya tak bisa di gerakkan. Mungkin itu efek dari stroke yang dialaminya beberapa waktu lalu saat tau Tari hamil.
Aku menoleh ke sekitar Bu Sofiatun, tidak mungkin dia mengemis sendiri tanpa ada yang nyuruh sedangkan kondisinya yang sedang tidak baik-baik saja. Pasti ada yang memaksanya, pikirku.
Nah, benar kan, ternyata tak jauh dari tempat dimana Bu Sofiatun mengemis, ada Sinta yang sedang asik menghisap batang rokok.
Astaga, aku melihat Sinta memakai celana hotpant sangat pendek dengan hanya mengenakan tank top dan rambut diikat ke atas.
Sinta duduk bersantai sambil menghisap sebatang rokok sedangkan ibunya di suruh mengemis. Benar-benar keterlaluan Sinta itu.
Saat aku hendak keluar mobil untuk menghampiri Sinta, tiba-tiba Sinta berdiri dan berjalan menuju Bu Sofiatun.
Aku tak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. Aku hanya bisa melihat apa yang mereka lakukan. Buru-buru aku mengeluarkan ponselku untuk merekam apa yang mereka lakukan.
Aku melihat Sinta merebut paksa sebuah kantong kresek dipangkuan Bu Sofiatun dan Bu Sofiatun menahannya dengan tangan kanannya. Terjadi adegan tarik menarik antara Sinta dan Bu Sofiatun. Tiba-tiba Sinta menampar Bu Sofiatun dan mengambil kantong kresek tadi.
Miris sekali hidup Bu Sofiatun sekarang. Sudah stroke, anak-anaknya di penjara, sekarang dipaksa mengemis. Apa itu karma karena dulu Bu Sofiatun sering memperlakukanku tidak baik?
KAMU SEDANG MEMBACA
Dikira Miskin oleh Keluarga Suami (TAMAT)
RandomBagaimana jadinya jika pengorbanan kita sebagai seorang istri tak pernah dihargai hanya karena status pekerjaan?