Happy reading❤️
💌💌💌
"Cucian lo nih. Bersih mengkilap, seperti baru."
Sejenak mengalihkan perhatian dari siaran berita malam, aku mengangkat pandangan saat Ian menjatuhkan setumpuk pakaian di sampingku. "Enggak sekalian dilipat, Yan?"
Ian bersedekap dengan mata melotot. "Perjanjiannya, kan, cuma men-cu-ci."
Tentu saja aku ingat perjanjiannya, aku tidak sepikun itu sampai melupakan percakapan kami yang baru terjadi kemarin. Hanya saja aku senang menggodanya, Ian terlalu cepat percaya dan menganggap segalanya serius. Dan ekspresi yang Ian tunjukkan sangat lucu menurutku. "Nanggung, Yan."
Ian menggeleng. "Enggak," lalu bergabung bersamaku. "Daripada bahas cucian mending kita bahas progresnya."
Aku mengernyit, meraih remote di atas meja lalu bertanya, "Progres apa?"
Ian menoleh cepat. "Kiya, Bang!"
Butuh beberapa detik untuk menemukan nama barusan di dalam kepalaku. Alisku terangkat sambil mengangguk samar. "Oh, cewek yang di Tinder itu?" Aku berhenti menekan tombol remote setelah menemukan National Geographic.
"Iya, siapa lagi. Jadi, gimana?" desak Ian.
Aku menggaruk kepalaku yang tak gatal. "Belum gue chat lagi."
"Kenapa?" Suara Ian meninggi kaget.
Karena malas. Itu suara hati yang sayangnya tidak bisa kuucapkan. Yang keluar dari bibirku justru kebohongan. "Enggak ada waktu."
Ian menyerong posisi duduknya menghadapku. "Tapi sekarang ada, kan?"
Ada. Tapi jika aku boleh memilih, aku tidak berminat berbalas pesan lagi dengan perempuan bernama Kiya itu, meski sebenarnya aku cuma mewakili adikku. Walaupun singkat, aku bisa tahu kalau perempuan itu sedikit ... agresif-mungkin. Jika disandingkan dengan Ian, mereka bukan pasangan yang cocok.
Ditambah lagi typing-nya yang menyakitkan mata dan jiwa-jiwa dalam diriku bergejolak ingin mengoreksi. "Gue lagi nonton," kataku sambil menunjuk TV menggunakan dagu.
"Gue lipat deh cucian lo!" ujar Ian cepat.
Aku jadi heran sendiri. Bagaimana bisa Ian menyukai perempuan itu hanya dengan melihat fotonya? Bahkan bukan Ian yang berbalas pesan kemarin. Aku bersedekap, berhenti menyaksikan singa jantan yang berhasil mendapat buruannya lalu mengalihkan perhatian sepenuhnya pada Ian.
"Yan, gue mau tanya," kataku serius.
Ian mengangguk, mempersilakan.
"Apa yang lo suka dari cewek itu?"
Ian berpikir sebentar. "Karena dia cantik?" jawabnya ragu.
Aku mendesah pelan karena tak puas dengan jawaban Ian. Demi apa! Di umurnya sekarang, adikku ini masih mengutamakan fisik. Aku menggeleng, menolak jawabannya barusan. "Selain itu."
Ian berpikir lagi. "Apa lagi? Gue, kan, belum kenal dia. Makanya gue minta bantuan biar bisa kenalan, dekat, pengenalan satu sama lain terus pacaran. Itu pun kalau kita sama-sama suka." Ian ikut mendesah berlebihan, "Seharusnya lo lebih berpengalaman, Bang. Masa tahap-tahap deketin cewek aja enggak tau."
Oh, wow! Aku mendengus, sedikit tersinggung. Kata-katanya barusan seolah-olah mencapku sebagai laki-laki yang sering dekat dengan perempuan. Padahal perlu digaris bawahi bahwa seumur hidup, aku baru tiga kali menjalin hubungan serius dengan lawan jenis. Dan dua kali pendekatan, namun berakhir tanpa kejelasan.
![](https://img.wattpad.com/cover/249563985-288-k651045.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
It's You, But Not You
ChickLitKiya ingin menjadi seorang penulis meski ditentang keras oleh ayahnya. Mulai dari menulis sembunyi-sembunyi, mengunggah karyanya di platform menulis, dan ikut lomba. Semua Kiya lakukan tanpa sepengetahuan orang-orang di rumahnya. Di tengah usahanya...