PART 22

78 4 0
                                    

#CINTA_DALAM_ISTIKHARAH

#PART 22

Setelah keberangkatan Aditya ke jakarta, Naisya hanya merenung di jendela kamar kobong. Bayangan kenangan dirinya dan sang suami membuatnya semakin terpuruk. Naisya tidak bisa mengira jika ia akan di tinggalkan sang suami di umur pernikahannya yang ke 6 hari.

"Bibi?" panggil Risa begitu mendapati bibinya tengah melamun, Risa baru datang karena habis mengisi perut di waktu sore, seperti biasa.

"Eh, iya?"

"Jangan melamun terus, Bibi gak makan? Risa harap-harap dari tadi gak datang-datang ke dapur."

"Tadi kan sudah makan sama paman kamu Ris. Lagian Bibi gak lapar, lagi gak mood."

"Itu tadi waktu dzuhur Bi," timpal Risa.

Tetep saja, Naisya tidak merasa lapar sama sekali, mood nya pergi bertepatan dengan kepergian Aditya.

"Bibi jangan galou terus, kan ada Risa."

"Iya Ris," jawab Naisya sekenanya.

Hening, beberapa saat karena Risa tidak tahu harus berbicara lagi mengingat bibinya ini tengah meratapi kepergian Aditya untuk dinas.
Tiba-tiba datang Latifah dan menanyakan hal yang sama pada Risa ketika mendapati Naisya yang masih bengong di depan kaca.

"Galau," bisik Risa, Latifah langsung paham dan mengajak Risa untuk keluar dari kamar, memberi waktu untuk Naisya. Karena sebentar lagi adzan maghrib Latifah dan Risa pergi untuk mengambil wudhu. Kalau menunggu adzan dulu yang ada makin antri.

----------

Para santri langsung berhamburan ke kamar begitu mereka selesai dengan setor talaran mereka, raut bahagia dan tegang menjadi keseharian mereka ketika menunggu untuk di tes dan sesudah di tes. Kecuali Naisya yang meringkuk di kamar, karena lelah dan di tambah kurang semangat, Naisya memilih meliburkan diri ngaji talarannya apalagi dirinya yang baru datang belum mepersiapkan hapalan-hapalannya.

"Bi?"

"Hm?" Naisya berbalik dari tidur menyampingnya. Keponakannya ini tak henti-henti menemui bibinya, karena khawatir bibinya ini jatuh sakit.

"Bibi gak apa-apa?"

"Enggak kok Ris, cuman cape."

"Ouh." Risa manggut-manggut dan pandangannya menuju ke pintu masuk dimana Latifah datang habis talaran. Raut wajahnya nampak lega, seprtinya dia lulus.

"Alhamdulillah, tegang tadi, sekarang lega."

"Wah yang di tambah talaran nih ye?"

"Apaan sih, teh Risa tuh yang paling jauh hapalannya dari santriwati yang ada di sini," timpal Latifah.

"Teh Nais, mau nitip sesuatu gak? Aku mau ke warung, sekarang warungnya dekat lho teh, Ummi sendiri yang punya," tawar Latifah.

Naisya hanya menggeleng.

"Ouh ya sudah kami tinggal dulu ya teh. Yuk teh Ris. Keburu malem nanti santri putra sudah pada bubar ngaji kitabnya."

Santri putra biasanya beres ngaji jam sepuluh, sedangkan santri putri batasnya hingga jam sembilan, karena jam sepuluh para santriwati di wajibkan sudah tidur, aturan di buat agar para santri-santri tidak ada yang keluar malam apalagi sampai berniat untuk apel.

Risa dan Latifah pergi ke rumah teh Halimah, sengaja warungnya di buka di sana agar para santriwati tidak jauh untuk jajan, biasanya malam hari habis talaran rasa ingin mengemil selalu singgah. Dengan begini mereka tidak perlu repot untuk membuat camilan sendiri.

Drrtt... Drrrtt....

Suara getaran hanphone langsung membuyarkan para santriwati ketika mereka asyik mengemil, tatapannya saling lempar seolah bertanya siapa yang bawa hape. Aturan di terapkan tidak boleh bawa hape. Jika bawa juga harus di titipkan ke teh Maesa.

"Siapa yang megang hape?" tanya salah satu santri.

"Entah? Katanya kan gak boleh bawa hape, kok masih ada. Suaranya terdengar dari kamar Risa tuh." Bisik-bisik tetangga memharuskan Risa untuk berinisiatif menuju kamar kob-nya ia juga tahu yang megang hape itu adalah bibinya. Mereka nya aja yang langsung sewot karena gak dapat ijin megang hape bangun sehari saja. Naisya wajarkan dia sudah menikah dan yang menelepon juga pasti suaminya, apalagi ia baru datang belum sempat di kasihkan ke Teh Maesa. Sekarang Naisya bawa hape karena Aditya sendiri yang nyuruh, agar bisa kasih kabar, hapenya bisa di titip ke Teh Maesa atau suami Teteh sendiri.

"Saya yang bawa hape, tenang hari ini juga saya kasih ke Teteh." Naisya keluar dari kamar setelah menerima telepon dari Aditya, dirinya lega begitu mendengar kabar jika Aditya sudah sampai ke tujuan dengan selamat.

Para Santriwati hanya menatap Naisya yang beranjak menuju rumah teh Maesa di temani Risa.


-----------

Pagi sudah kembali singgah, para santri seperti biasa kembali sibuk dengan aktifitas mereka. Dari mengaji, beresin rumah para guru-guru sampai bersihin kobong, makan dan kembali mengaji lagi. Itulah kehidupan seorang santri, walau demikian selalu tersemat sedikit salah paham dalam setiap celah aktifitas. Pertengkaran kecil bahkan hingga melibatkan para guru untuk turun tangan meluruskan masalah.

Naisya, perempuan berusia 16 tahun sudah 2 minggu tinggal di pondok setelah kepulangannya 1 bulan yang lalu, rasa rindunya terhadap Aditya sudah terasa kebal, yang artinya Naisya sudah mulai menguatkan diri ketika ia bersedih karena kerinduannya terhadap suami, cukup sebuah do'a yang selalu ia kirimkan. Naisya tetap pokus mengaji dan meraih tujuannya.

Naisya tersenyum simpul ketika tangan kecilnnya menuliskan kalimat-kalimat rindu di buku hariannya, setiap kali, setiap jam, setiap menit hingga detik, Naisya tidak pernah jauh dari buku hariannya. Ia menuliskan setiap aktifitasnya. Bagaimana ia menjalani kehidupan di pondok setelah menikah radanya godaan dan rayuan setan seakan lebih besar di bandingkan sebelum ia menikah, kenapa? Sebab wanita yang sudah menikah harus lebih konsisten dalam setiap ucapan, jangan terlalu mendengar obrolan para santriwati tentang santri putra, karena dirinya bukan lagi gadis lajang yang bebas mengagumi pria manapun, menjaga ucapan hingga menjaga diri dari pandangan orang lain. Bahkan Naisya tidak pernah terlihat berdandan setiap hari, wajahnya nampak pucat pasi, bibir keringnya semakin nampak, meski Risa selalu mengingatkan untuk sedikit memamakai pelembab di bibir, Risa berpikir jika Bibinya ini sedikit kurang sehat. Namun setiap Risa bertanya Naisya hanya menjawab tidak apa-apa.
Ada apa dengan bibinya itu?

Risa menghampiri Naisya yang tengah melamun di depan jendela kamar kobong sembari menunggu matahari tenggelam, Naisya lebih banyak menghabiskan waktu dengan buku hariannya di bandingkan dengan obrolan para santriwati.

"Bibi?"

"Iya Sa?"

"Bibi lagi apa? Gak mau gabung sama kita?"

Naisya hanya tersenyum sembari menggelengkan kepala.

"Bibi baik-baik saja kan? Akhir-akhir ini bibi kelihatan pucat."

Naisya hanya diam, meski alisnya sedikit berkerut, Risa ada benarnya juga, akhir-akhir ini tubuhnya terasa cepat lelah.
Apa mungkin?

"Bi, ayo... katanya bakal ada santriwati yang akan datang." Risa menarik lengan Naisya untuk berdiri dan mengajaknya keluar dari kamar, Risa berharap bibinya akan sedikit terhibur jika mengobrol atau mungkin medengarkan. Supaya tidak jenuh.

"Tunggu dulu, mau simpan buku dulu." Risa hanya menunggu Naisya yang beranjak menuju rak dan menyimpan buku keramatnya, Risa juga sudah memaklumi kebiasaan bibinya itu, Naisya sangat suka menulis, bahkan tak jarang dirinya membaca isi diary bibinya, meski diam-diam. Hehe.

Naisya dan Risa kini mereka sudah di teras kobong bersama para santri yang lain, mengobrol dan bercanda sembari menunggu maghrib. Tak lama kemudian datang seorang perumpuan bergamis sekitar usia 20 tahun datang menghampiri para santri setelag turun dari motor dan menyeret kopernya pula. Apa dia yang Risa bilang santri baru? Pikir Naisya, 'tetapi kenapa perempuan itu seolah sudah kenal dan terbiasa dengan tempat ini?' Siapakah dia?

TBC.

CINTA DALAM ISTIKHARAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang