22 ; Bimbang

1.5K 148 20
                                    

("Halo Kack!")

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

("Halo Kack!")


♥ Happy Reading ♥
.
.
.

Hiruk-pikuk jalanan yang nyaris tak bisa dibelah membuat sepasang suami istri di dalam mobil sedan putih berdebat kecil. Sang istri menyalahkan sang suami karena bangun kesiangan.

"Kamu, sih, Pa. Tadi aku udah bangunin tapi masih ngeyel lanjut tidur, akhirnya kita terjebak macet, 'kan." Sang istri berujar sedikit kesal.

"Nggak akan telat juga, Ma. Waktu besuk masih jam sebelas, kita berangkat jam setengah sepuluh, loh. Dari rumah ke lokasi nggak sampai satu jam meski macet, tenang aja," sahut sang suami ringan.

Terkadang Elan ragu bahwa Arsen adalah putra yang lahir dari rahim Tia, tetapi ketika melihat beberapa tingkah wanita itu yang mirip dengan Arsen. Elan jadi yakin, bahwa sifat manja dan sering menggerutu pada Arsen tak lain adalah salinan dari sifat ibunya.

Ini lucu, membayangkan saat di mana mereka sedang berkumpul di ruang keluarga dan Arsen merajuk pada ibunya. Padahal di sisi lain, Tia juga sering merajuk pada sang suami.

"Aku harus ada di sisi Arsen sewaktu dia membuka mata, Pa." Tia masih melancarkan aksi protesnya.

Elan terkekeh. "Iya, iya. Ini aku ngebut, biar sampai tepat waktu. Jangan ngambek, dong. Kita bukan remaja lagi," tukasnya sembari fokus pada jalan.

Usai bercakap singkat, tak ada lagi hal yang mereka bahas. Akhirnya diam adalah pilihan, hingga mobil yang Elan kendarai memasuki area parkir rumah sakit. Tia tak lagi mengomel, wanita itu berjalan di samping suaminya menuju kamar yang sedari tadi ia rindu.

Kondisi Arsen jauh lebih baik dari pertama kali Elan lihat. Walau perban kini melingkar membalut bahu kanan bocah itu, tetapi itu lebih baik daripada melihat darah terus menerus mengalir dari lubang lukanya.

Elan menghela napas lega, sejauh ini tak ada lagi yang perlu dikhawatirkan dari kondisi putranya. Hanya tinggal menunggu kapan anak itu akan membuka mata.

"Tuh, 'kan. Mama ini dikasih tahu ngeyel, sih. Lihat, anaknya masih pulas gitu. Dokter bilang, Arsen itu selain luka, dia juga kecapean. Dia butuh istirahat yang cukup." Elan duduk di atas sofa tak jauh dari ranjang tempat Arsen terbaring.

Tia mengabaikan omelan suaminya, wanita itu memilih untuk mengambil sebuah kursi dan meletakkannya di samping ranjang Arsen. Dengan lembut, ia mengusap kepala sang putra dan mengecupnya penuh kasih.

"Kamu tahu nggak, Pa? Dulu sewaktu Arsen umur enam tahun, dia pulang sekolah dan menangis. Saat itu, sudah satu tahun berlalu semenjak kepergian ayahnya. Awalnya aku tanya, kenapa dia menangis? Tapi hanya gelengan dan tangis sebagai jawaban."

Tanpa menoleh, Tia memulai sebuah cerita. Dan meski Arsen masih di bawah alam bawah sadar, Tia tetap memanggil Elan dengan embel-embel 'Papa' di depan anak itu.

PURA CORDIS Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang