"Apa yang bisa aku lakukan untuk orang mati, Yeobo?" ulang Jaehwan dengan kedua netra semakin berkaca-kaca.
Bibir Uzma masih terkelu karena terkejut akan pertanyaan Jaehwan yang aneh, ditambah sikap sendu seperti tengah menanggung sebuah kesalahan besar.
"Hmm ... apa yang tengah terjadi denganmu?" Uzma menimpal tanya dengan raut kebingungan. Sebenarnya, ia ingin memastikannya dahulu sebelum menjawab pertanyaan yang terlontar, perihal apa yang sedang terjadi pada suaminya hingga terkalut takut begitu.
Tampak Jaehwan meneguk ludah. Getir tercecap. Ketakutannya bertambah. Serebrumnya membawanya lagi dalam kenangan kelam yang barusan sempat terabaikan. Rasa bersalah menelusup. Berakhir menyalahkan diri sendiri.
"Jawab saja dulu, Yeobo," tuntutnya dengan nada bass rendah.
Uzma mengangguk pelan. Menanggalkan permintaan Jaehwan untuk menjawab segera, memilih mengomando tubuh jangkung di hadapannya untuk duduk di sofa lagi dengan kedua tangannya meraih sebelah lengan Jaehwan.
Tidak berkelit, Jaehwan menurut titah Uzma. Duduk di sofa, bersebelahan dengan Uzma.
"Kau bertanya, apa yang bisa kau lakukan untuk orang mati. Jawabannya adalah kau bisa mendoakannya," jawab Uzma seraya menatap dalam netra Jaehwan.
"Tapi dia bukan sosok Muslim," keluh Jaehwan, masih dengan nada bass rendah.
"Maka tidak ada yang bisa kau lakukan lagi. Mendoakannya pun hanya menjadi sebuah kesia-siaan," ucap Uzma yang langsung diiringi embunan air mata Jaehwan yang mengalir perlahan.
Jaehwan menundukkan wajah mendungnya. Mencoba menyembunyikan sepasang netra yang merintik cairan bening itu, walau nyatanya Uzma sudah melihatnya dahulu.
Sesungguhnya Jaehwan sudah tahu, jika mendoakan seseorang yang telah mati untuk non muslim hanyalah sebuah kesia-siaan. Tidak akan sampai mau dengan apa pun caranya. Berbeda ketika mereka masih hidup, masih diperboleh mendoakan kebaikan apalagi mendoakan agar mereka diberi hidayah-Nya.
Mendapati pemandangan itu, Uzma meneguk ludah. Ia masih bingung dengan keadaan yang ada dengan suaminya ini. Bertalu-talu tanya "ada apa?". Namun, memilih diam, ia sudah cukup iba melihat bagaimana sepasang netra sipit di hadapannya yang biasanya selalu cerah, bisa semendung sekarang. Ini pula kali pertamanya ia menyaksikan Jaehwan menangis terdiam seperti ini, menahan sakitnya luka hati yang ada, entah karena terluka apa.
Tidak banyak yang bisa dilakukan Uzma selain tetap diam tanpa menanyakan hal lain. Ia hanya bisa berempati, meraih kedua tangan Jaehwan dan menggenggamnya erat.
Merasakan sentuhan di kedua tangannya di atas paha berbalut jeans, Jaehwan melirik ke arah genggaman tangan Uzma. Kemudian beralih menatap Uzma dengan basahan air mata di kedua belah pipi yang masih menjejak.
"Gwaenchanha," gumam Uzma. Senyum menguatkan seraya sebelah tangannya mengusap bekas air mata Jaehwan di sebelah pipi.
"Yeobo, aku--" Dengan nada bass masih rendah, Jaehwan ingin jujur perihal kenapa dirinya seperti ini. Namun, Uzma gesit membungkamnya dengan menempelkan jari telunjuk lentiknya ke bibirnya.
Uzma mengulas senyum. Ia ingin Jaehwan mengatakan perihal "ada apa" nanti, di saat suaminya benar-benar sudah tenang.
"Kau bisa mengatakannya nanti, setelah kau merasa tenang."
Jaehwan mengangguk pelan.
"Aku menyiapkan makan malam sekarang. Kau harus minum obat." Uzma terus mencicit. Masih menuntut untuk Jaehwan mau meminum obat.
"Obat?" Jaehwan malah tampak kebingungan. "Obat penenang, Yeobo?"
Uzma menjatuhkan jari telunjuknya di bibir Jaehwan yang barusan menggerak menyuara. Ia pula menjadi bingung. Jaehwan malah tampak lupa akan sakit kepalanya. "Katanya tadi sakit kepala? Kok malah obat penenang?" keluhnya.
![](https://img.wattpad.com/cover/253387061-288-k542585.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Kontras
RomanceIdol K-Pop beragama Islam? Ahn Yusuf Jaehwan mampu bertahan dalam kekontrasan hidupnya. Namun, seiring dengan popularitasnya yang naik bersama boygrup Dazzle, membuat dia kerap lalai akan aturan agama. Hingga takdir mempertemukannya dengan Rosymin...