23 ; Envy

1.3K 153 25
                                    

"Ada seseorang yang bahagia hanya dengan sebungkus permen, tetapi ada juga yang sama sekali tidak tersenyum padahal dia memiliki segudang emas."

❤️Happy Reading❤️
.
.
.

Langkah kaki menggema memenuhi koridor rumah sakit. Adalah Tia dan Elan yang berlari panik setelah mendapat kabar tak mengenakan tentang putranya. Padahal keduanya hanya mampir ke kantin sebentar untuk menyantap makan siang, usai seharian berdiam di ruang rawat itu.

Entah kecerobohan apa lagi yang Arsen lakukan hingga membuat dua orang dewasa itu tak pernah bisa tenang bahkan hanya untuk sekadar duduk.

"Astaga ... kamu kenapa, sih, Nak? Sampai bisa jatuh begitu." Tia memeriksa tubuh anaknya dari kepala hingga kakak.

"Kepleset, Ma! Aku cuman mau ke toilet, kok. Nungguin Mama balik dari kantin lama banget, udah nggak tahan," rengek bocah itu sedikit kesal.

"Kamu 'kan bisa panggil perawat, tinggal pencet tombol di samping ini. Kenapa malah jalan sendiri?" tukas Tia sembari menunjukkan letak tombol emergency call di samping ranjang Arsen.

Arsen mendadak diam dan menarik sang ibu untuk mendekat. "Aku malu, Ma."

Seorang perawat yang baru saja membenarkan letak infus di punggung tangan Arsen hanya bisa tersenyum dan geleng kepala melihat kemanisan ibu dan anak itu.

"Kenapa malu? Toh, suster juga nggak akan ikut masuk ke toilet, dia cuma antar sampai depan pintu." Ketika Arsen mengatakan isi hatinya dengan berbisik, justru Elan dengan lantangnya menanggapi ungkapan itu.

Tentu saja hal itu membuat wajah Arsen memerah seperti kepiting rebus. Bocah itu nyaris meneriakkan kata penuh umpatan kepada sang ayah jika saja Tia tidak mencegahnya.

Arsen yang sedang sakit memang selalu menjadi lebih manja dan emosional. Di dunia ini, mungkin hanya Tia uang mampu bertahan dengan sikap anak itu.

"Aku kapan bisa pulang, Ma? Katanya kemarin, terus malah berubah jadi nanti sore. Bosen banget aku di sini." Arsen mengubah posisi berbaring menjadi duduk. Bocah itu berniat untuk memainkan ponselnya, tetapi gagal karena Tia sudah lebih dulu menyita benda pipih itu.

"Kalau kamu banyak istirahat dan nggak main game terus juga cepet keluar dari sini. Makanya jangan bandel kalau dibilangin." Dengan sabar wanita tiga puluh delapan tahun itu merapikan rambut putranya yang sedikit acak-acakan.

Tak jauh dari ibu dan anak itu berbincang, terdapat Elan yang sibuk dengan laptopnya. Arsen tak mau ambil pusing dengan Elan, beberapa hari terakhir pria itu memang sedang direpotkan oleh urusan bengkel.

Perawat yang datang membantu Arsen sebenarnya datang untuk mengantar makan siang remaja itu. Karena sudah kepalang malu dan merajuk, akhirnya Tia yang harus menyuapi anaknya agar Arsen mau menyantap makan siangnya.

"O, iya. Mumpung di rumah sakit ini, gimana kalau kamu sekalian ketemu Dokter Rian? Satu minggu di sini, mama lihat kamu banyak melamun, loh, Nak."

Bocah itu menolak suapan ketiga dan lantas meneguk air. Ingatannya kembali pada saat di mana ia tersesat di hutan bersama Cleon. Mendengar kalimat yang terlontar dari mulut ibunya, Arsen tiba-tiba kehilangan selera makan.

"Aku nggak mau ketemu Om Rian lagi, Ma. Pokoknya nggak mau!" Arsen menautkan kedua tangannya dan meremas gelisah.

Penolakan seperti ini tidak biasanya terjadi. Meski tak jarang putranya merengek enggan untuk pergi, tetapi Tia tak pernah mendapat penolakan langsung dari Arsen.

"Loh, kenapa? Ini mumpung dekat, loh, Nak. Lagian kamu udah lama nggak konsultasi dan kemarin temen kamu bilang, pas hujan kamu-"

"Aku nggak mau karena setiap aku keluar dari tempat itu, Mama kelihatan sedih. Sama kayak dua tahun lalu. Mama pasti nangis di belakang aku, 'kan?" Arsen memotong pembicaraan ibunya.

PURA CORDIS Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang