03. Apakah Layak?

685 148 17
                                    

"Apanya yang nggak mungkin?" selidik Sabina, kali ini tubuh tingginya sudah beringsut ke belakang Uzma yang tengah muram mengamat ponsel di meja belajar.

"Helwa, Bin. Kami udah buat janji ketemuan besok di Seoul City Hall, tapi mendadak banget dibatalin karena dia kena diare. Nyebelin ah!" keluh Uzma. Wajahnya muram, kecewa.

Sabina menghempaskan napasnya, masygul. Membeo, "Aku bilang juga apa, jangan mudah percaya sama orang asing, apalagi di medsos. Banyak orang nggak benar. Ngaku-ngaku jadi ini-itu hanya buat manfaatin orang, alih-alih iseng-iseng, gabut, lucu-lucuan. Kayak Helwa tuh, kayaknya dia bukan anak baik-baik deh, kebukti ngeles mulu kalo diajak ketemu. Palingan dia identitasnya palsu; dari nama, asal negara, atau malah gendernya justru cowok, eh atau malah waria."

Uzma cemberut. Malas dengan ponselnya. Meletakkannya di meja kayu belajar.

"Jangan terus-terusan baik sangka sama sembarang orang. Harusnya kamu mulai lebih selektif milih temen deh dari sekarang, Uzma. Nggak apa circle pertemanan dikit, yang penting mereka orang baik-baik, jelas nyata, wujudnya pasti, nggak ghoib macem Hewla ini." Muka Sabina kelihatan sekali greget dengan tingkah Uzma yang menurutnya polos, mudah percaya dengan seseorang di medsos.

"Selektif, ya?" Uzma menengok ke belakang, mendongak ke arah Sabina yang masih berdiri di belakangnya.

"Hm, nggak usah maksain." Kepala Sabina mengangguk pelan. Bibir kenyalnya mengurva, sebelah tangannya menepuk bahu Uzma pelan.

Uzma tetap membisu, memilih menjawabannya dengan lengkungan bibir.

"Udah, nggak usah sedih." Sabina menguap dengan sebelah tangan otomatis menutupi mulutnya yang terbuka lepas. Netra amber-nya mengembun. "Aku tidur dulu, ya? Mendadak ngantuk nih, mata aku dah lengket. Huh, padahal bentar lagi ashar-an," lanjutnya. Sempat mengeluh perihal waktu yang sempit untuk tidur itu karena sebentar lagi masuk waktu ashar, tapi akhirnya ia beringsut pula ke kasurnya, merebahkan tubuh, lelap cepat.

Uzma membenarkan posisi duduknya di meja belajar. Melamun.

Namanya Song Helwa. Gadis muslimah yang mengaku berasal dari Korsel, tinggal di Daegu. Berawal gadis oriental itu ikut nimbrung, membalas komentar pada foto member Dazzle yang diposting oleh akun resmi History Entertainment--agensi yang menaungi boygroup Dazzle. Beralih ke DM Instagram, berkenalan satu sama lain, alih-alih sesama fan dari Dazzle.

Salah satu yang Uzma pelajari menjadi sosok dari K-Poper, dari segi positifnya adalah menjadi mudah berteman di media sosial tanpa membeda-bedakan banyak hal yang mengarah ke rasis, apalagi jika sesama fandom.

Termasuk kepada Helwa, awal-awal hanya membahas seputar bias yang memang kurang berfaedah menurut Uzma--tapi ia tetap menyukai topik itu--lama kelamaan berubah menjadi rasa nyaman sebagai sosok teman dekat media sosial, lalu topik mulai beragam hingga membahas hal di luar per-bias-an. Kadang membahas kegiatan keseharian, kadang pula membahas perihal yang lebih bermanfaat. Hingga menjurus pada urusan hati.

Di sinilah untuk kali pertamanya Uzma terbuka perihal urusan hati pada orang lain. Curhat. Kepada Helwa teman dunia mayanya.

Uzma tersenyum tipis. Jemarinya mengetuk pelan meja belajar bermaterial kayunya lagi tanpa alasan.

'Aneh, ya?' gumam Uzma dalam senyap. Netranya menatap kosong lampu LED belajarnya yang berbentuk jerapah warna pink.

Memang aneh, bagaimana ia malah lebih mempercayai orang yang belum jelas seperti apa, bahkan fotonya pun tidak ada, karena Helwa tak pernah memposting fotonya satu kalipun di medsosnya, foto profilnya saja foto Jaehwan. Tapi itu bukan masalah bagi Uzma, ia percaya pada Helwa karena merasa nyaman dari cara tuturnya di chat, pola pikir saat mereka membahas sesuatu, dan bagaimana cara sosok itu menanggapi sesuatu. Uzma merasa cocok, nyaman, menjadi percaya bahwa Helwa gadis baik-baik di kehidupan nyatanya. Itu sudah cukup.

Pula, salah satu kelebihan sosok introvert adalah sangat peka akan sesuatu, termasuk dalam mengamati karakter seseorang yang berada di sekitarnya. Cenderung mudah paham akan tabiat seseorang di sekitarnya itu, bahkan pada sosok yang baru kenal. Peka sekali nalurinya.

Begitulah cara Uzma menaruh percaya dengan seseorang. Dengan nalurinya, didasari kepekaan panca indera pastinya, dan kerap valid. Ia sudah banyak membuktikannya sendiri selama bergaul dengan orang-orang. Radar nalurinya jarang menyeleweng.

Itu alasan Uzma percaya dengan Helwa sebegitunya. Ia percaya Helwa orang baik dan bisa dipercaya. Selebihnya jika akhirnya selama ini dalam kenyataan ia sedang dibohongi, itu bukan urusannya. Toh, yang dosa Helwa, yang mempertanggungjawabkan dosa itu Helwa, bukan dirinya.

Termasuk perihal mendadak Diare. Bukan urusan Uzma. Ia memang kesal karena Helwa kerap membatalkan janji temu begitu saja, padahal ia sangat ingin bertemu dan bercakap secara langsung dengan teman muslimah Korsel dunia mayanya itu. Tapi, sudahlah.

Uzma mengibaskan tangannya untuk melapangkan suasan hati. Ber-huh lemah.

'Lebih selektif milih temen?'

Saran Sabina bercokol dalam pikiran Uzma.

Dari awal, dirinya pula mempunyai cara selektif sendiri dalam memilih teman dekat. Ia yakin, selama ini caranya benar. Toh, sampai saat ini dirinya baik-baik saja dengan cara itu. Uzma membuat kesimpulan untuk dirinya sendiri sebelum akhirnya beranjak ke atas kasur mengikuti jejak Sabina yang mungkin sudah menyambang ke alam mimpi.

***

Waktu terus bergulir.

Jaehwan bertamu ke rumah pamannya di Itaewon. Kini ia tengah merebahkan tubuhnya di sleeper sofa dengan memandangi kedua tangannya yang telah lancang menyentuh sebelah tangan gadis berhijab nude di restoran bulgogi langganannya itu, bahkan hingga menggenggamnya.

"Mianhae, Agassi," gumam Jaehwan si main rapper di Dazzle, merasa rikuh, tapi kemudian bibirnya tersenyum.

Melamun, pikiran Jaehwan menyambang lagi ke siang itu, saat di mana kedua tangannya berhasil merasakan hawa hangat sebelah tangan mungil gadis berhijab nude itu. Kedua netra sipitnya menyimak detail pahatan wajah gadis itu yang tengah kebingungan mencari kaca matanya. Lancang sekali memang dirinya, apalagi mendapati perihal rasa bahagia yang malah membucah dalam sanubarinya mendapati laku tak sopan dirinya itu kini.

Jaehwan meneguk ludahnya. Masih dengan menatap kedua tangannya yang ia ambangkan di udara.

Jaehwan memang menyukai perempuan yang imut bertubuh mungil dengan tinggi sedada atau pundaknya, tapi itu bukan ukuran wajib. Yang lebih menjadi ukuran wajibnya adalah sosok perempuan seiman, yang berwawasan baik akan agama, sempurna menutup aurat. Mudahnya yang shalihah. Itu sangat didambakan olehnya.

'Tapi,' sela Jaehwan dalam senyap batin.

Jaehwan melenguh lesu. Simpulan senyumnya mengurai, berubah menjadi aura muram di wajah orientalnya. Kedua tangannya ia jatuhkan ke atas tubuhnya yang terebah di atas sleeper sofa.

'Masalahnya apakah aku layak bersanding dengan perempuan shalihah macam itu?' keluh Jaehwan dalam ruang kedap suara batinnya. Dadanya terbungkus sesak akan sebuah pemantasan ketika bercermin pada diri sendiri.

Ah, dia selalu merasa tidak pantas bisa mendapatkan perempuan shalihah macam ini.

______________

Translate:
Mianhae: maaf (non-formal)
Bogosipeo: aku merindukanmu
Hwaiting: semangat

KontrasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang