PART 2

154 9 1
                                    

Story by: Hyuuga Nicha Annisha

.

.

.
*NORMAL_POV

2 bulan kemudian.

Naisya, gadis berusia 15 tahun, yang kini telah menyandang status tunangan orang lain, orang yang tak di kenalnya.
Di usia yang masih belia dia harus menjadi dewasa.

.

.

Isak tangis memenuhi ruangan itu, antara sedih dan bahagia, Naisya akhirnya menerima keputusan Orangtuanya, mulai hari ini dia akan tinggal di pondok.

Perjalanan menuju Cianjur hanya butuh waktu 2 jam, di tempuh dengan kendaraan bermotor, setelah sampai Naissya akhirnya bisa duduk tenang perjalanan yang di ridhoi Alloh, karena menuju jalan kebenaran.

Setelah beberapa jam, Naissya kini bersama teman-teman pondok-nya yang baru, Dia akan kembali berkenalan dengan tempat baru.

.
.
.

Setiap hari Naissya merasa terpuruk, dirinya merasa sendiri, rasa kesepiannya yang menemani. Ambang pintu belakang pondok yang menjadi tempat sepi untuk dia menagis, disaat teman-teman pondok-nya tidur siang hari, gadis itu hanya menagis, tiap malam, bahkan setiap hari...
Sungguh awal-awal yang mengharukan.

Namun kebahagiaan itu pelan-pelan berdatangan, awal bercerita hingga tersenyum dan akhirnya tertawa, ternyata bergabung dengan orang-orang itu memang menyenangkan, tetapi kita harus memilih mana teman yang benar-benar peduli.

"Teh Naiss, Teteh tahu pesantren ini dari mana?" Tanya Teh Anna, rois kobong yang tertua, sementara Risa sang calon keponakan Naiss hanya diam.

"Tahu dari kakeknya Risa," jawab Naiss enteng, tak lupa senyuman di akhir kalimat.

"Iya, kami-kan sama-sama dari bandung." Gadis berusia 14 tahun itu menambahkan.

Anna hanya tersenyum sambil ber'oh ria. Tangannya kembali memegang pulpen hiteck dan meninggalkan tulisan-tulisan logat balagan di bukunya.
Sedangkan Naissya pergi kekamar hendak mengambil kitab, hari ini jadwal mengaji kitab Ungquddulizain.

Semua santriwati sudah siap menulis dan mendengar pembahasan dari sang guru.
Seperti biasa, ada pula dari kami yang mengantuk.

.

.

.

Setelah 1 jam akhirnya selesai,

"Oh, iya Teteh, ingin bilang, malam ini kita mulai mengolah kue, dan untuk dua minggu kedepan untuk belajar Teteh tidak bisa whuruk, jika bisa kalian menghapal saja ya?"

"..."

"Ya sudah Teteh pamit dulu, Assalamualaikum."

"Wa'alaikum salam!" Jawab serentak para santriwati.

*Naissya Pov.

Malam sudah tiba, selesai shalat isya kami pergi kedapur untuk membuat kue, pesiapan peringatan wafatnya Appa di pondok kami, katanya setiap tahun ada acara haul besar, semua santri putri dan santri putra di beri tugas. Acara di mulai dua minggu kedepan, semua santri bahkan di beri jadwal bergadang. Suasana yang sangat membahagiakan ternyata kehidupan di pondok sangat menyenangkan, tawa dan canda menjadi teman di panjangnnya malam.

.

.

.

Suara Adzan dan bedug sudah saling menyahut, para santri langsung bertebaran ke seluruh kamar mandi, meski kantuk masih melanda, kita tetap harus bangun dan jangan sampai ketinggalan shalat subuh berjamaah.

Siang kami kembali bertugas, sungguh ramai tempat ini semua orang berkumpul dan saling bantu membantu, ada pula santri putra yang mengambil kelapa dengan memanjat dan santri putri bagian memarut.

.

"Teteh teteh, dengarkan ya ada yang bagian di rumahnya teteh Neneng untuk membuat kue onde, karena buatnya banyak salah satu dari kalian kesana, maksimal 3 orang ya."

Para santri putri berbisik-bisik, ternyata mereka berharap yang akan di panggil, aku yang duduk di pojokan hanya diam, kadang sedikit berbicara dengan Risa.

Dan akhirnya aku, Teh Rina, dan Teh Anna, aku yang paling muda di antara mereka harus ikut gabung? Aku hanya bingung harus bersikap seperti apa?

Setelah sampai di rumah yang di tuju kami langsung melakukan pekerjaan tersebut, kadang sambil cerita.

"Oh ya Rin, kamu dengar gak, kalo kang Adit itu katanya bentar lagi nikah." Anna memulai pembicaraan, aku yang tersentak begitu mendengar ucapannya hanya diam, ternyata mereka tahu Aditya.

"Wah yang bener aja sih?"

"Iya aku tahu waktu nyuci di irigasi, aku nggak sengaja dengar omongannya, Teteh. Cuman gak dengar nama calon perempuannya," lanjut Teh Anna.

"Emm, sayang sekali, padahal aku berharap banget jadi jodohnya." Rina nampak kecewa.

Aku yang pura-pura tidak tahu memilih angkat suara, nanti di bilang sok lugu dan so nggak mau tahu, padahal aslinya aku penasaran, seperti apa sih Aditya jika di mata mereka. Ada untungnya juga sih ngikut orang dewasa.

"Ngomong-ngomong Teh, Aditya itu siapa, perasaan nggak ada yang namanya Aditya di santri putra?" Tanyaku pura-pura, emang penasaran sih.

"Kang Adit itu adeknya suami Teh Maesa, jadi intinya Kang Adit sama Teteh tuh saudara ipar, dulu kang Adit mondok disini, dan udah dua santri putri yang di incarnya tapi sayang, kang Adit di tinggal nikah, karena Kakaknya gak merestui, dan karena bukan jodoh ya." Jelas Teh Anna, Teh Rina di sebelahnya manggut-manggut.

Aku menunduk, gak berniat bertanya lagi, setelah bilang oh, tapi teh Anna menambahkan.
"Dan dengar-dengar dia mau nikah. Eh Sya, kamu dengar gak nama calonnya? Kamu kan waktu itu ada lho, waktu nyuci tea ning?"

Yah aku tahu, siapa calon mas Adit, waktu itu pas Teteh Maesa bicara aku langsung pamit alasan untuk ke Wc, karena Aku sadar Teteh bicara sambil terus melirik ke arahku.

"Ah gak tahu tuh, lagian aku pergi pas awal-awal teteh bicara."

.

"Assalamualaikum teteh-teteh? Nuju naraon meni aranteng, kayanamah siga ngagosip nya.( lagi pada ngapain sampe anteng, kayaknya ngegosip ya)." Teteh Naya, datang tiba-tiba membuka pintu, kami bertiga sigap membenarkan letak duduk yang sopan, karena teteh Nay ini adalah putri bungsunya Ummi, maka kita tetap harus bersikap sopan.

"Eh, kirain siapa. Lagi bikin kue onde Teh," jawab teh Anna senyam-senyum.

TBC.

Next?

CINTA DALAM ISTIKHARAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang