Bagian 10 - 2

1.1K 115 12
                                    

“Kira-kira kapan, ya, Pak?”

Sekarang, aku sedang menghubungi seseorang yang menangani mobilku. Mencari tahu kapan aku bisa menjemputnya. Meski baru ditinggal dua hari, aku sudah kewalahan ke mana-mana menggunakan ojol. Pergerakanku jadi terbatas.

Tahu begini, aku tidak akan meminjamkannya pada Ian.

Iya, dia biang keladinya. Aku tidak tahu apa yang dia lakukan atau bagaimana dia menggunakannya, sampai-sampai mobilku harus masuk bengkel.

“Paling cepat besok, Mas,” jawabnya.

Aku mengangguk-angguk. “Ya udah, Pak. Besok saya hubungi lagi,” kataku pasrah. Mau bagaimana lagi? Aku hanya bisa bersabar hingga esok hari. Itu pun belum pasti. Bisa jadi besoknya, atau besoknya lagi.

“Iya, iya, Mas.”

Aku menyampirkan tas ranselku setelah memutus sambungan telepon. Sembari melangkah keluar dari ruangan, aku fokus mengutak-atik ponsel untuk memesan ojol.

“Mau nebeng enggak?”

Aku menoleh sebentar, mendapati Ratih tiba-tiba muncul di sebelahku. Dia berjalan menyamai langkahku sambil merapikan jilbabnya.

“Enggak usah. Enggak enak sama calon lo,” kataku tanpa ada unsur bercanda sama sekali.

Bagiku, sekalipun aku dan Ratih murni saling berteman, pandangan orang lain mungkin akan berbeda dari kami. Bisa saja, calon suami Ratih tidak nyaman dengan kedekatan kami. Karena itu, sebisa mungkin, aku menarik garis dalam hubungan pertemananku dan Ratih. Termasuk masalah tebeng-menebeng.

“Enggak enak sama calon gue apa sama Bu Dewi?”

Aku mengalihkan pandanganku dari layar ponsel ke arahnya yang kini tengah tersenyum jail.

“Bercanda.” Ratih berujar sebelum aku berhasil mengeluarkan satu dua patah kata dari mulutku. “Ikut aja, ada sepupu gue kok yang ikut di mobil.”

Kembali, aku mengangkat ponselku. Berniat melanjutkan pesananku yang tadi tertunda. “Iya, tapi kita enggak start bareng dari sini.”

“Dia kuliah di sini.”

Mendengar jawaban Ratih, aku segera memasukkan ponselku ke saku celana. “Gue baru tau lo punya sepupu yang kuliah di sini.”

Ratih mengangkat jari telunjuknya. “Pertama, kenapa gue harus kasih tau lo?” Lalu diikuti jari tengahnya. “Kedua, dia emang enggak mau ada orang yang tau.”

Aku mengendikkan bahu, tidak terlalu tertarik dengan alasannya. “Oke, kalau lo maksa.”

“Heleh!”

“Gimana keadaan nyokap lo?” tanyaku.

“Udah baikan kok. Nyokap gue cuma butuh istirahat.”

Aku manggut-manggut. Pagi tadi aku memang mendengar kabar mamanya dilarikan ke rumah sakit sehingga Ratih harus mengundur jam mengajarnya. Aku bertanya bukan hanya ingin basa-basi, memang sempat berniat ikut menjenguk. Tapi mendengar beliau baik-baik saja, kurasa tidak perlu.

Mendekati area parkir, aku mengedarkan pandangan mencari di mana mobil Ratih berada. Namun kedua mataku malah menemukan sosok yang kukenal. Di sana, di dekat salah satu mobil yang terparkir, Kiya menunduk menatap ponselnya, sementara satu tangannya tengah memeluk laptop.

Siapa yang dia tunggu?

Pertanyaan itu mendadak muncul di kepalaku.

Apa mungkin … dia menunggu Ian? Atau—

“Kiya!”

Aku menoleh cepat. Ratih yang berada di sampingku melambaikan tangan lalu berlari kecil menghampiri Kiya. Butuh beberapa detik sampai akhirnya aku paham dengan situasi di depanku.

Jadi sepupu yang dimaksud Ratih itu, Kiya.

Dengan senyum tipis dan ekspresi minimnya, Kiya menyambut Ratih dan sedikit berbincang. Ketika aku akhirnya sampai di hadapan mereka, barulah Kiya melarikan pandangannya padaku.

Alisnya terangkat kaget. Namun dia dengan cepat mengatur ekspresinya lalu mengulas senyum tipis—seperti biasa. “Siang, Pak.”

“Siang,” balasku.

“Pak Rayyan mau nebeng, enggak apa-apa, kan?” tanya Ratih pada Kiya.

Kiya melirikku sebentar lalu kembali menatap Ratih. “Kenapa nanya gue? Ini kan mobil lo. Lagian gue juga nebeng,” jawab Kiya dengan suara pelan, seakan takut aku mendengarnya.

Tidak ada yang lucu sebenarnya, tapi ujung bibirku terangkat tanpa izin.

“Ayo masuk,” ajak Ratih.

Baru saja aku duduk di kursi belakang dan tiba-tiba Ratih berseru. “Astagfirullah.” Aku bahkan sampai tersentak.

“Kenapa, Kak?” tanya Kiya yang seperti tampak biasa saja.

Ratih melirikku dari spion dengan kedua tangan sibuk membuka tasnya. “Yan, ada map gue enggak di belakang?”

“Enggak ada,” jawabku tanpa perlu celingak-celinguk ke kiri dan ke kanan. Sebelum masuk, aku sudah memindai tempat yang akan aku duduki dan tidak ada apa pun di sini.

“Map gue ketinggalan. Aduh!” Ratih menepuk jidatnya lalu buru-buru membuka sabuk pengamannya. “Bentar, ya. Gue ambil map-nya dulu.”

“Enggak usah buru-buru,” teriakku mengingatkan.

Tapi peringatanku agaknya cuma angin lalu. Bukan lagi buru-buru, dia malah nyaris berlari. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala melihatnya.

“Pak.”

Kepalaku bergerak cepat ketika suara Kiya terdengar. “Ya?”

Mata kami bertemu di spion depan. Hanya sebentar. Karena setelah itu, Kiya memutus netra dan menengok ke arahku.

“Saya boleh minta tolong?” tanyanya hati-hati. Matanya berkedip penuh harap menunggu jawaban keluar dari mulutku.

“Tergantung kamu mau minta tolong apa.”

“Saya mau minta tolong jangan cerita soal lomba atau Bapak yang jadi editor saya ke Kak Ratih.” Kiya menggigit bibir bawahnya setelah mengutarakan permintaan tolongnya.

Meski penasaran apa alasannya, aku tidak bisa menolak permintaan seseorang dengan raut penuh harap seperti itu. Aku mengangguk samar. “Kamu mau saya pura-pura baru kali ini kenal sama kamu?”

Kiya menunjukkan senyumnya, kali ini sedikit lebih lebar. “Iya, Pak.”

Aku mengangguk-angguk. “Walaupun saya enggak tau alasannya dan tahu kamu enggak akan kasih tau alasannya, saya bisa bantu.”

“Makasih, Pak.” Senyumnya semakin lebar.

“Yang penting, naskah kamu enggak telat.”

Kiya tertawa kecil. Hanya sebentar. Bahkan aku pun belum sempat mencerna suara tawanya, dia sudah menghentikannya.

“Iya, Pak,” katanya lalu kembali meluruskan duduknya.

Tidak salah aku menerima ajakan Ratih.

It's You, But Not YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang