Bagian 13 - 1

179 35 1
                                    

Aku mempercepat langkahku begitu melihat punggung Karina dan Jasmine yang duduk santai di taman kampus.

Sebelumnya aku mampir ke ruang dosen karena ada tugas kelompok yang harus dikumpulkan, makanya aku baru menyusul. Aku duduk di samping Jasmine dan mengembuskan napas panjang.

Eotte? (Bagaimana?) Masih diterima?” tanya Jasmine.

Aku mengacungkan ibu jariku. “Aman.”

Dahaengida.” (Syukur deh)

Kepalaku mengangguk meski tidak mengerti kata barusan.

Yang Jasmine tanyakan itu masalah tugas kelompokku. Hari ini adalah hari terakhir pengumpulan tugas.

Tugas sih sudah beres dari beberapa hari lalu. Masalah timbul ketika satu orang yang tidak punya kontribusi menawarkan diri mencetak tugas dan kami mengiakan.

Tapi hari ini, dia malah izin sakit dan tidak bisa membawakan tugas ke kampus.

Walau teknologi sudah berkembang pesat dan banyak solusi yang bisa mengatasi permasalahan ini, kami sepakat mencetaknya ulang daripada mengharapkan tugas yang betul telah dicetak itu atau belum.

Untungnya dosenku mengerti dan memberi kelonggaran.

Aku menatap Karina yang duduk di sebelah kanan Jasmine. Dia hanya diam sambil memandangi layar ponselnya dan kertas kuis yang sebelumnya dibagikan di kelas.

“Karina kenapa?” tanyaku dengan suara pelan.

Jasmine menoleh ke arah kanannya lalu menoleh ke arahku. “Lagi pusing, jawaban kuisnya ada yang salah.”

Aku manggut-manggut. Tidak heran Karina jadi uring-uringan. Bagi seorang Karina, adalah kesalahan jika nilainya tak sempurna.

“Ah, plus banyak yang nilainya lebih tinggi dari dia,” lanjut Jasmine.

“Dibanding kita berdua, nilai lo masih tinggi, Karina,” hiburku.

“Ya udah sih, kalaupun salah ya mau gimana lagi? Emang bukan rejeki lo,” timpal Jasmine, tapi bukan berniat menghibur sama sekali.

Karina menghela napas kasar. “Kalau gue salah, berarti gue harus cari tau jawaban yang bener. Biar enggak salah lagi lain kali.”

“Karina ada benernya,” gumamku sembari manggut-manggut.

Jasmine melirikku tajam. “Jangan belain dia.”

Aku mengendikan bahu.

“Dari pada lo pusing, mending kita jalan.” Jasmine memberi solusi. “Nonton atau makan gitu. Biar perasaan lo jadi enak.”

Karina malah buru-buru memasukkan ponsel dan hasil kuisnya ke dalam tas. “Enggak. Gue mau belajar di rumah.”

Jasmine melirikku dengan mata berbinar penuh harap. “Ki’?”

Aku mengalihkan pandangan ke sembarang arah. “Emm, gue kayaknya juga enggak bisa.”

Senyum Jasmine langsung lenyap. “Wae?” (Kenapa?)

“Gue mau lanjut nulis, Nem,” jawabku.

Di rumah, aku tidak lagi bebas menulis. Selalu ada ketakutan seseorang masuk ke kamar atau mengetuk pintu. Memang bisa disembunyikan, tapi takutnya kecemasan itu malah membuat sulit berkonsentrasi.

Makanya, beberapa hari ini, jika kelas telah selesai aku tidak langsung pulang. Aku akan ke perpustakaan dan menulis dua atau tiga jam di sana.

“Lo serius enggak mau nemenin gue?”

Aku mengangguk tanpa ragu. “Serius.”

Mwoya? Kok kalian jahat banget.” Jasmine menatapku dan Karina yang kini telah berdiri lalu menyampirkan tas ranselnya.

“Gue bisa nemenin lo kok, Nem.”

“Nah itu!” Aku menunjuk Haikal yang mendadak muncul di belakang Jasmine. “Pas banget ada yang mau nemenin lo.”

Haikal tersenyum manis ketika Jasmine menengok. Namun malah dibalas dengusan kesal oleh Jasmine.

“Gue maunya kalian, bukan dia!” gerutu Jasmine.

Aku ikut berdiri lalu menarik Karina bersamaku, meninggalkan mereka berdua. “Sama aja. Kal, titip Jasmine. Dah!”

“Selamat bersenang-senang,” ujar Karina.

“Karina! Kiya! Andwae!” teriak Jasmine.

Belum jauh dari taman kampus, aku dan Karina pun berpisah. Karina pamit segera pulang, sementara aku melipir ke kantin sebelum mendekam beberapa jam ke depan di perpustakaan.

Aku sih belum begitu lapar, tapi daripada nanti saat aku sedang menggebu-gebunya menulis dan rasa lapar malah muncul, itu justru lebih menganggu.

Jadi aku cari jalan aman.

Aku baru saja menandaskan air minum digelasku ketika gerimis perlahan jatuh. Namun semakin lama, air yang jatuh makin deras.

Walau yakin telah memasukkan payung ke tasku pagi tadi, aku tetap mengecek untuk memastikan. Lega di dadaku menyebar begitu mataku menemukan payung di dalam sana.

Setelah menyampirkan tas, aku meninggalkan kantin dalam lindungan payung kuningku.

Melewati sebuah pohon besar, langkahku otomatis terhenti melihat seekor kucing sedang menikmati makanan seakan tidak peduli butir-butir air yang mengenainya.

“Oh? Kucing,” gumamku.

Air yang jatuh memang seperti gerimis karena terhalang dedaunan dari pohon. Tapi tetap saja, jika semakin lama bulu-bulunya akan basah.

Dengan langkah pelan dan hati-hati, aku menghampirinya. Kucing hitam putih itu sempat menoleh, aku segera berhenti. Takut dia tidak terbiasa dengan manusia lalu kabur.

Tapi melihatnya lanjut menyantap makanannya, aku meneruskan langkahku. Aku berjongkok di hadapannya dan mencondongkan payungku ke sisinya.

Kucing ini tetap lahap tanpa memedulikan kehadiranku.

Aku mendongak, menatap langit yang sepertinya butuh waktu lama untuk menumpahkan air hujan. Jadi, aku meletakkan payungku untuk melindungi kucing ini.

Bagaimana denganku? Gampang. Aku cukup berlari untuk sampai ke koridor.

Belum sempat berdiri, aku sedikit terkejut ketika sebuah bayangan samar datang dari atas dan butir-butir air hujan tidak lagi mengenaiku.

Aku mendongak. Ada payung hitam yang kini melindungiku. Siapa yang berbaik hati memayungiku?

Dilandasi rasa penasaran, aku menengok cepat dan menemukan Pak Rayyan berdiri di belakangku.

Lagi?

It's You, But Not YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang