PART 8

88 4 0
                                    

#CINTA_DALAM_ISTIKHARAH
#PART_8

STORY BY: Hyuuga Nicha Annisha

.

.

Madrasah sudah mulai ramai dengan kedatangan tamu-tamu dari berbagai daerah, para orangtua santri juga sudah ada yang berdatangan.
Naisya dan Risa masih anteng duduk di teras madrasah dari semenjak mereka beres mengisi perut, mereka sudah tak sabar menunggu kedatangan orangtuanya.

"Hah, lama sekali ya Ris, belum kelihatan juga." Naisya menghela nafas berat sambil kepalanya ia sandarkan di tihang teras matanya memperhatikan jalan di sebrang irigasi.
Risa yang juga bersandar pada tihang teras lainnya buka suara setelah sekian menit mereka duduk diam menanti dengan harapan yang besar.
"Iya, tadi kata paman setelah di telepon sebentar lagi sampai, kok belum datang, yang lain udah pada datang."

"Mungkin bentar lagi." Naisya sebisa mungkin menyabarkan diri, baru juga beberapa detik mereka tutup mulut akhirnya mobil dengan plat nomer bandung berhenti tepat di dekat jembatan irigasi, Naisya dan Risa tanpa berpikir panjang langsung bergegas berlari menghampiri mobil yang pastinya ada orangtua Naisya dan Risa dan orangtua Aditya juga serta kerabat lainnya yang ikut serta dalam rombongan. Sungguh bahagia bukan main, Naisya dan Risa menyambut kedatangan orangtuanya dengan gembira.

.

.

Mengobrol, bersenda gurau sampai menceritakan hal-hal kecil, itulah yang di lakukan para santri kepada orangtuanya, rasa rindu yang telah lama mereka simpan kini terobati dengan menceritakan segalanya, intinya orangtua adalah gudangnya kasih sayang beserta kerinduan yang tak terduakan.

Tak beda pula dengan Naisya dan Risa yang juga menceritakan kisah perjalanan selama mondok, rasa haru dan kerinduan kepada keluarga yang selalu menemani perjuangan mereka dalam menimba ilmu.

"Mah, apakabar semua yang di bandung?" tanya Naisya

"Alhamdulillah sehat semua, Teteh gimana, betah gak?"

"Betah gak betah kudu betah."

"Iya, Mamah do'ain Teteh selalu di beri kesehatan, dan betah juga, biar semangat ngajinya."

"Iya, amiin..."

"Eh, Sarung pesenan Teteh di bawa gak?"

"Di bawa donk, masih di mobil nanti ambil," jawab Mamahnya Naisya.

"Iya, terus apalagi yang Mamah bawa?"

"Itu doang kok, eh sama baju juga, terus pakaiaan dalam lainnya."

"Maksud aku Mamah gak bawa halawa gitu?" (Halawa dalam artian bahasa indonesia adalah oleh-oleh dari kampung halaman)

"Lha kenapa harus bawa, disini juga banyak makanan dan kue kan?"

"Iya, tapikan beda kalau dari kampung halaman mah."

"Ah Teteh mah aneh-aneh."

"Emmm."

"Teh, Aditya ada ya?" tanya Mamahnya Naisya sedikit berbisik.

"Ada, lusa kemarin baru datang," jawab Naisya enteng tanpa beban, sepertinya Naisya mulai terbiasa dengan pertanyaan semacam ini.

"Pernah ngobrol?"

"Pernah."

"Apa katanya?"

"Lupa."

"Yey, masa ih."

"Tadi teh Nais ngobrol kok sama paman," ucap Risa datang tiba-tiba menghampiri Naisya dan Mamahnya. Karena kamar kobong mereka sama tentu orangtua Risa pun juga ada di sana.

"Tadi pagi?" tanya mamahnya Risa.

"Iya, tapi Risa gak denger apa yang di bicarakan, tapi, tapi, paman menggoda terus..." Risa tersenyum menggoda ke arah Naisya sontak Mamahnya Risa dan Mamahnya Naisya tertawa.

"Ih.."

"Terus, terus?" Mamahnya Risa antusias.

"Terus tiba-tiba paman datang dan menyuruh paman adit masuk kedalam," ucap Risa dengan ceria. Berbeda dengan Naisya yang tengah cemberut menahan malu.

"Haha... lucu sekali," sambung Mamahnya Risa.

"Risa hanya memperhatikan dari halaman teh Halimah, tadi juga Risa lihat kayaknya paman minta sapu itu dari teh Naiss," ucap Risa.

"Kayak dongeng aja."

"Iya pokonya Risa menggoda mereka suka sekali," jelas Risa.

"Hahaha..."

"Risa..."
.

.

.

Waktu tak terasa hingga sorepun sudah tiba, setelah shalat asar, keluarga para santri sudah bersiap-siap untuk pulang, kali ini haru kesedihan yang menyelimuti mereka, ada yang merengek minta pulang ada pula yang meminta ortunya menginap, tetapi harus bagaimana lagi, aturannya bukan seperti itu, akhirnya dengan berat hati mereka mengikhlaskan keluarganya kembali pulang kerumah tanpa anak-anaknya, bukan tidak sayang, tapi orangtua hanya ingin yang terbaik untuk anak-anaknya, mendidiknya melalui jalan yang di ridhai Allah adalah jalan dan didikan terbaik.

Naisya dan Risa Meratapi kepergian orangtuanya, mereka duduk termenung di tepi irigasi sambil terus sesegukan, hingga mobil yang membawa para orangtua benar-benar tak terlihat lagi tangis mereka pecah, tak peduli orang yang melihat, meski para tamu sudah pulang setelah selesai sholawat masih saja ada tamu yang belum pulang. Mereka benar-benar menghiraukan gengsinya. Haru kesedihan menyelimuti para santri, teh Maesa yang menyadari itu hanya menatapnya dengan rasa haru juga. Perjuangan seorang santri yang harus hidup jauh dari orangtua, walau demikian do'a dan restu tetap menyertai mereka.

Akhirnya setelah beberap menit mereka menangis hingga menyisakan wajah sembab, puas juga mereka dan waktu sudah menunjukan maghrib, para santri bergantian ke kamar mandi, mengambil wudhu dan melaksanakan shalat maghrib berjama'ah. Kemudian mereka mengaji yasin dan ishol, shalat isya dan langsung istirahat. Besok pagi mereka harus bekerja lagi yakni membersihkan madrasah, sedangkan perabotan sudah bersih tadi sore.

.

.

.

Pagi sudah tiba seperti biasa para santriwati bersiap-siap untuk kembali melakukan aktifitas, Naisya masih sibuk di depan cermin, mata sembabnya tidak terlihat jelas sekarang, namun masih ada sedikit sisa, dengan begitu Naisya menutupinya dengan memakai celak, begitu pula Risa, Latifah dan santriwati lainnya.

"Ris, sekarang bagian kamu bersihin halaman teh Maesa, aku di suruh bersihin rumah Ummi, kan gantian."

"Iya tahu..."

"Mungkin aja kamu bakal nolak," ucap Naisya.

"Enggak donk, lagian sekarang bagian aku bersihin rumah Bibi. Yang lain mana mau," lanjut Risa.

"Bukan tidak mau, tapi karena teh Maesa gak nyuruh."

"Kalau misalkan Bi Mae nyuruh teh Naiss, teh Naiss nolak gak?"

"Yang pasti tidak akan mungkin," jawab Naisya berusaha menghindari percakapan yang akan menjurus tentang dirinya dan Aditya.

"Iya, kan maksud Risa 'misalkan' gitu."

"Kalau udah nikah gak bakal nolak." Naisya penuh penekanan.

"Acie nyungkun." Latifah nimbrung juga setelah dari tadi hanya jadi pendengar.

"Biar kalian puas, udah ah, harus buru-buru keburu siang." Naisya keluar dari kamar kobong hendak menuju rumah Ummi yang akan di bersihkannya.

TBC.

CINTA DALAM ISTIKHARAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang