❤️Happy Reading❤️
.
.
.Dari permainan game online hingga mencoret-coret buku sketsa yang kemarin dibeli, sudah Arsen lakukan. Akan tetapi, rasa bosan justru semakin menggerogotinya tanpa ampun. Akhir pekan ini ia tak memiliki kesibukan sama sekali, bahkan sekadar kencan pun tak ada. Selvi sibuk dengan urusan pernikahan sepupunya, jadi sementara waktu gadis itu tidak akan bisa ia ajak bermain dengan bebas.
Arsen mengangkat lengan kirinya ke udara dan mengamati beberapa saat. Luka minggu lalu yang ia buat sudah sembuh total, tetapi di sana ada sebuah bekas yang mungkin tak akan pernah hilang. Ini hanya satu sayatan, selain sakit, bekas yang ditinggalkan juga sangat jelek. Lantas bagaimana dengan Daniel bisa tahan menorehkan banyak luka di kedua lengannya? Bekas yang Arsen lihat juga bukan main jumlahnya.
"Pasti sakit banget, ya, Niel? Saking sakitnya sampai lo nggak bisa rasain apa-apa," gumamnya membayangkan betapa menderitanya Daniel dulu.
Berbicara soal Daniel, Arsen jadi ingat bahwa bocah itu sudah menghindari berbicara dengannya hingga hari ini. Jika normalnya orang marah akan melampiaskan emosi yang meluap-luap, berbeda dengan Daniel, remaja itu menggunakan diam sebagai tanda bahwa ia marah. Yah, sangat cocok dengan kepribadiannya yang tak banyak bicara.
Dengan sisa kemalasan yang masih melekat, Arsen meraih ponsel dan mencoba untuk menghubungi nomor Daniel. Namun lima kali ia memanggil, lima kali juga panggilan Arsen tak mendapat jawaban. Tampaknya Daniel benar-benar tak ingin berbicara dengan Arsen.
"Kenapa, sih?!" Antara kesal dan sedih, Arsen melempar kembali ponselnya ke atas kasur.
Remaja itu berguling ke kiri dan kanan secara berulang hingga ketika dirasa pusing, barulah ia berhenti. Jika terus-menerus begini, mungkin hubungan pertemanannya dengan Daniel akan semakin buruk dan bahkan bisa berakhir dengan saling menjauh.
Tidak! Arsen menggeleng kuat. Dalam kamus hidup Arsen, jika mereka sudah berikrar sebagai sahabat, maka persahabatan itu harus dijaga agar tetap utuh selamanya. Ya, ketika keadaan belum sepenuhnya memburuk, dia harus memperbaiki semua.
Membuang semua rasa malas yang masih melekat, Arsen akhirnya bangkit dan berjalan mendekati almari pakaian. Mengambil sebuah jaket jeans dan pergi mengambil sepasang sepatu sneaker dari rak lantas menggunakannya dengan sedikit terburu.
Begitu membuka pintu, dirinya terlonjak dan mundur beberapa langkah.
"Astaga, Mama ... bikin kaget aja," gerutunya ketika melihat Tia berdiri di depan pintu kamar.
"Kamu juga bikin kaget, Mama. Baru mau diketuk, malah udah kebuka duluan pintunya," balas Tia kemudian menerobos masuk. Wanita itu meletakkan nampan berisi kue kering dan kacang atom ke atas meja.
"Kamu rapi gini, mau ke mana emang? Katanya nggak ada rencana main sama temen atau pun kencan sama Selvi. Kok, sekarang malah mau pergi?" tanya Tia penuh selidik.
Arsen menggaruk kepalanya dan tertawa canggung. "Emang nggak ada rencana keluar, sih. Tapi aku mau ke rumah Daniel sebentar, Ma," balasnya.
Sang ibu mengangguk paham. "Kalau gitu, berangkat aja nggak apa-apa. Jangan lupa pamit sama Papa di kebun belakang."
"Oke, aku berangkat dulu. Bye, Ma!" Arsen mencium punggung tangan sang ibu dan berlari kecil menuruni tangga. Mungkin menjadi terbuka di depan satu orang sahabatnya akan memperbaiki hubungan antara mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
PURA CORDIS
Teen Fiction#teenfiction #family #friendship #trauma Kehidupan Arsen yang tenang menjadi kacau semenjak kedatangan Cleon. Sosok dari masa lalu itu datang untuk menuntut balas atas kematian adiknya. Padahal Cleon tahu jika itu hanya kecelakaan biasa, bahkan kel...