Walaupun niat awalnya aku langsung pulang ke rumah, rupanya aku malah mampir lagi. Dalam perjalanan pulang, aku berpapasan dengan seekor kucing yang baru pertama kali kulihat berkeliaran di sekitar rumahku.
Keadaannya yang kurus dan jamur yang memenuhi telinganya membuatku tidak bisa mengabaikannya.
Untungnya, dia tidak takut pada manusia. Justru dia mendekat, seakan tahu aku pun punya maksud baik padanya.
Hampir lima belas menit aku menemaninya hingga dia menghabiskan makanannya. Setelah itu, aku bergegas pulang karena langit semakin menggelap. Bisa-bisa Mama marah kalau belum juga berada di rumah.
Sesampainya di rumah, langkahku memelan ketika melihat sekarung makanan kering kucing bersandar di pagar rumahku.
Siapa yang beli?
Mama? Tidak mungkin Mama cuma menaruhnya di luar. Papa? Beliau tidak sepeduli itu pada kucingku. Kakakku? Sepertinya juga bukan. Apalagi, merek makanan kucing ini bukan yang sering kubeli.
Lalu siapa?
Kernyitan di keningku menghilang begitu aku mengingat pertemuan dengan Pak Rayyan. Tapi kenapa dan bagaimana? Hubungan kami tak sedekat itu untuk tahu alamat rumah satu sama lain.
Kecuali ... data diri yang kukirim bersama naskahku.
Tapi kalaupun itu benar Pak Rayyan, apa alasannya?
"Kamu beli? Bukannya di dalam masih banyak?"
Aku menoleh cepat. Mendapati Mama berdiri di sebelahku, ikut memandangi sekarung makanan kucing, sambil menenteng kresek. Sepertinya, Mama habis ke warung.
"Aku enggak beli."
"Dari siapa?" tanyanya.
"Temen, Ma." Aku mengulas senyum kecil. "Dia mau bantu kasih makan kucing di jalan, tapi enggak punya waktu."
Mama manggut-manggut. "Oh, ya udah. Nanti biar adek kamu yang bawa masuk."
"Aku bisa kok, Ma. Enggak berat sama sekali," kataku lalu membawanya masuk, mengekor di belakang Mama.
Cemong langsung menyambutku begitu pintu terbuka. Hidungnya kembang kempis mengendus karung yang baru saja kuletakkan. Kucing ini kayaknya juga tahu mana makanan yang harganya mahal.
Setelah mengisi piring Cemong, aku berlalu ke kamar untuk membersihkan diri. Ketika aku mendaratkan bokongku di tempat tidur, aku mematung sambil memandangi ponselku.
Sedang menimbang-nimbang sesuatu.
Aku ingin berterima kasih pada Pak Rayyan, tapi aku juga merasa tidak etis menghubungi dosenku jika bukan masalah perkuliahan atau naskahku.
Tidak berterima kasih pun justru jauh lebih tidak sopan lagi.
Cukup lama terdiam, akhirnya aku menemukan satu solusi. Aku meraih ponselku dan mengirimkan pesan pada Ian. Aku akan memintanya menyampaikan rasa terima kasih pada Pak Rayyan.
Dengan begini, aku tidak perlu menghubunginya.
KAMU SEDANG MEMBACA
It's You, But Not You
ChickLitKiya ingin menjadi seorang penulis meski ditentang keras oleh ayahnya. Mulai dari menulis sembunyi-sembunyi, mengunggah karyanya di platform menulis, dan ikut lomba. Semua Kiya lakukan tanpa sepengetahuan orang-orang di rumahnya. Di tengah usahanya...