❤️Happy Reading❤️
.
.
.Di sudut ruangan dengan penerangan remang-remang, sosok itu menggeliat tak nyaman sebelum kedua matanya benar-benar terbuka dan terkejut dengan apa yang terjadi pada dirinya. Terbaring di lantai dingin dengan kedua kaki dan tangan terikat erat membuatnya gelisah.
Dengan sekuat tenaga, ia berusaha untuk duduk dan bergerak susah payah untuk bersandar pada dinding di dekatnya. Netranya mengedip beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya kemudian termenung.
“Gue diculik, nih, ceritanya?” gumam bocah itu sedikit heran.
Berada di sebuah ruangan sempit nan kotor dan minim pencahayaan, serta tangan dan kaki yang terikat membuat Arsen semakin yakin dengan apa yang menimpa. Kepalanya pun terasa pusing ketika berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi. Namun, satu hal yang ia tahu pasti, bahwa seseorang telah memaksa dia masuk ke sebuah mobil begitu dirinya keluar dari toilet.
“Eh ... toilet? Lah, gue ‘kan tadi belajar kelompok. Terus kabar mereka gimana?” Lagi-lagi ia bermonolog.
Melihat langit gelap dari sebuah jendela kecil di ruangan itu, Arsen menebak bahwa malam sudah begitu larut atau mungkin fajar segera menyingsing. Sudah berapa lama ia tidak sadarkan diri? Kepalanya pusing dan tubuhnya terasa kaku seakan sudah terbaring di posisi sama dalam waktu yang lama.
“Tolong ... ada orang nggak di luar? Tolongin, dong!” Ia berteriak dan menendang-nendang kursi di dekatnya hingga menghasilkan bunyi bising.
Tak berselang lama pintu terbuka dan menampakkan sesosok pria bertubuh tinggi besar dengan pakaian serba hitam. Arsen senang karena akhirnya ada yang datang ketika mendengar teriakannya, tetapi kedatangan sosok itu malah membuatnya menelan ludah.
“Ha–halo, Om ....” sapa Arsen pada pria yang kini berdiri di hadapannya.
Pria itu bergeming, tetapi netranya menatap tajam pada Arsen hingga membuat bocah itu bergidik ngeri.
Namun meski begitu, Arsen tak gentar. Ia kembali berucap, “Om yang ikat saya, ya? Om penculik? Nggak salah tangkap, Om? Orang tua saya nggak kaya-kaya banget, kalau minta uang tebusan juga nggak bisa sampai milyaran.”
Pria di hadapannya masih tak menjawab, dan itu membuat Arsen sedikit kesal. Baru saja dia akan kembali berucap, dia tiba-tiba berjongkok di depan Arsen hingga jarak di antara keduanya tak lebih dari setengah meter. Hal itu membuat Arsen beringsut mundur, tetapi dinding di belakangnya sudah merupakan akhir dari pergerakannya.
“O–om mau ngapain?” Arsen was-was.
Dia pikir pria itu akan memukulnya atau melakukan hal buruk lain, tapi nyatanya ia hanya memeriksa tali yang mengikat tangan dan kaki Arsen. Setelah yakin jika ikatan masih erat, dia kembali berdiri dan bersiap untuk meninggalkan ruangan itu. Akan tetapi, suara Arsen membuat langkahnya terhenti.
“Salah saya apa, sih?! Penculikan itu tindak kriminal, loh, Om. Kalau nanti sampai polisi dateng, Om bisa dipenjara,” seru Arsen dengan suara serak. Tenggorokannya terasa kering karena sejak bangun, dia belum minum air sama sekali.
“Hukum bukan hal yang sulit bagi orang yang sudah memberi perintah pada kami, dan penjara hanya seperti taman bermain.”
Jawaban pria itu membuat tubuh Arsen merinding. Apakah sosok yang memberi perintah adalah orang yang kebal terhadap hukum? Memangnya dia berurusan dengan orang sepenting apa?
“Orang itu siapa, Om?” tanya bocah itu lagi.
Namun, bukan jawaban yang ia dapat, melainkan sebuah tendangan keras mendarat di tulang keringnya. Arsen memekik dan terbatuk ketika rasa sakit tiba-tiba menjalar ke bagian kaki.
KAMU SEDANG MEMBACA
PURA CORDIS
Teen Fiction#teenfiction #family #friendship #trauma Kehidupan Arsen yang tenang menjadi kacau semenjak kedatangan Cleon. Sosok dari masa lalu itu datang untuk menuntut balas atas kematian adiknya. Padahal Cleon tahu jika itu hanya kecelakaan biasa, bahkan kel...