Stroy by : Hyuuga Nicha Annisha
Pada malam itu, tepat satu hari sebelum bertunangan, aku di pertemukan dengan seorang pemuda dewasa.
Dalam pertemuan yang berniat-kan agar Aku dan dirinya tahu siapa calon masing-masing, yang ternyata sedikitpun aku tidak tertarik untuk melakukan Pernikahan ini.
Mata yang meneduh seolah-olah tidak ada niat untuk melihatku, apakah kau sama sepertiku?
Apakah kau menerima perjodohan ini karena orang tua? Berarti kita sama."Rencananya, putri kami setelah pertunangan, kami akan menitipkannya ke pondok, tentu pondok yang abah maksud." Ayahku memulai pembicaraan.
"Iya itu sangat bagus, dengan begitu Aditya bisa kapan-kapan untuk menjenguk keponakannya dan putri Bapak," sambung Ayahnya Aditya.
Aku dan dirinya hanya jadi pendengar tentu dengan berdiam tanpa berbicara.Ya aku akan di titipkan di pondok-nya Kakak Aditya, dengan begitu sewaktu-waktu Aditya bisa datang kapan saja, mau itu menjenguk keponakannya, atau sekedar berkunjung pada kakaknya, Aku tidak berharap, alasan yang tidak masuk akal jika dia datang jika hanya untuk melihatku. Aku tidak perduli.
Dua jam sudah berlalu, percakapan demi percakapan di akhiri.
Keempat orang bersarung yang antara lain adalah Kedua Kakak ipar laki-laki Aditya, Ayahnya dan dirinya.Berpamitan dan pulang tepat jarum jam menunjuk angka sepuluh, setelah hampir dua jam duduk di kursi, akhirnya aku bisa bergerak bebas lagi.
Aku bergegas pergi ke kamar mandi untuk mengambil wudhu dan menjalankan shalat isya, baru juga memakai mukena tiba-tiba hape jadulku berbunyi.
"Hallo, Assalamualaikum?" Sapa seseorang dari sebrang telepon, suara yang baritone terdengar tegas membuatku bertanya-tanya.
"Wa'alaikum salam, siapa ini?"
"Ini Aku, orang yang tadi," jawabnya.
Mendengar jawabannya itu aku hanya ber'oh' ria saja, sepertinya pemuda itu sedang mencari topic pembicaraan sebelum pada akhirnya dia bertanya.
"Sedang apa kamu, Dek?"
"Sedang mau melaksanakan shalat isya," jawabku.
"Oh ya sudah nanti di hubungi lagi setelah beres shalat, Assalamualaikum."
"Wa'alaikum salam. "
Tut- panggilan berakhir.
Aku langsung menunaikan shalat isya, setelah selesai seperti apa yang sudah di katakan. 10 menit kemudian dia menghubunguku lagi.
Namun dalam durasi menelepon tidak ada kalimat yang panjang, kami berdua sama-sama berdiam membisu, Dia bertanya, aku menjawab, jika dia tidak bertanya aku tidak bercerita. Sikapku semakin dingin, Yah aku berniat agar dia tidak menyukaiku dan akhirnya membatalkan Pernikahan ini.
Namun semuanya hanya semu pikiran picikku selama ini, nyatanya Aku langsung bertunangan dengannya lusa, tepat pada hari rabu, keluarga dari pihak Aditya datang melamar dan memberi cincin tanda resminya hubungan yang mungkin menjenjang ke bab yang lebih serius.Aku? Entah kenapa aku merasa ini hanya mimpi, kaki melangkahpun serasa melayang.
Dalam satu minggu aku tidak pernah keluar, pergi mengajipun aku tidak mau, saat itu aku tidak mau bertemu siapapun, hingga pada akhirnya Ayah kecewa atas Sikapku yang tidak menghargai apa yang telah di lakukan keluarga Aditya.
Aku merasa tidak ada yang mengerti perasaanku, pikiranku berkalut, mimpi demi mimpi harapan yang aku inginkan ternyata memang hayalan belaka.
Haruskah aku bangkit, menerima kenyataan hidupku ini dengan ikhlas. Aku tahu, Bapak, dan Mama, melakukan semua ini untuk kebaikan putrinya.
.
.
.
Hari-hari terus berlalu, akhirnya aku bisa menerima semua meski memang tidak sepenuhnya, penting bagiku terlihat bahagia di mata Bapak dan Mamaku
Seperti sebelum-sebelumya aku menjalankan kembali aktifitas seperti biasanya.
Aku tengah menyapu rumah, dan halaman, tiba-tiba datang seseorang mengucap salam.
Dalam sekejap aku terperanjat kaget."Assalamualaikum?"
Deg- Astagfirullah. Aku langsung berbalik ke sumber suara, Aditya datang tiba-tiba. Penampilan yang berbeda jauh, tidak seperti akhir-akhir bertemu yang selalu mengenakan sarung, kali ini dia mengenakan baju santai, kaos hitam beserta celana levis dan peci beludru hitamnya.
'MasyaAlloh setampan inikah calon suamiku, ternyata sangat jelas sekali jika bertemu di siang hari.'
"Ehem?" Dia berdehem, menyadarkanku dari lamunan.
Astagfirullah, aku belum menjawab salamnya."Eh, Wa'alaikum salam," jawabku akhirnya.
"Maaf, aku kaget barusan jadi telat jawab salam darimu," kataku selanjutnya.
Tiba-tiba dia menyodorkan sebuah handphone android beserta kotak kardusnya.
Aku mengernyit sembari menatap kardus putih kecil itu."Ini untukmu, Adek sulit menelepon karena hape-nya rusak, kan?"
Akhirnya dia menjawab apa yang aku pikirkan."Terimakasih," balasku sambil menerima handphone yang di sodorkannya.
Sebenarnya hape-ku tidak rusak parah masih bisa untuk menelepon, cuman yang rusaknya itu internetnya, pasalnya aku tidak bisa berselancar di dunia maya, tiap kali kubuka hapenya error terus. 'Maaf'
"Kalau begitu, Aapamit pulang dulu, dan maaf jika Aa menggangu."
"Eh gak masuk dulu, aku panggilkan Bapak?"
"Eh, jangan, bukan tidak mau bertemu, hanya saja masih bingung harus bersikap seperti apa," tolaknya.
"..."
"Aa pulang ya?" Tanyanya seolah menunggu jawabanku.
"Jalan kaki?"
"Iya, itung-itung olahraga."
Rumahnya emang tidak jauh, 10-15 menit juga sampai. Tapi sampai saat ini 2 minggu setelah bertunangan aku belum tahu dimana rumahnya, tapi Orangtuaku pasti tahu.
Memang Mamaku tidak pernah mengajakku untuk kesana, dan aku yang memang tidak perduli..
.
.
Satu bulan sudah berlalu, tak terasa sebentar lagi menyambut bulan suci ramadhan, dan tidak lama lagi aku akan pergi ke pondok pesantren Al Barakah salafy, dimana para guru adalah alumni dari pondok pesantren salafy besar.
.
.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA DALAM ISTIKHARAH
RomanceNamaku Naissya Nabillatifah, usiaku 15 tahun, tepat di hari kelulusan aku di jodohkan dan langsung di lamar, aku bahkan harus mondok di pesantren yang sudah di pilih Ayah tunanganku. Aku yang tidak tahu apa-apa, tidak tahu Dia siapa, tiba-tiba harus...