Bagian 13 - 2

1.1K 75 12
                                        

Pagi ini, ada rutinitas yang tidak biasanya aku lakukan.

Jika biasanya, aku akan langsung berangkat dan cukup mampir untuk membeli sarapan. Hari ini, aku malah menyiapkan makanan untuk kucing-kucing yang mungkin kutemui nanti.

“Apaan tuh, Bang?” Ian yang baru saja bangun, menarik salah satu kursi dan duduk sambil memerhatikanku memindahkan makanan kering ke dalam botol kecil.

Tanpa menoleh, aku menjawab, “Mau? Coba aja.”

Ian menguap sembari menggaruk-garuk kepalanya. Ketika aku meletakkan kembali kemasan makanan kucing itu, Ian menariknya dan segera mendengus begitu sadar.

“Ini makanan kucing, Bang,” katanya.

“Emang makanan kucing, tapi bisa dimakan kok.” Aku memasukkan botol berisi makanan kucing ke tasku.

Ian hanya geleng-geleng dan mendorong kemasan makanan kucing itu ke hadapanku. “Eh, tapi, lo peliharan kucing apa gimana?” tanyanya celingak-celinguk. “Mana kucingnya?”

“Enggak ada.”

Ian mengernyit heran. “Terus itu buat siapa?”

Aku menunjukku diriku sendiri. “Kebetulan gue suka.”

Ian melongo tanpa berkedip.

“Gue berangkat,” pamitku.

“Bang, lo serius!” teriak Ian, tapi aku terus melangkah menjauh. “Lo enggak punya duit!”

**

Di sekitaran kampus, pemandangan kucing berkeliaran bebas adalah sesuatu yang biasa. Bedanya, dulu aku tidak peduli.

Kini, begitu sampai aku malah mengedarkan pandangan mencari kucing-kucing yang kiranya butuh makanan dariku.

Anehnya, justru saat kucari mereka bersembunyi entah di mana.

Satu-satunya yang kutemukan adalah anak kucing berwarna hitam putih yang tertidur di bawah pohon. Tubuhnya kurus dan bulunya kusut.

Aku menghampirinya dengan hati-hati. Perkataan Kiya waktu itu, masih terngiang jelas di telingaku.

Tinggal tiga langkah lagi aku sampai di hadapannya, namun kucing itu terbangun. Aku bergeming dan mengulas senyum sembari menunggu reaksinya.

Selama beberapa detik, kami saling bertatapan sampai kucing itu mengeong. Sudut bibirku terangkat makin tinggi lalu melanjutkan langkahku.

Kucing itu meregangkan tubuhnya saat aku menarik selembar tisu dari tasku dan mengeluarkan makanan kering dari sana. Saat aku berjongkok, kucing itu mengeong berulang kali dengan hidung yang terus mengendus-endus.

“Hei, sabar sabar,” kataku.

Kucing kecil itu menikmati makanannya dengan rakus. Membuatku bertanya-tanya, berapa lama makhluk ini menahan lapar?

Tanganku tergerak mengelus kepalanya, tapi segera kutarik saat kucing itu menggeram marah seakan aku ingin merebut makanannya. “Oh, sori.”

Aku menambah makanannya sebelum beranjak meninggalkannya. Daripada aku terus mengamatinya, namun kucing itu malah menganggapku pencuri. Lebih baik aku pergi dari hadapannya.

“Pak Rayyan!” Pak Surya menyapa saat kami berpapasan di koridor.

“Pagi, Pak.”

Pak Surya mengintip jam tangannya. “Udah hampir siang, Pak Rayyan,” koreksinya diakhiri tawa ringan.

“Tapi masih pagi, kan, Pak?”

Pak Surya tertawa lagi. “Pak Rayyan ada kelas?”

Aku mengangguk. “30 menit lagi. Ada apa, ya, Pak?”

It's You, But Not YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang