PART 24

9 2 0
                                    

Hari ini adalah hari rabu, para Santriwati akan melakukan pengajian setiap seminggu sekali di madrasah yang bertempatan dengan rumah Ummi.
para santriwati berlomba-lomba mengganti pakaian dan berdandan setelah menunaikan shalat duha. seperti biasa mereka akan sibuk dan riuh gemuruh menemani mereka di sepanjang berdandan.

"Aduh, lupa belum pake celak." Latifah pontang-panting kembali membuka lemarinya. Risa sudah siap kini ia hanya memperhatikan Latifah dan Naisya yang tengah bersiap.
mereka harus selesai tepat pukul 8 pagi kalau tidak, mereka akan ketinggalan membaca Al-Quran.

sementara santriwati yang lain sudah satu persatu beriringan menuju Madrasah, para santri putra akan mejeng di loteng sembari cuci mata, melihat pemandangan iringan para santriwati setiap satu menggu sekali, bahkan itu sudah menjadi kebiasaan setiap hari Rabu wajib nongkrong di loteng kobong, karena jalan yang di lewati melalui kobong putra.

"Masya Alloh, Teteh-teteh Cararantik, Aa bogoh."

"huuuuu." kemudian terjadinya adu pendapat dan saling memojokkan. santri putri hanya mesem-mesem sepanjang perjalanan, mereka tidak boleh membalas suara para santri putra.

"Teh Safa ih pangling."

"Yang sarung hijau tengok Aa donk."

"Teh, Kapan-kapan kita beriringan bareng."

"Teh, itu sarung gebengnya berapa?"

"Teh, sendalnya kiri sebelah."

"Teh, Cantik hijabnya."

"Masya Alloh para calon istri-istriku."

begitulah rentetan candaan dan godaana ala santri putra, setiap kali ada aja kalimat yang bisa membuat santri putri salah tingkah.

setelah beberapa menit kali detik akhirnya para santriwati terbebas dari ngiangan suara merdu para santriwan. tentu saja itu membuat santri putri terngiang-nging apalagi jika yang mengatakannya adalah santri idamannya.

Naisya, Latifah dan Risa paling akhir datang kemadradah karena harus menunggu latifah mengobrak abrik lemari hanya untuk mencari celak mata.

.

Kemudian para santri putri di beri bagian untuk membaca Al-Qur'an dengan fasih serta tajwid tanwin harus jelas, lanjut dengan mendengar kajian dari A Ilham, guru besar para santri atau lebih tepatnya putra sulung Ummi, melanjutkan tugas Almarhumah Appa sebagai penanggung jawab pondok pesantren.

tepat jam 11 siang para santri selesai mengaji, kembali ke kobong dan mengisi perut sebelum lanjut untuk menghapal talaran waktu dzuhur. ada pula yang tidur ada juga yang hanya ngobrol atau sekedar makan camilan menungu dzuhur.

"Panasnya cuaca," ucap salah santri putri di luar kamar kobong, lebih tepatnya ruangan tengah, di sinilah tempat para santri untuk bersantai, berbeda dengan ketiga gadis remaja yang malah asyik sendiri di kamarnya.

Naisya, Latifah dan Risa, mereka tengah asyik mengobrol sembari menikmati camilan siangnya. sesekali bercanda dan menceritakan hal-hal yang baru saja berlalu.

"Risa!"

"Iya, Bi?" dengan cepat Risa bangkit dan berjalan menghampiri teh Maesa yang tengah memanggilnya di ruang tamu teh Maesa. Risa kemudian kembali dengan membawa hape di tangannya sembari mesem-mesem, apalagi kalau bukan telpon dari sang Mama.

"Mamah ya Ris?" tanya Naisya begitu meyadari ekspresi keponakannya.

"Bukan."

Naiya hanya mengernyit.

"Paman Adit."

Naisya hanya beroh ria sembari menerima uluran hape di tangan itu, tadinya tidak mengira jika itu Aditya karena Aditya menghubunginya lewat hape genggam milik Kakaknya.

"Assalamualaikum?" tentu saja Naisya bahagia bukan kepalang, setelah hampir 5 hari tidak mendengar kabar dari sang suami, Naisya hanya mesem-mesem. Risa dan Latifah pamit untuk keluar mengambil wudhu dan sembari memberi privasi pada Naisya.

"Waalaikum salam, apa kabar Dek?"

"Alhamdulillah, baik. sebaliknya apa kabar A?"

"Baik, lagi apa?"

"Lagi santai aja," jawab Naisya merasa agak canggung.

"Dek?"

"Hmm?"

"Aa, kangen," jujurnya, sontak membuat Naisya tersipu malu dan merona, bibirnya juga reflex tersenyum, jika saja ada yang melihat mungkin Naisya akan semakin salah tingkah.

"Kok diam Dek?"

"Aku malu," tuturnya, Aditya terkekeh mendengar jawaban istri kecilnya itu, walau bagaimanapun juga, Naisya masih sangat labil dan polos, gadis itu belum bisa mengekspresikan perasasaan dan tingkahnya sendiri.

.

.

.

Setelah percakapan Naisya dan Aditya, kini gadis belia yang sudah berstatus istri itu nampak sedikit ceria, rasa rindunya sedikit terobati.

Malam ini para santri putri sudah terlelap ke alam mimpinya masing-masing, kecuali bagi dirinya, Naisya merasa tidak enak badan membuatnya tidak bisa tertidur, dadanya serasa terbakar dan sesak serta, mual dan pusing yang sangat berlebih, keringat dingin sudah membasahi pelipisnya.

"Ya Allah, ada apa dengan diriku?" Tanyanya dalam kesendirian, sembari berusaha menguatkan dirinya.

.

.

.

"Teh Nais? Astagfirullah, kok badannya dingin, dan pucat?" Ucap salah satu santri putri yakni Latifah, tangannya berulang kali menyentuh wajah Nais dan tangannya yang dingin, nampak keringat dingin di dahi gadis itu.

Para santriwati berhamburan ke kamar mandi untuk mengambil wudhu dan menjalankan shalat subuh. Berbeda dengan Latifah dan Risa yang uring-uringan setelah memanggit Teh Maesa.

"Dari kapan Nais begini, Sa?"

"Entah Bi, Risa taunya dari Latifah yang hendak membangunkan teh Naisya."

"Bentar ya Bibi cari bantuan dulu."

.

.

Seorang dokter perempuan keluar dari kamar santri putri tsalasah, setelah pemeriksaan.

Dokter perempuan itu di jemput menggunakan motor oleh salah satu santri putra, karna keadaan Naisya yang tidak memungkinkan untuk di bawa ke rumah sakit. Suasana canggung dan riuh menjadi saksi keluarnya sang dokter.

"Begini Mbak, adik mbak mengalami sakit maag yang sudah parah, gejalanya seperti itu, dada terasa panas, sesak dan pusing," jelas sang dokter.
"Setelah cairan infus-nya habis, adik mbak bisa sehat lagi kok, ini beberapa obat yang harus di minumnya... " dokter itu menjelaskan kepada Maesa, apa yang boleh dan tidak boleh di makan serta menjelaskan aturan minum obatnya.



TBC.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 17, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

CINTA DALAM ISTIKHARAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang