24 ; Papa

1.4K 138 39
                                    

❤️Happy Reading❤️
.
.
.

Hari Senin.

Sebenarnya bukan hari yang spesial. Bahkan Arsen sering menganggap bahwa hari itu pembawa sial, di mana dia harus berjemur di bawah sinar matahari selama kurang lebih satu jam untuk mengikuti kegiatan upacara. Akan tetapi, entah mengapa hari ini terasa berbeda. Sebab ini adalah kali pertama Arsen kembali masuk sekolah usai terkurung di rumah sakit selama seminggu lebih.

Arsen turun dari mobil dan menghirup udara sebanyak mungkin, seakan ini adalah kali pertamanya bernapas. Astaga, dia tidak pernah bersemangat seperti ini sebelumnya!

"Udah, nggak usah banyak narik napas. Kasihan pohon-pohon, masih pagi harus terima karbondioksida dari kamu," celetuk pria di belakang Arsen yang tak lain adalah Elan.

Suasana hati Arsen yang sudah sangat baik mendadak kembali keruh ketika mendengar sindiran itu. Bocah itu menatap kesal pada sang ayah.

"Ya bagus, dong. Mereka dapet makan. Lagian Papa ngapain, sih, ikutan masuk ke dalam sekolah? Aku 'kan udah minta turunin di depan gerbang aja," gerutunya sebal.

"Kalau bukan Papa yang kirim surat izin kamu, siapa lagi yang bisa? Lagian kepala sekolah juga teman SMA Papa. Sekalian, dong, mau reuni." Elan menjawab tak acuh.

Ayah dan anak itu berdiri saling berhadapan, kehadiran mereka sedikit menarik perhatian banyak orang. Letak tempat parkir mobil untuk tamu memang berada tak jauh dari lapangan bola yang biasanya juga digunakan untuk upacara.

Menjadi pusat perhatian bukanlah masalah untuk Arsen, hanya saja kali ini bocah itu merasa malu karena harus ada Elan di sampingnya. Apa jadinya jika anak sekolah mengatakan bahwa 'Arsen yang tampan ternyata anak Papa'. Mau ditaruh di mana muka Arsen?

Memikirkannya saja sudah membuat wajah Arsen memerah. Remaja itu memutar tubuh dan beranjak meninggalkan Elan dengan mulut menggerutu pelan. Sama sekali tidak berani marah.

"Arsen!"

Langkah Arsen sudah sampai di perempatan jalan menuju kelas, tetapi sebuah suara membuatnya berhenti. Dengan wajah tak ramah, bocah tujuh belas tahun itu menoleh ke sumber suara.

"Apa sih, Pa?" tukasnya malas.

"Semangat belajarnya, ya, Nak!"

Wajah Arsen sepenuhnya memerah. Melihat Elan memberinya semangat dan tangan pria itu terkepal ke atas, seolah-olah Arsen akan pergi berperang. Pria itu benar-benar ingin mempermalukan anaknya.

"Bodo amat, bukan bokap gue!" teriaknya sebelum mempercepat langkah menuju kelas.

Pagi harinya yang tenang harus hancur karena keikutsertaan Elan ke sekolah. Arsen seratus persen yakin, bahwa setelah ini dia akan menjadi bahan olok-olok temannya. Sungguh sial nasibnya.


🌺🌺🌺

"By, muka kamu kenapa kusut gitu, sih? Kayak pakaian belum disetrika, deh."

Arsen mengabaikan pertanyaan dari kekasihnya. Remaja itu memasukkan sedotan ke dalam mulut dan menyedot habis isi gelas. Bahkan segelas es teh manis belum mampu meredam rasa kesal Arsen.

"Heyyo! Anak Papa lagi bareng doi rupanya."

Sebuah tangan hinggap di bahu Arsen dan merangkul bocah itu erat. Sial sekali hari ini, dia sudah berusaha menghindari makan siang bersama teman-temannya, justru sekarang datanglah Leo dengan segudang ejekan.

"Bisa lepasin, nggak? Bahu gue habis dijahit, loh, Bang," tukasnya penuh sabar.

Begitu mendengar kata 'jahit', Leo sontak melepaskan rangkulannya dan meminta maaf.

PURA CORDIS Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang