/Full of Huang Renjun's Diary/12 Februari 2020.
Tanggal yang sungguh ku benci, hari dimana kebodohanku tercatat sepanjang masa.Hari itu, menjadi hari terakhir di semester pertama. Yang artinya sudah menjadi suatu kewajiban bagi para wali atau orangtua murid datang untuk dilaporkan perkembangan putra putrinya sejauh mana mendapatkan ilmu. Tapi, apa kalian pikir semua itu berlaku untuk semua orang? Jika kalian berpikir seperti itu, kalian salah.
Tidak ada satupun dari mereka hadir untuk mengetahui hasil putranya sendiri. Mungkin lebih tepatnya putra sulungnya, karena mereka ada untuk si bungsu. Bungsu yang hanya berjarak 5 menit dariku yang sulung. Aku tidak benci kembaranku sendiri, hanya saja, aku iri? Iri karena aku tak pernah bisa sehebat dirinya. Katakanlah aku haus pujian, ya memang.
Aku hanya ingin tahu rasanya dibangga-banggakan, bukan terus dimarahi dan dibandingi dengan kembaranku sendiri. Apakah peringkat kedua dikelasku merupakan hal yang begitu buruk jika dibandingkan dengan Injun yang mendapatkan juara umum? Ayolah.. Aku tetap ada di peringkat atas meskipun memang hanya dikelasku saja. Aku mendapatkan itu dari hasil kerja kerasku sendiri bukan menyontek, bermalas-malasan atau apalah itu.
Sudahlah lupakan saja, ini melenceng dari topik.
Aku berjalan menelusuri taman di tengah kota seorang diri. Mempertanyakan alasanku masih ada di dunia ini. Tak mempunyai tujuan hidup, bahkan motivasiku pun semakin memudar.
Memang pelarianku ini tak seharusnya ku lakukan tanpa seizin kedua orangtuaku. Tapi cara yang terkesan nakal ini tak pernah gagal menyegarkan kembali hati dan pikiranku. Tenang saja, aku tak pernah berbuat yang aneh-aneh, aku hanya sekedar melepas penat dikepalaku setelah mendapatkan cacian yang sudah biasa ku terima dari ayahku sendiri.Setidaknya dengan pelarian ini, membuatku dapat bertahan satu hari lebih lama setiap harinya.
Ketenanganku mendadak terusik oleh sosok pria yang menghampiriku. Tanpa seizin siapapun, ia mendudukan bokongnya tepat di sisiku yang tengah menikmati angin malam yang dingin, tepat di tengah taman kota. Aku tahu ini terdengar aneh, tapi entah mengapa dia terlihat nyaman untuk kujadikan tempat cerita? Semua beban pikiranku seketika mengalir dengan sendirinya dari bibirku. Mungkin salah satu alasan terkuatku mudah mempercayainya karena ia mendengarkanku dengan seksama, tidak seperti papa.
Little did I know, ternyata itu semua bullshit. Akal-akalan setan untukku agar terpengaruh olehnya. "Saya punya solusi untukmu, cara ini bisa membuatmu lebih baik dari pada kembaranmu". Tawaran singkatnya yang segera kusetujui merupakan pilihan terbodoh yang pernah ku ambil. Bagaimana bisa aku mempercayai orang asing demi mengalahkan kembaranku sendiri? Ah sangat bodoh.. Seharusnya aku bisa berpikir lebih jernih, kehadiran Injun dihidupku bukan sebagai ancaman maupun rivalku tapi sebagai teman hidupku.
Keputusan itu membuatku berakhir di sebuah gedung yang megah di kota Busan, kota yang cukup jauh dari Ibukota Seoul. Gedung itu begitu ramai akan pekerja yang berlalu lalang. Pemandangan yang penuh akan komputer, mesin, cairan-cairan hingga tabung reaksi yang berserakan dimana-mana membuatku menyimpulkan itu adalah sebuah laboratorium. Semua terasa biasa saja hingga ku memasuki ruangan dengan keamanan tinggi dibagian belakang gedung yang penuh akan tabung-tabung berukuran besar. Ada pula kursi hingga tempat tidur yang penuh akan alat hingga borgol yang tertempel diatasnya.
Dia memintaku menunggu untuk sesaat. Disinilah saat dimana aku harus berterima kasih pada diriku sendiri yang tak bisa berdiam diri pada kala itu. Aku menjelajahi setiap sudut bangunan itu yang terdapat pintu-pintu yang berjajar rapih sebagai pembatas dengan ruangan-ruangan lainnya. Melanggar perintahnya yang memintaku untuk tetap diam.
Kemudian nampaknya, salah satu pintu disana terbuka kecil membuatku mengintip melalui celah yang ada, mendapati seorang murid lainnya yang tengah duduk diatas kursi itu lengkap dengan tubuh yang terikat. Anak itu memberontak namun tertahan oleh sejumlah pekerja disana.
Aku melihat bagaimana cairan hijau itu dipaksa mengalir memasuki tubuhnya. Tapi kupikir, itu hanya sebatas vitamin yang sekiranya dapat menyembuhkannya. Namun pemikiran itu mendadak buyar saat tiba-tiba perempuan itu mengejang dan mengeluarkan busah dari mulutnya. Aku tersentak hingga tubuhku mulai menegang gugup, kututup pula mulutku rapat agar tak menimbulkan suara sedikitpun.
Kudengar salah seorang pekerja disana nampak sama paniknya. "Sial, gagal lagi untuk percobaan kali ini". Kalimat yang meluncur dari bibir mereka berhasil membuatku tahu bahwa semua ini tidak ada yang beres. Dengan cepat, aku berlari mencari jalan keluar sebelum pria tadi datang menghampiriku. Namun sayangnya keluar dari sana bukanlah hal yang mudah. Dengan persekian detik mereka semua tahu akan menghilangnya kehadiranku disana. Alarm yang mendadak bunyi membuat semua karyawan disana turut ikut mencariku. Dengan bekal kemampuan bela diriku yang termasuk cukup, membuatku sedikit banyak meruntuhkan mereka satu persatu. Meski pada akhirnya ku gagal untuk kabur dari sana.
Ku kembali ditangkap dan dibekap selama semalaman, menjadikan alasan mengapa ku menghilang selama 2 hari. Di hari terakhirku disana, ku bahkan sudah diseret ke kursi keramat itu. Cairan itu hampir menjalar di tubuhku jika saja ku tidak kembali memberontak.
Sedikit merasa bangga karena pada akhirnya ku berhasil kabur secara mandiri meskipun banyak luka yang ada disekujur tubuhku. Bahkan ku tak tahu bila kedua orangtuaku khawatir akan hilangnya keberadaanku atau tidak, untuk sekedar menanyakannya kepada mereka saja ku tak ingin. Takut bila aku akan kembali tersakiti oleh pengakuan mereka yang tidak sesuai dengan harapanku.
Kurasa kepulanganku yang disambut hangat oleh Injun yang menangis khawatir sudah lebih dari cukup. Mengobati rasa sesalku karena menjadikan Injun alasan untukku hampir mati. Kujadikan pengalaman ini sebuah pelajaran untukku sendiri, bahwa Injun lebih berharga dari apapun. Hanya Injun yang mampu memberikanku kehangatan yang tak bisa kudapatkan dari kedua orangtuaku.
Sejak hari itu pula aku paham mengenai kasus yang beredar di lingkungan sekolahku. Korban yang terus bertambah, hingga rasa trauma yang sedikit menghantuiku sepulangnya ku dari neraka itu membuat hasratku untuk membalas dendam begitu tinggi.
Kini aku tahu apa tujuanku untuk tetap bertahan di dunia ini.
Bertahan untuk menghiasi tempat itu menggunakan kobaran oranye kekuningan dengan tambahan kembang api untuk menyinari langit malam yang nampak begitu gelap.
To Be Continued.
Next : 26/04/2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Cryptophasia || Huang Renjun ft NCT WAYV
Fanfic[END] Meski si kembar Huang Renjun dan Huang Injun telah bersama sedari di dalam rahim sang ibu, tidak menutup kemungkinan keduanya mempunyai kepribadian yg bertolak belakang. Renjun yang dingin dan cuek, sedangkan Injun yang ceria dan manis. Namun...