Dikira Miskin oleh Keluarga Suami 14
Part 14 (Teror)
Mbok Jumi membantu menyadarkan Nenek Sum yang pingsan dengan menggosokkan minyak kayu putih ke telapak tangan dan kaki Nenek Sum.
"Alhamdulillah," lirih Mbok Jumi ketika Nenek Sum mulai siuman.
"Udah, Nenek istirahat dulu aja," ucapku melihat Nenek Sum mencoba bangkit dari tempat tidur.
"Tolong antar saya ke tempat Winda," ucap Nenek Sum sambil terisak.
"Nek, maaf jika kedatangan kami malah membuat Nenek sakit. Saya sebenarnya sudah pernah bicara dengan Winda soal Mas Galih yang sampai saat ini masih berstatus suami saya, dan saya meminta Winda untuk menjauhi Mas Galih. Bukan karena saya masih mencintai Mas Galih, tetapi saya tak ingin jika Winda mendapatkan perlakuan buruk dari Mas Galih dan keluarganya sama yang saya alami dulu," jelasku.
"Memangnya kenapa?" tanya Nenek Sum.
"Karena mereka memperlakukan saya bukan layaknya menantu, tetapi saya di perlakukan seperti pembantu, bahkan selama sebulan saya tinggal di rumah Mas Galih, saya tak pernah sekalipun dikasih makan. Tiap jam 4 pagi saya sudah bangun untuk beberes dan jam 7 saya disuruh berangkat kerja. Jam 6 saya pulang ke rumah dan jam 11 malam saya baru boleh istirahat. Terserah Nenek mau percaya atau tidak. Saya hanya menginginkan cucu Nenek agar tak menyesal memilih Mas Galih sebagai pendamping hidup," jelasku panjang lebar.
"Nak, tolong antar Nenek ke tempat Winda. Nenek mau ketemu Winda," ucap Nenek Sum.
Aku bingung apakah aku harus mengantar Nenek Winda ini ke penjara atau tidak, takutnya nanti disana dia pingsan lagi.
"Apa Nenek kuat jika harus melihat Winda di penjara?" tanyaku memastikan.
Nenek Sum hanya mengangguk.
"Baiklah, saya akan antar Nenek ke tempat dimana Winda ditahan."
************
"Winda," ucap Nenek Sum ketika bertemu Winda.
"Ne--nek? Nenek kok bisa tau aku disini?" tanya Winda.
"Nak Amira yang ngasih tau," jawab Nenek Sum.
Seketika Winda langsung menoleh kearahku yang sedang main ponsel. Jarak dudukku dengan Nenek Sum memang tidak terlalu jauh, jadi aku bisa mendengar apa yang mereka bicarakan.
"Win, kenapa kamu bisa kaya gini? Kenapa kamu bisa ngelakuin kejahatan kaya gitu?" tanya Nenek Sum.
"Maafin Winda Nek. Huhuhu. Winda nggak tau kenapa Winda bisa sejahat ini," jawab Winda.
"Halah drama," gerutuku pelan.
"Sekarang mana Galih. Nenek nyesal udah nerima lamaran dia, ternyata dia suami orang dan bukan laki-laki yang baik buat kamu."
"Mas Galih ada di dalam sel Nek," jawab Winda.
"Nduk, cah ayu. Nenek nggak bisa bebasin kamu dari sini, nenek cuma bisa berdoa semoga kamu di berikan kesehatan dan hidayah dari Gusti Allah," ucap Nenek Sum sambil menangis.
"Mmmm, maafin Winda nek. Winda nyesel," sesal Winda.
"Maaf Bu, jam besuk sudah habis," ucap salah seorang polisi yang sedari tadi mengawasi Winda dan Nenek Sum.
"Nduk, kamu jaga diri baik-baik ya," ucap Nenek Sum kepada Winda sebelum Winda di bawa masuk lagi ke dalam sel.
Sungguh, sebenarnya aku tak tega harus memisahkan Nenek dan cucu tersebut.
"Udah Nek? Mari saya antar pulang," ucapku.
Nenek Sum hanya mengangguk.
"Nak? Emm, maaf, apa nak Amira nggak bisa bebasin Winda?" tanya Nenek Sum ketika kami sudah berada di dalam mobil.
"Kenapa?" tanyaku dingin.
"Nenek nggak tega sama Winda," ucap Nenek Sum sambil sesekali menyeka sudut matanya.
Mungkin dia sedang menangis, pikirku.
"Nek, segala perbuatan itu harus ada konsekuensinya, apa yang di lakukan Winda dan Mas Galih itu adalah perbuatan yang salah dan bisa membahayakan nyawa orang lain. Maaf Nek, saya nggak bisa bantu," ucapku.
Nenek Sum hanya menunduk mendengar jawabanku. Aku tau jika sebenarnya Nenek Sum sangat menyayangi Winda. Akan tetapi ini sudah menjadi keputusanku untuk memberi efek jera kepada siapapun yang berani mengusik kehidupanku.
"Nek, ini saya ada sedikit rejeki buat Nenek," ucapku sambil memberikan beberapa lembar uang kepada Nenek Sum sebelum aku pamit pulang.
"Apa ini? Nggak usah," tolaknya.
"Udah nggak papa Nek. Ini buat Nenek," ucapku sedikit memaksa Nenek Sum agar mau menerima bantuan dariku.
Dengan sedikit terpaksa, akhirnya Nenek Sum menerima pemberianku.
***********
Kriiiinnnngg
Ponselku berdering tetapi yang menelpon dari nomor tak di kenal. Siapa, pikirku.
"Halo?" ucapku ketika panggilannya sudah ku angkat.
"Gil* lo! Mentang-mentang orang kaya bisa seenaknya aja menjarain Abang gue!" makinya.
Aku seperti mengenali suara ini, ini seperti suaranya Tari, adik Mas Galih.
"Heh! Kalo lo nggak bebasin Abang gue, lo bakal menyesal," ancamnya.
Sebelum dia mengatai-ngataiku lagi, ku putuskan sambungan telfon dengannya. Aku malas meladeni orang-orang kurang waras seperti keluarga Mas Galih.
Ting
(Dasar j*l*ng! Bebasin Abang gue atau gue akan bikin lo nyesel.) Sebuah chat masuk dan ternyata itu dari Tari.
(Bodo amat.) balasku.
Klunting
Klunting
Klunting
Ada puluhan chat dari Tari yang isinya hanyalah umpatan. Aku malas meladeninya, jadi ku putuskan untuk mematikan ponselku.
*******
Tok tok tok
Siapa lagi sih pagi-pagi udah ngetok-ngetok pintu, sungutku kesal.
Dengan sedikit ngantuk, aku berjalan menuju pintu dan membukakan pintu.
"Oalah, Mbok Jum toh, kenapa sih mbok, pagi-pagi udah ngetukin pintu," tanyaku kepada Mbok Jumi.
"Lah mana ada masih pagi Neng. Ini udah jam 11 siang. Mbok Jumi udah ngetuk pintu dari jam 8, takutnya Neng ada jadwal ke kantor," jawab Mbok Jumi.
"Apa? Jam 11?" Mataku membulat ketika tau kalau ternyata hari ini sudah siang.
Aku lupa kalau hari ini ada jadwal meeting dan semalam ponselku kumatikan.
Aku langsung bergegas masuk ke kamar hotel dan bersiap-siap untuk ke kantor.
Setelah selesai siap-siap, aku menghidupkan ponselku dan ternyata sudah banyak missed call dari Lisa, sekretarisku. Dan juga beberapa chat dari Lisa yang mengingatkanku untuk meeting jam 1 siang.
Aku langsung bergegas menuju kantor agar tak terlambat. Ternyata Pak Kosim sudah menyiapkan mobilnya.
"Pak Kosim, hari ini Amira bawa mobil sendiri aja ya. Pak Kosim di hotel aja," ucapku kepada Pak Kosim.
"Baik, Neng," jawabnya.
********
Setelah selesai dengan urusan kantor, aku memutuskan untuk pulang. Sebelum nya aku memilih untuk mampir ke sebuah minimarket guna membeli beberapa cemilan.
Karena parkiran di depan minimarket cukup penuh, lantas aku memarkirkan mobilku di sebrang minimarket.
Saat hendak menyebrang jalan, tiba-tiba ....
Tiiiiiinnnnn
Braaakkk
Aku merasakan tubuhku terpental dan tiba-tiba semua menjadi gelap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dikira Miskin oleh Keluarga Suami (TAMAT)
RandomBagaimana jadinya jika pengorbanan kita sebagai seorang istri tak pernah dihargai hanya karena status pekerjaan?