❤️Happy Reading❤️
.
.
.“Oh, jadi sekarang lo ada di pihak Papi, Kak?” Rahang Cleon mengeras, sekuat tenaga ia berusaha untuk tidak berteriak di depan wajah yang lebih tua.
Allen menutup mata sejenang dan menarik napas lelah. Niatnya datang ke apartemen Cleon adalah untuk membujuk anak itu pulang sekaligus menyampaikan pesan dari sang ayah, tetapi dia malah dituduh. Dia harus ekstra sabar untuk menghadapi adik satu-satunya ini.
“Listen to me, Cleon. Gue nggak bermaksud membela Papi, justru ini semua demi kebaikan lo dan juga bocah-bocah yang udah terlibat. Inget, Cle, sekali Papi turun tangan, we can’t do anything,” tuturnya lantas menjatuhkan tangan ke bahu sang adik.
Dengan cepat Cleon menepis tangan Allen dan berjalan menuju balkon. Mengeluarkan sebatang rokok dan menyalakan pemantik. Entah sejak kapan kebiasaan ini muncul, Cleon selalu menyulut rokok setiap emosinya meluap-luap. Hingga sekarang dia menjadi terbiasa.
“Gue cuma pengin tahu rasanya punya temen, Kak. I mean, temen yang sebenarnya. Di mana lu bisa main, ketawa, ngelawak, usil, dan lain-lain. Selayaknya bocah SMA pada umumnya.” Kepulan asap memyembul dari bibir pemuda itu.
“Papi nggak adil, dulu Gavin bisa bebas pilih sekolah di tempat yang dia suka. Sedangkan gue? Harus sekolah di mana isinya orang-orang bersaing untuk jadi nomor satu. Gila banget sampai gue cuma kenal teman kelas dengan panggilan si peringkat satu, si peringkat dua, dan seterusnya. Tanpa tahu, siapa dan seperti apa mereka sebenarnya,” papar Cleon, masih asyik dengan batang nikotin di bibirnya.
Ini adalah kali pertama Allen mendengar adiknya mengeluh soal masa sekolahnya yang terbilang singkat. Pria berkemeja putih itu tak bisa membalas ucapan Cleon, ia justru merasa iba karena masa sekolah Cleon memang tak seindah bocah seusianya. Dari kecil, dia lebih diprioritaskan untuk menuntut ilmu dan belajar soal seluk beluk bisnis keluarga. Karena dibanding Gavin, dia jauh lebih menjanjikan untuk menjadi penerus perusahaan setelah Allen.
“Arsen dan juga bocah-bocah itu, punya sesuatu yang nggak gue punya. Semakin dilihat, hal sederhana yang mereka miliki bikin gue makin iri. Karena apa yang mereka punya nggak bisa dibeli dengan uang,” lanjut pemuda itu diiringi tawa yang justru terdengar menyedihkan di telinga sang kakak.
“Kita dan mereka beda, Cle. Harusnya sejak awal lo udah sadar akan hal itu,” celetuk Allen tiba-tiba, dia bahkan tidak percaya dengan apa yang meluncur dari bibirnya sendiri.
Cleon tertawa keras mendengar jawaban kakaknya barusan. Batang rokok yang tersisa setengah ia buang ke lantai dan ujung baranya diinjak dengan alas kaki yang ia gunakan. Dengan langkah tenang, Cleon mendekati Allen hingga keduanya saling berhadapan.
“I hate being different,” ucapnya tepat di depan wajah sang kakak.
Muak dengan percakapan yang semakin keruh, Cleon meraih kunci mobil di atas meja dan mengenakan jaket jeans berwarna hitam. Dia membuka ponsel dan mengetik sebuah pesan. Setelahnya, tanpa peduli dengan Allen yang masih mematung, Cleon melangkahkan kaki menuju pintu. Namun, belum sempat tangannya meraih kenop, kalimat yang terlontar dari bibir Allen membuat ia terhenti.
“Tolong jangan ngeyel, Papi udah kasih perintah kalau hari ini lo harus pulang. Besok udah tanggal satu, Cle, dan lo tahu maksudnya, ‘kan?” Allen mendekati sang adik dan menepuk pelan bahu pemuda itu.
“Kenekatan lo bisa bikin orang-orang yang lo sebut teman itu celaka,” lanjutnya tanpa ada nada bercanda dalam setiap kata.
Tangan Cleon terkepal erat begitu mendengar penuturan Allen. Namun, ia tak memberi respons apa-apa selain menepis tangan yang bertengger di bahunya. Menatap sejenak wajah Allen sebelumnya akhirnya melanjutkan langkah yang tertunda.
KAMU SEDANG MEMBACA
PURA CORDIS
Teen Fiction#teenfiction #family #friendship #trauma Kehidupan Arsen yang tenang menjadi kacau semenjak kedatangan Cleon. Sosok dari masa lalu itu datang untuk menuntut balas atas kematian adiknya. Padahal Cleon tahu jika itu hanya kecelakaan biasa, bahkan kel...