8 | 𝙼𝚒𝚜𝚜𝚒𝚗𝚐 𝚈𝚘𝚞

1.8K 371 25
                                    


"Ekhem"

Deheman suara mendadak mengisi ruangan sunyi itu. Seseorang yang masih berpakaian lengkap dengan seragamnya berpose ala-ala tepat di depan sosok yang masih setia menutup kedua matanya damai.

"Mau kapan bangunnya? Lo gak capek tidur terus?"

"Aww"

Injun mendadak melompat girang. Merasa bangga akan dirinya yang berhasil memerankan sosok Renjun.

"Ren liat! Emang kamu doang yang bisa galak? Kembaranmu ini juga bisa!" pamer Injun dengan kedua tangannya berada di sisi pinggangnya.

Apa yang bisa Injun harapkan dengan berbicara kepada seseorang yang masih dinyatakan koma? Tentunya hanya kesunyian yang luar biasa canggung. Senyuman Injun perlahan meluntur, pundak yang sempat menegang tadi perlahan melemas seiringan dengan bibirnya yang sedikit mengerucut.

Kedua tungkainya ia gerakan perlahan menuju kursi yang terletak persis di sisi bangsal itu. Mendudukan bokongnya perlahan, sembari menatap lamat paras Renjun yang tertutup oleh sejumlah alat medis.

"Ren, aku kangen..

Eomma appa kangen, Haechan kangen, Jeno kangen, Jaemin kangen, semua kangen sama kamu.. Kamu gak mau bangun?" ujarnya merilih. Digenggamnya erat jemari sang kembaran dengan kedua tangannya.

"Ren, aku bingung mau mulai dari mana.. Kamu tahu Sohee? Hari ini Sohee dirujuk ke rumah sakit jiwa karena kondisinya yang semakin memburuk. Pasti itu ulah Profesor Kang kan?" Injun menghela nafasnya kasar.

Mau seceria apapun seseorang, pasti pernah mengalami titik terendahnya. Fase itulah yang tengah Injun rasakan sekarang, frustasi akan tanggung jawab yang mendadak harus ia bopong untuk menggantikan sang kembaran.

"Ternyata gini ya jadi kamu Ren? Capek, belum lagi tekanan dari appa. Tapi walaupun begitu, appa sayang banget sama kamu loh Ren. Tiap hari appa nanyain keadaan kamu walaupun dia sibuk. Kamu harus tau aku bangga banget punya kembaran kayak kamu! Sama kayak eomma dan appa yang bangga punya anak kayak kamu. Cepat bangun ya? Kita main bareng lagi"

Satu tetes air mata berhasil lolos dari kelopak matanya. Sudah hampir sepuluh hari Renjun tak menunjukan perkembangan apapun. Ia tak bohong saat mengucapkan kata rindu pada Renjun. Ia sungguh ingin melihat kedua kelopak mata itu kembali terbuka. Harapan dan doa rutin ia kirimkan untuk Renjun agar segera bangun. Namun, sampai kini keinginannya tak kunjung terwujudkan.

Injun membuka layar ponselnya. Jam sudah menunjukan pukul sebelas malam, yang artinya sudah waktunya ia pulang.

"Ren, malam ini aku mau mampir bentar ke rumah. Banyak hal yang aku harus lakuin disana. Janji bentar aja kok, habis itu aku balik lagi kesini nemenin kamu" ujarnya berpamitan dengan senyuman yang terulas indah menghiasi wajahnya. Ia meraih tas ranselnya sebelum akhirnya meninggalkan ruang inap Renjun yang sudah menjadi rumah kedua untuknya juga.





Siapa sangka dibalik itu semua, tanpa sepengetahuan mereka, sedari tadi ada yang tengah memperhatikan mereka dari gedung seberang rumah sakit.

"Mereka bertukar identitas. Yang sesungguhnya berhasil selamat adalah Injun, yang kritis adalah Renjun"






Setelah berhari-hari lamanya, Renjun menginjakkan kakinya kembali pada bangunan megah yang sudah menjadi saksi bisu pertumbuhannya sejak kecil. Suasana yang begitu sunyi membuat setiap langkah yang ia gerakan menimbulkan suara, meskipun dirinya kian berjalan begitu pelan.

Rumah yang sedari dulu cukup sepi ini semakin nampak menjadi-jadi, sebagai akibat dari penghuni rumahnya yang sudah jarang datang menghampiri. Tersisa beberapa pekerja serta asisten rumah tangga yang masih setia menjaga rumah ini untuk tetap elok. Sementara sang majikan yang sibuk dengan pekerjaannya di negeri tetangga, hingga putra sulung keluarga kecil ini yang masih terkapar di rumah sakit. Si bungsu tak mempunyai pilihan lain selain mengawasi kembarannya pula, membiarkan rumah ini jarang dikunjungi.

Injun menikmati suasana setiap sudut ruangan yang ia lewati. Mulai dari ruang tamu, dapur serta ruang keluarga yang sempat ramai pada masanya. Tempat ia tertawa ria dan berbagi keluh kesah tak lagi nampak dipenglihatannya. Semakin bertambah umurnya, semakin jauh rasanya hubungan antara keluarga kecil itu. Menyisakan kesunyian dan kehampaan yang begitu menyesakan hati.

Cukup lama waktu yang ia gunakan untuk bernostalgia, hingga tak sadar dirinya telah tiba di lantai atas dengan jejeran pintu yang terpampang rapih. Netranya menatap sesaat pintu kamar yang terdapat tempelan huruf R sebagai inisial sang pemilik.

Ia membuka pintu itu perlahan. Menekan deretan saklar di sisi dinding untuk menerangkan pencahayaan di kamar itu. Desain kamar yang identik dengan warna hitam abu-abu minimalis, hingga deretan pajangan mobil-mobilan dan motor balap terjejer rapih di lemari kaca menambah kesan kamar yang begitu macho. Berbanding terbalik dengan kamarnya yang identik dengan warna putih cerah serta boneka maupun bantal menggemaskan yang terjejer rapih diatas kasurnya.

Netranya beralih pada meja belajar sang empu yang dipenuhi buku serta kertas yang berserakan. Rupanya kamar ini belum dirapihkan semenjak pemiliknya pergi untuk sementara waktu. Bayangan Renjun yang tengah sibuk berkutat dengan kertas di imajinasinya membuat senyumnya mengembang. Meskipun ia tahu itu semua hanya ilusi semata, cukup menggambarkan betapa rindunya ia pada pahlawannya. Pahlawan yang tak pernah dihargai oleh kedua orang tuanya sendiri.

Injun beranjak menduduki kursi empuk yang sudah menjadi tempat yang nyaman bagi sang pemiliknya. Jemarinya dengan telaten menyusun buku-buku hingga kertas yang penuh dengan coretan rumus pelajaran yang beranekaragam.

"Kamu udah melakukan yang terbaik.." ujarnya bermonolog, tersentuh melihat betapa kerasnya Renjun berusaha hanya untuk dapat diakui ayahnya sendiri.

Pemikirannya mendadak terputar kembali pada masa-masa dimana ayahnya selalu mencaci Renjun, dengan dirinya sebagai alasan dibalik itu semua. Senyuman yang sempat terukir di bibirnya meluntur. Ia berani bersumpah dirinya tak menginginkan hal ini untuk terjadi, ia ingin keadilan untuk Renjun tapi ia tak tahu cara untuk memperbaiki semua ini.

Disela aktifitasnya, tak sengaja sikutnya menyenggol sebuah buku bersampul hitam membuat benda itu terjatuh. Suara yang cukup keras ditengah sunyinya ruangan berhasil membuatnya tersentak. Tubuhnya membungkuk dengan tangannya terulur mengambil benda yang tergeletak di lantai tersebut. Ia menyerngitkan alisnya bingung, mendapati buku yang terlihat begitu asing di penglihatannya.

Rasa penasarannya yang begitu tinggi membuatnya berniat membuka isi dari buku itu, meskipun terselip rasa ragu diantaranya.

"Maaf Ren, aku buka ya?"






To Be Continued.
Next : 22/04/2021

Cryptophasia || Huang Renjun ft NCT WAYVTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang