❤️ Happy Reading ❤️
Menjelang siang, suasana di lapangan upacara semakin ramai dengan kerumunan siswa-siswi yang mengantre untuk membeli aneka jajanan. Stan yang dijaga Arsen juga cukup ramai, sampai-sampai remaja itu harus memanggil bala tentaranya untuk membantu."Sabar, Bos. Semua pasti kebagian. Yang penting bayar, ya." Arsen menggunakan toa agar para pelanggannya bersabar.
Padahal mereka hanya menjual risoles dan kue tradisional, tetapi pelanggan sudah mengular sedemikian panjang. Sial! Semester depan, Arsen lebih baik membersihkan kelas atau ikut menata panggung daripada harus berjualan seperti ini.
"Arsen, aku beli risoles dua sama kue lapis dua, ya. Cepet nggak pakai lama!"
"Aku klepon 10.000 sama lumpia 5.000. Please, cepet ya, temenku udah nunggu."
"Gue nasi jagung dan kue mendut lima." Salah satu pelanggan laki-laki menyela. Hal itu membuat Arsen semakin keteteran. Remaja itu sampai salah memasukkan jumlah kue karena terlampau bingung..
"Nggak jual nasi jagung, di sini kue manis semua, bego! Kalau mau nasi bawa dari rumah! Jangan buru-buru, dong, tangan gue cuma dua!" geram remaja itu karena semua pelanggan ingin didahulukan.
Di sampingnya, Brian dan Daniel juga membantu. Tetapi sepertinya tenaga mereka masih kalah jauh dengan jumlah pelanggan. Meski mendapat umpatan, para pelanggan tak ada yang protes. Mereka sudah terlampau kebal dengan mulut pedas Arsen.
Meski sembari mengeluh ini dan itu, Arsen tetap melaksanakan tugasnya dengan baik. Hingga tumpukan kotak yang tadinya penuh dengan kue dan risoles kini habis tak bersisa. Tiga bocah yang tadinya bekerja seperti dikejar setan kini dapat bernapas lega.
"Argh ... anjing! Tahun depan gue nggak mau jual ginian lagi! Capek banget, sialan!" Teriakan Arsen begitu keras hingga beberapa siswa kelas satu yang lewat berlari menjauh usai mendengar umpatannya.
Di sisi lain, Daniel dan Brian merapikan kotak dan meja dalam diam. Bersahabat dengan Arsen sekian tahun, membuat mereka terbiasa dengan kegilaan bocah itu. Jika sedang dalam suasana hati buruk seperti ini, lebih baik diamkan. Toh, mau dihibur atau apa pun, Arsen tak akan peduli dan tetap mengoceh layaknya beo.
Sekitar sepuluh menit berlalu, Arsen mulai diam. Sepertinya dia lelah karena terlalu banyak bersuara. Dengan malas bocah itu menjatuhkan diri di kursi samping Daniel. Timbul niat licik ketika melihat sahabatnya yang sedang fokus menonton video berisi materi pelajaran di ponsel.
"Niel, gue haus. Beliin minum, dong, udah lemes banget, nih." Arsen melancarkan aksinya. Dia tidak akan membiarkan Daniel tenang belajar di waktu liburan seperti ini.
Daniel merogoh kantong seragam sekolahnya dan mengeluarkan satu lembar uang berwarna merah, kemudian menyerahkan benda itu pada kawannya.
"Nih, beli sendiri aja. Di sebelah ada stan minuman, sekalian beliin Brian juga nggak apa-apa. Kembaliannya ambil aja," tukas bocah berkacamata bulat itu tanpa menoleh.
Gagal! Daniel tidak goyah karena keisengannya. Meski begitu, Arsen tak menyerah. Remaja itu berbalik arah dan menatap Brian dengan semangat.
"Brian—"
"Nggak usah usil. Gue udah kebal sama sifat setan lo, ya."
Belum usai Arsen bercakap, Brian lebih dulu memotong pembicaraan. Pemuda berbandana hitam itu sedang fokus memainkan game secara online, tidak mau diganggu.
Mendapat jawaban seperti itu, Arsen mendengkus gusar. Hari ini semua orang sangat menyebalkan di matanya. Tidak ada satupun kesenangan yang ia dapat.
Bosan, satu kata yang dapat menggambarkan seluruh keadaan. Bila terus-menerus seperti ini, Arsen akan kehilangan kewarasan. Maka dengan sedikit paksaan, bocah itu bangkit dari duduknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
PURA CORDIS
Teen Fiction#teenfiction #family #friendship #trauma Kehidupan Arsen yang tenang menjadi kacau semenjak kedatangan Cleon. Sosok dari masa lalu itu datang untuk menuntut balas atas kematian adiknya. Padahal Cleon tahu jika itu hanya kecelakaan biasa, bahkan kel...