❤️ Happy Reading ❤️
Suasana begitu mencekam ketika Cleon menginjakkan kaki ke dalam rumah megah itu. Ini adalah kali pertama dia kembali ke rumah dalam kurun waktu tiga bulan terakhir. Sebelumnya pemuda itu lebih memilih untuk menghabiskan waktunya di apartemen dekat sekolah. Kepulangan kali ini juga karena paksaan dan ancaman dari sang ayah yang akan mencabut semua fasilitas yang dia gunakan. Jika tidak seperti itu, mana mungkin Cleon mau repot-repot kembali ke tempat suram ini.
Seperti sudah dinanti, ayah dan ibu Cleon sudah duduk manis di sofa empuk berlapis beludru. Melihatnya saja bocah itu mendadak pusing. Setelah ini ia harus mempersiapkan telinga untuk mendengar amarah keduanya.
"Apa kamu masih ingin terus bermain?" Tanpa menanyakan kabar maupun menyuruh duduk, pria berwajah garang itu langsung melontarkan pertanyaan pada Cleon.
Pemuda yang masih berseragam sekolah itu hanya bungkam, tak ada niat untuk menyahut selain anggukan kecil. Jika Arsen belum hancur, maka Cleon tidak akan pernah berhenti.
Jonathan, nama pria itu, memijit pelipisnya dan mendesah kesal. Dia tak tahu lagi, apa yang harus dilakukan untuk menghentikan tingkah bodoh putranya ini.
"Papi minta kamu berhenti secepatnya. Hal-hal dan pengeluaran yang habis ini hanya sia-sia, Cleon. Daripada bermain-main menjadi anak SMA, lebih baik kamu bantu kakakmu mengurus bisnis kita. Papi kasih kebebasan untuk memilih, kamu mau urus kasino apa perusahaan. Terserah kamu, asal kamu berhenti bermain," tukas pria itu berusaha sabar. Di sampingnya, sang istri masih setia dalam diam, tetapi tatapan tajam terarah pada putranya.
"Harus berapa kali Cleon bilang, sih, Pi? Aku nggak akan berhenti sebelum orang yang bikin Gavin mati itu hancur. Aku nggak akan berhenti!" Cleon melipat kedua tangannya ke depan dada. Pembahasan ini selalu diulang ketika mereka bertemu, itu menyebalkan.
Jonathan murka. "Gavin, Gavin, Gavin lagi! Sudah berapa kali Papi bilang, dia sudah mati. Jangan pernah ungkit soal dia. Semua sudah jelas, adikmu mati karena kecelakaan, bukan dibunuh. Apa kamu sangat bodoh sampai tidak bisa membedakan fakta itu?!"
Semua orang di rumah ini tahu bahwa kematian Gavin memang murni kecelakaan, entah itu hasil dari penelitian polisi atau orang khusus yang dikirim oleh Jonathan untuk memeriksa ulang. Namun demikian, Cleon tetap menolak fakta itu dan tetap menyalahkan orang yang berada di lokasi bersama Gavin.
"Kalian yang bodoh, nggak becus urus anak. Hanya peduli soal reputasi dan terus mengisi pundi-pundi. Lebih takut hujatan publik daripada isi hati anak. Kalau Papi sama Mami nggak egois, Gavin mungkin masih ada di antara kita!"
Bersamaan dengan selesainya kalimat itu, sebuah gelas melayang bebas dan mendarat tepat di dahi Cleon. Aroma alkohol dan amis darah bercampur, menyerang indra penciuman pemuda itu. Rasa perih dan pening juga langsung menyerang, tapi Cleon tidak peduli. Dia sudah terlampau marah.
Keheningan terjadi beberapa saat setelah peristiwa pelemparan gelas itu terjadi. Jonathan sebagai pelaku sendiri cukup terkejut dengan tindakannya. Sementara Martha, sang istrinya, memekik tertahan melihat putranya terluka. Wanita itu bergegas mendekati Cleon, berniat untuk melihat kondisi putranya. Namun ketika sampai di dekatnya, Cleon menepis mentah-mentah tangan Martha.
"Cleon ...." lirih Martha tertahan.
"Iya, bunuh aja aku sekalian, Pi! Daripada nanti jadi anak yang malu-maluin. Toh, masih ada Allen 'kan? Dia mampu kok ngurus semua bisnis kalian."
KAMU SEDANG MEMBACA
PURA CORDIS
Teen Fiction#teenfiction #family #friendship #trauma Kehidupan Arsen yang tenang menjadi kacau semenjak kedatangan Cleon. Sosok dari masa lalu itu datang untuk menuntut balas atas kematian adiknya. Padahal Cleon tahu jika itu hanya kecelakaan biasa, bahkan kel...