Aku mengetuk-ketuk jariku ke setir sembari menunggu lampu lalu lintas berubah hijau. Dan karena bosan terus menatap ke depan, aku iseng melarikan pandangan keluar jendela.
Hal pertama yang kulihat adalah seorang perempuan berkacamata yang duduk di atas motornya. Aku bergeming, bukan karena aku mengenal perempuan itu. Tapi karena hanya kacamatanya, aku teringat dengan Kiya. Atau lebih tepatnya, aku mengingat kecerobohanku semalam.
Aku sempat lupa tengah berperan sebagai Ian, bukan Rayyan. Mungkin saking mengalirnya obrolan kami. Untungnya, dia percaya ketika aku berkilah dan tidak menaruh curiga.
Tidak bisa kubayangkan reaksi Ian jika tahu rencananya mendekati perempuan itu gagal karenaku. Ian itu, walau usianya sudah termasuk dewasa, terkadang sifat kekanak-kanakannya masih suka muncul.
Aksi yang paling sering dia lakukan untuk menunjukkan bahwa dia marah adalah mendiami hingga berhari-hari lamanya. Bahkan menghindari kontak mata kalau menurutnya level kesalahanku naik satu tingkat.
Sekali lagi, aku tidak bisa menyalahkan Ian sepenuhnya dengan sifatnya. Sebab, apa yang terbentuk hari ini, sebagian besar dari didikanku dan Papa. Dua orang pria yang sebenarnya tidak pernah siap mengurus Ian kecil kala itu.
Lamunanku tentang Ian berhenti ketika aku sampai di sebuah rumah tingkat dua yang disulap menjadi kantor. Namun aku tidak bisa masuk ke sana, ada motor berwarna merah yang sangat kukenal terparkir menghalangi jalan. Aku menghela napas lalu menekan klakson berulang kali.
Akhirnya dari dalam kantor, seorang laki-laki berambut cepak lengkap dengan kumis tipis yang menjadi ciri khasnya, berlari tergopoh-gopoh menghampiriku yang masih berada di luar pagar. Aku menurunkan kaca mobil dan menyembulkan kepalaku keluar.
“Pak Bos!” teriak Andra dengan senyum lebar. Sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalah. “Sori, bos. Tadi gue buru-buru,” sambungnya sambil memindahkan motornya.
“Kebiasaan,” dengusku saat membawa mobilku masuk dan melewatinya.
Sebenarnya aku bisa saja turun dan memindahkan motor merah itu sendiri. Tidak perlu membuat keributan dan menunggu pemiliknya keluar. Tapi aku tidak bisa terus memaklumi Andra.
Dia itu punya kebiasaan memarkirkan motornya sembarangan. Jika dibiarkan, kelakuan menjengkelkannya itu bisa terus berlanjut. Sesekali memang harus ditegur.
Begitu keluar dari mobil, Andra langsung berdiri di sebelahku lengkap dengan cengiran lebarnya. Aku mengerutkan alis, menatapnya selama dua detik, lalu menggelengkan kepala.
“Lo kok ke sini enggak bilang-bilang?” tanya Andra saat kami bersisian memasuki rumah—atau mungkin lebih baik kusebut kantor.
Meski tak punya papan nama berukuran besar yang di depan bangunan, kantor ini tetap punya nama—tentu saja. Namanya IYAGI. Sebuah platform online khusus untuk para penulis yang ingin memasarkan karyanya dan mendapatkan penghasilan dari sana.
Mengudara tiga tahun lalu, namun memiliki kantor sendiri baru setahun ini. Sebelumnya IYAGI berada di satu kantor dengan penerbitan milik Papa, SM Media. Karena memang bisa dibilang IYAGI adalah anak cabangnya.
Jangan berpikir tujuanku membuat platform untuk mencoba memperluas pasar atau menambah keuntungan. Empat tahun lalu, penerbitan Papa mengalami krisis untuk kedua kalinya semenjak berdiri.
Ya, yang pertama saat Bunda pergi meninggalkan kami akibat kecelakaan pesawat. Papa sempat frustrasi hingga berimbas pada pekerjaannya. Jika bukan karena sahabatnya yang membantunya kala itu, mungkin penerbitan Papa hanya tinggal nama. Sementara yang kedua, akibat dari pandemi.
“Mau cek progres. Gimana lombanya?” Aku berhenti dan melirik Andra.
Mengadakan lomba telah menjadi agenda rutin IYAGI untuk menggaet penulis-penulis baru yang punya potensi. Selain meraup pengguna baru dari peserta lomba, para pemenang yang naskahnya punya pasar ada kemungkinan akan dilempar ke SM Media untuk diterbitkan.
Ada jeda sebelum Andra menjawab, “95%.”
“5%-nya ke mana?”
Andra melirik sofa yang berada di belakangku. “Mending kita duduk dulu biar gue enak jelasinnya.”
Aku menengok sebentar dan mengembalikan pandanganku pada Andra. Beruntung hari ini aku ada inisiatif mengunjungi kantor, jadi aku akhirnya bisa tahu ada sedikit kendala. Tanpa berkata apa-apa, aku lebih dulu melenggang menuju sofa dan diikuti Andra.
Begitu duduk dalam posisi nyaman, aku mengangguk pada Andra, mempersilakannya bicara.
Andra menggosok telapak tangannya di lututnya. “Sebenarnya persiapannya udah selesai. Rencananya, info lomba bakal kita uploud minggu depan.”
“Oke,” sahutku.
“Tapi …”
“Tapi?”
“Yan, lo tau kan konsep lomba kali ini?” Andra melanjutkan karena aku hanya diam. “Peserta cuma diharuskan kirim tiga bab pertama naskahnya dan akan dipilih 9 naskah untuk saling bersaing.”
Aku mengangguk. Tentu aku tahu, bahkan aku turut menyumbang ide dalam sistem lombanya nanti.
“Selama proses penyelesaian naskah, peserta akan didampingi editor,” lanjut Andra.
“Oke,” selaku, “terus di mana letak 5% masalahnya? Dra, jangan berbelit-belit, langsung ke inti—”
“Salah satu editor kita berhenti,” kata Andra cepat, berhasil menghentikan kalimatku.
Punggungku menegak. Jika salah satu editor berhenti, itu artinya kendalanya bukan 5%. Tapi lebih dari itu. “Berhenti? Siapa?”
“Wira. Mungkin lebih tepatnya dia kabur.”
Keningku makin mengernyit. Jika Wira yang Andra maksud adalah Wira yang sama dengan yang kukenal. Maka aku tidak akan percaya dia kabur dari pekerjaannya. Aku merogoh saku celanaku, mengeluarkan ponsel dari sana, lalu mencari kontak Wira.
Ponsel belum berhasil kutempelkan ke telinga ketika suara Andra terdengar. “Jangan buang-buang waktu. Gue udah coba hubungi dia berulang kali, tapi nomornya enggak aktif.”
Andra benar. Nomornya tidak aktif. “Kenapa Wira tiba-tiba berhenti?”
Andra menghela napas. “Mega bilang, mungkin Wira ada masalah keluarga. Untungnya, dia selesain semua pekerjaannya sebelum pergi.”
Apa pun alasannya, meninggalkan pekerjaan dengan tiba-tiba tetap tidak dibenarkan. “Kenapa lo enggak cari editor baru?” saranku tidak ingin berlarut memikirkan salah satu editor yang tiba-tiba berhenti. Sekarang, ada hal lebih penting yang harus diselesaikan.
Mendadak senyum muncul di wajah Andra. Tapi entah mengapa, aku justru merasa aneh melihat senyum itu.
“Sebenarnya, gue udah memikirkan solusi untuk menutupi 5% itu.”
Aku bersedekap.
“Bagaimana kalau Pak Bos yang menggantikan Wira?” saran Andra. Aku ingin menyela, namun Andra dengan cepat melanjutkan. “Cuma untuk lomba kali ini, sembari gue cari editor baru. Oke? Lagian lo enggak sibuk-sibuk banget kan di kampus?”
Kalimatku tertahan di ujung lidah. Ingin membantah, tapi kata-katanya barusan memang benar.
Ujung bibir Andra semakin tertarik melihatku hanya diam. “Anda kan cukup berpengalaman dalam hal edit-mengedit. Ayolah, Pak Bos. Demi kemajuan SM Media!” kata Andra sambil mengangkat kepalan tangannya ke udara.
Aneh. Di tengah pembicaraan penting semacam ini, aku malah teringat Kiya. Aku ingat dia punya ketertarikan menulis novel. Apa ada kemungkinan dia tertarik mengikuti lomba dan jika berhasil lolos, aku bisa mementori naskahnya?
Dengan begitu, dia tidak bisa lagi menghindar dan aku bisa mengenalnya lebih jauh, untuk Ian.
KAMU SEDANG MEMBACA
It's You, But Not You
ChickLitKiya ingin menjadi seorang penulis meski ditentang keras oleh ayahnya. Mulai dari menulis sembunyi-sembunyi, mengunggah karyanya di platform menulis, dan ikut lomba. Semua Kiya lakukan tanpa sepengetahuan orang-orang di rumahnya. Di tengah usahanya...