❤️ Happy Reading ❤️
Hari yang cerah, ketika remaja bercelana pendek itu mendongak maka yang ia lihat adalah hamparan langit biru tanpa ada sekelumit awan yang menutupi. Cuaca cenderung panas, itulah mengapa sekarang Arsen hanya mengenakan celana pendek putih dan kemeja hitam lengan pendek pula. Dengan sebuah waist bag terselempang di tubuhnya, cukup memberi kesan sederhana namun tetap modis. Memiliki ibu yang mengelola butik dan mencintai fashion memberi keuntungan tersendiri untuknya.
"Sini, Nak. Jam sepuluh nanti kita baru bisa bertemu Dokter Rian, sekarang kita ke kantin dulu. Beli camilan atau minum daripada di dalam harus menunggu lama," tukas Tia kemudian menggandeng tangan putranya ke arah yang dimaksud.
Arsen tak menolak meski tubuhnya diseret ke sana kemari, karena dia sudah pasrah setelah semalam ibunya memohon agar ia untuk pergi ke rumah sakit. Meski Arsen sangat benci aroma obat-obatan, hari ini ia harus datang ke tempat ini demi kebaikannya sendiri.
"Kita pulang aja, deh, Ma. Aku nervous banget," celetuknya usai meneguk air mineral yang ibunya belikan.
Tia tidak terkejut dengan respons yang ditunjukkan oleh putranya, karena sudah hampir dua tahun berlalu sejak terakhir kali anak itu bertemu dengan sosok yang membuatnya gugup seperti ini. Dengan lembut wanita itu menggenggam tangan si buah hati dan mengusapnya dengan lembut.
"Udah dua tahun, loh, nggak ketemu Dokter Rian. Sangking kangennya sampai nervous, ya?" Niat Tia adalah untuk mencairkan suasana, namun sepertinya Arsen terlampau gugup sehingga tak bisa menanggapi gurauan ibunya.
"Mama ...." Arsen sedikit merengek. Tak peduli jika beberapa pengunjung kantin heran akan tingkahnya.
"Ssst ... nggak malu, ya? Dilihatin banyak orang loh, Nak. Lagi pula, semalam 'kan kamu sendiri yang sudah janji sama Mama untuk datang. Masa kurang lima belas menit lagi malah pulang?" ujar Tia berusaha meyakinkan.
Menghadapi Arsen mode manja lebih sulit daripada yang nakal. Jika itu soal membolos dan berkelahi, Tia hanya perlu menegur dan berpura-pura marah, maka anak itu akan merasa bersalah dengan sendirinya dan berakhir dengan tidak mengulangi kesalahannya beberapa waktu ke depan. Namun, jika manja, Tia yang akhirnya kalah karena tidak tega melihat buah hatinya merengek.
Tia melirik arlojinya. "Ayo, kita pergi sekarang. Kurang sepuluh menit lagi, kasihan kalau Pak Dokter nungguin," tukasnya tak memberi kesempatan Arsen untuk menolak.
Alhasil meski dengan jantung berdetak tak karuan, Arsen tetap mengekor di belakang ibunya hingga tiba di depan sebuah ruangan yang tak asing baginya. Dua tahun lalu, tempat ini adalah destinasi yang paling sering remaja itu kunjungi. Tak disangka, ketika lama berpisah akhirnya dia kembali lagi.
"Oh, halo, Arsen. Bagaimana kabarnya? Aduh, baru dua tahun nggak ketemu, kamu sudah setinggi ini, ya?" Baru saja menutup pintu, Arsen sudah dihujani oleh ocehan seorang pria berseragam khas dokter yang kini menatapnya penuh takjub.
Pria empat puluh tahun itu bangkit dari duduknya dan menghampiri Arsen. Dipandanginya wajah bocah yang dulu pernah menangis dan merancau di hadapannya kini telah tumbuh menjadi seorang pemuda tampan, dokter itu tak bisa menyembunyikan rasa harunya. Ia menepuk bahu Arsen dan mengacak rambut kecoklatan itu dengan gemas.
"Saya baik, Dok. Tapi ada beberapa hal yang bikin saya nggak nyaman," kata Arsen. Bocah itu tak membalas kehangatan yang dokter itu berikan, ia terlalu gugup.
KAMU SEDANG MEMBACA
PURA CORDIS
Teen Fiction#teenfiction #family #friendship #trauma Kehidupan Arsen yang tenang menjadi kacau semenjak kedatangan Cleon. Sosok dari masa lalu itu datang untuk menuntut balas atas kematian adiknya. Padahal Cleon tahu jika itu hanya kecelakaan biasa, bahkan kel...