1 ; Arsen

4.7K 230 35
                                    

❤️ Happy Reading ❤️

Gemericik air dari balik kamar mandi menghiasi suasana di pagi hari yang cukup sibuk. Jam dinding menunjukkan pukul 06.10 WIB ketika sosok tinggi itu keluar dengan handuk terkalung di lehernya. Seperti namanya, bocah yang sebentar lagi menginjak usia delapan belas tahun itu tampak gagah dan maskulin. Ia tinggi tegap, meski tidak memiliki otot seperti atlet, tapi badan Arsen cukup bagus untuk remaja seusianya.


"Nggak nyangka, gue secakep ini," gumamnya di depan cermin ketika memasangkan dasi.

Beberapa kali ia menyisir rambut dengan tangan tanpa peduli rambutnya akan terlihat lebih berantakan. Ia semakin bangga karena kemarin baru saja mengganti warna menjadi coklat gelap, terlihat lebih natural dan cocok untuknya.

"Kamu mau sarapan apa kencan sama kaca? Dari tadi ditunggu kok malah ngobrol," tegur sosok yang muncul dari balik pintu.

Dengan senyum cerah bocah itu datang dan memeluk manja Tia. "Ah ... Mamaku yang cantik, selamat pagi," ocehnya manja.

Hari Senin merupakan hari termalas untuk Arsen, ia sangat ingin membolos sekolah daripada mengikuti kegiatan upacara bendera di tengah teriknya matahari. Andai tidak ada sang ibu yang sedari pagi mengetuk pintu kamarnya, ia akan tetap bergelung di dalam selimut.

"Udah sebesar ini masih manja, ayo yang cepet nanti telat lagi. Apa nggak capek dihukum terus, hm?"

Meski berkata seperti itu, Tia tetap mengusap kepala Arsen dengan penuh kasih sayang. Karena Arsen adalah satu-satunya putra yang ia punya di dunia ini. Maka Tia tak akan tanggung-tanggung memanjakan anak itu.

Namun, bukan berarti ia membiarkan putra kesayangannya jatuh ke jalan yang salah karena kebebasan yang diberikan. Melainkan Tia membiarkan Arsen menjalani kebebasannya agar anak itu tahu jalan mana yang pantas ia ambil.

Tia tidak ambil pusing dengan tingkah bengal Arsen di sekolah, karena ia tahu di balik sifat nakal khas remaja, putranya ini berhati murni. Biarlah jika seseorang mengatakan bahwa Arsen itu hanya remaja nakal yang sering membuatnya malu yang tak bisa dibanggakan. Mungkin tak banyak yang menyadari, tapi sebagai ibu, Tia sangat paham setulus apa hati putranya.

"Sarapan bareng, ya? Takut nanti kamu nggak kuat berdiri pas upacara," ujar wanita itu diiringi tawa ringan.

Arsen mengerucutkan bibir. "Dikira anak cewek apa, sedikit-sedikit pingsan kalau kena panas. Anak mama ini kuat, loh."

Keduanya berjalan secara beriringan menuju ruang makan untuk menyantap sarapan yang sudah tua siapkan. Melihat wajah mamanya berseri, mau tak mau Arsen ikut mengembangkan senyumnya. Kebahagiaan versi Arsen tetap sama, ia akan bahagia jika orang yang ia sayangi bahagia. Terdengar mudah, tapi jika dilakukan mungkin sulit. Karena alih-alih berusaha membahagiakan orang lain, lazimnya manusia akan mengejar dan melakukan bermacam hal untuk kebahagiaannya sendiri.

Seperti saat ini, senyum remaja itu perlahan lenyap ketika sampai ke meja makan. Pandangannya terpaku pada sosok yang sudah duduk penuh wibawa di salah satu kursi yang dulunya kosong. Pria itu menurunkan koran yang semula ia baca lantas melemparkan senyuman.

"Pagi, Arsen. Mau Papa antar apa berangkat sendiri? Kebetulan Papa nggak ada jadwal kunjungan ke bengkel hari ini," sapa pria yang menyebut dirinya Papa itu pada Arsen.

Yang ditanya menggeleng dan menjawab, "Nggak usah, Om. Udah biasa pakai motor sendiri."

"Panggil Papa. Mama 'kan udah bilang," tegur Tia ketika mendengar Arsen memanggil suaminya dengan sapaan Om.

"Tapi Papa-ku Cuma satu, Ma. Nggak ada Papa yang lain, lagian Om Elan juga nggak keberatan aku panggil Om." Tak mau kalah, Arsen melontarkan pembelaan.

PURA CORDIS Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang