Bagian 11 - 1

509 86 2
                                        

🎶 Dept - Like A Dream (feat. Ashley Alisha,  Kelsey Kuan, Nicholas Robert) 🎶


💌💌💌

Sebelumnya, aku pernah bilang, ada saat-saat di mana aku begitu semangat menulis. Jari-jariku bahkan tidak berhenti menekan huruf demi huruf dalam waktu yang cukup lama.

Dan kebalikan dari itu, ada pula waktu di mana gairahku akan menulis seakan lenyap dari diriku. Niat ada, tapi begitu aku duduk dan menempatkan jari-jariku di atas keyboard, aku hanya diam. Melamun membiarkan layar putih di hadapanku tetap bersih.

Aku pribadi tidak punya kiat khusus mengatasi writer block. Biasanya, aku menunggu sampai semangat menggebu-gebuku kembali. Tidak ada yang lain.

Tapi kali ini berbeda. Aku tidak bisa membiarkan diriku terhanyut dan bermalas-malasan. Aku mengembuskan napas panjang lalu menengok ke arah ranjang, di mana Cemong sedang tertidur pulas.

Melihat Cemong, mendadak aku teringat sesuatu. Aku tersentak di kursiku kemudian melirik tanggal di ponselku. Sudah cukup lama aku tidak memberi makan kucing-kucing liar—atau istilah kerennya street feeding.

Tanpa berlama-lama, aku bersiap lalu mengisi toples plastik berukuran sedangku dengan dry food. Tidak lupa dua piring plastik yang akan kugunakan sebagai wadah.

“Mau ke mana?” tanya Mama yang sedang duduk santai di teras.

Aku menunjukkan toples yang kupegang dan menjawab, “Kasih makan kucing, Ma.”

“Hati-hati. Jangan pulang malam, ya.” Mama mengingatkan.

“Iya, Ma. Assalamualikum.”

“Waalaikumsalam.”

Meski terkesan mulia, nyatanya akhir-akhir ini street feeding justru memunculkan pro kontrak di masyarakat. Sebenarnya aku juga baru tahu, banyak yang tidak suka jika kucing-kucing liar diberi makan.

Alasan pertama, ada yang merasa dirugikan dengan sampah-sampah bekas wadah atau bungkus makanan kucing yang dibuang sembarangan. Untuk yang satu ini, aku tidak bisa marah atau membela sesama penggiat street feeding. Karena memang caranya salah.

Tapi aku juga tidak membenarkan larangan street feeding. Karena masih banyak yang melakukannya dengan benar dan tidak meninggalkan sampah-sampahnya sembarangan.

Kedua, ada yang menganggap memberi makan kucing liar bisa menambah populasinya. Memberi mereka makan berarti memberi mereka energi untuk terus kawin dan melahirkan.

Jujur, aku tidak pernah berpikir sampai ke sana. Karena aku memberi makan kucing liar dengan anggapan, ada di antara mereka yang fisiknya lemah dan akan kalah saing dengan yang kuat dalam hal makanan.

Ada juga yang berpendapat, memberi mereka makan akan mematikan insting mereka untuk mencari makan dan akan bergantung pada manusia.

Kali ini, aku bisa membela diri. Street feeding tidak dilakukan setiap hari atau waktu terjadwal agar kucing-kucing itu tidak berharap.

“Hei! Lama enggak ketemu,” sapaku ketika melihat dua kucing menghampiriku. Yang satu berwarna orange dan satunya lagi berwarna hitam putih dengan satu mata yang sudah tak berfungsi.

Aku mengelus mereka bergantian sebelum meletakkan piring dan mengisinya dengan makanan. “Ayo makan.”

Tidak ada hal lain yang kulakukan selain duduk memerhatikan mereka sampai selesai makan. Dan anehnya, aku merasa tidak sedang menunggu. Melihat mereka makan dengan lahap, justru menimbulkan perasaan hangat di dadaku.

“Udah kenyang?” tanyaku ketika mereka berdua berhenti makan, padahal masih ada sedikit yang tersisa di piring.

Beberapa saat aku menunggu sembari mengelus mereka, siapa tahu mereka akan melanjutkannya lagi. Tapi sepertinya mereka sudah kenyang. Sisa makanan mereka akhirnya aku masukkan ke dalam kresek yang kubawa lalu mengumpulkan piringnya.

“Ya udah, aku cari temen kamu yang lain, ya. Dadah,” pamitku pada mereka berdua dan kembali menyusuri jalan dengan langkah pelan.

Setelah beberapa kucing yang aku temui, aku berniat pulang sebelum hari semakin sore. Namun urung ketika aku melihat kucing yang kukenal tengah tertidur di pinggir jalan.

Agar tidak mengagetkannya, beberapa langkah sebelum sampai di dekatnya aku memanggilnya. Mungkin karena sudah mengenal suaraku, telinganya bergerak kecil lalu kedua matanya perlahan terbuka.

“Si jutek.” Aku berjongkok di dekatnya kemudian mengelus kepalanya. Kucing berwarna hitam itu meregangkan badannya dan duduk menungguku menuangkan makanan untuknya.

Ngomong-ngomong, soal nama panggilannya, aku memberinya nama bukan tanpa alasan. Di antara semua kucing yang pernah kutemui, kucing inilah yang paling jutek dan galak.

Raut wajahnya itu benar-benar acuh tak acuh ketika aku datang, tapi dia juga tidak menghindariku. Kalau jadi manusia, dia ini paling cocok dengan karakter tsundere.

“Ini, makan yang banyak.” Aku mendorong piring ke hadapannya.

Seperti sebelumnya, aku hanya duduk sambil memerhatikan kucing ini. Kali ini agak berbeda, aku memeriksa tubuh si jutek.

“Kamu habis berantem, ya?” kataku saat mendapati luka cakar yang masih segar di pahanya. Dan ternyata di muka dan tangannya pun ada. “Lukanya banyak banget.”

“Kamu kenapa sih berantem mulu?” dumelku. Pasalnya, setiap bertemu dengannya. Tubuhnya itu tidak pernah lepas dari luka-luka yang diakibatkan perkelahian sesama kucing.

Mungkin hobinya memang adu cakar, tapi tetap saja terkadang aku tidak tega melihatnya.

Si jutek mendongak menatapku begitu makanan di piringnya habis. Aku tersenyum, mengelus kepalanya, lalu mengisi ulang piringnya.

“Kiya?”

Tanganku yang sedang memutar tutup toples terhenti mendengar suara tidak asing memanggil namaku. Dengan jantung berdetak kencang saking terkejutnya, aku menengok ke belakang dan menemukan Pak Rayyan berdiri dua langkah dari posisiku.

“Pak Rayyan?”

Kebetulan macam apa lagi ini?

It's You, But Not YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang