Mengirim pesan pada Kiya sepertinya sudah menjadi rutinitas baru bagiku. Walaupun hanya sebentar, aku selalu menyempatkan. Bertukar pesan dengannya itu menyenangkan dan … malam ini pun sama.
Aku kembali berpura-pura menjadi Ian.
Rayyan : Sedang mengejar mimpi?
Kiya : Hahaha. Gak
Rayyan : Jangan bilang kamu dah nyerah?
Kiya : Bukan gitu. Laptopku rusak. Gak bisa dibenerin lagi katanya
Aku mengelus daguku setelah membaca balasan dari Kiya. Padahal baru dua hari lalu, Kiya begitu semangat bercerita tentang idenya dan keyakinan penuhnya bisa menang. Sekarang, dia malah dilanda cobaan.
Karena peranku yang hanya sebagai perantara, aku hanya bisa memberi sebatas saran padanya.
Rayyan : Kamu nulis lewat hape aja
Kiya : Lama dong
Rayyan : Kan bisa pake keyboard bluetooth
Kiya : Iya, ya. Aku baru ingat
Sebelumnya, aku enggak kepikiran sama sekali loh
Rayyan : Makanya aku hadir, ingetin kamu
Apa balasanku tidak berlebihan? Aku mengernyit membaca ulang satu kalimat yang telah terkirim. Jangan sampai Kiya malah merinding jijik, padahal dia sudah nyaman denganku.
“Bang.”
Aku menengok sekilas pada Ian yang berdiri di ambang pintu kamarku, “Huh?” lalu kembali menatap layar ponsel.
“Ayo makan,” ajaknya.
Aku mengangguk sambil membalas pesan dari Kiya.
“Lagi chatan sama Kiya?” tanya Ian.
“Iya.”
“Mana coba gue lihat.” Langkah kaki Ian terdengar menghampiriku.
Aku menengok lagi. “Apanya?” Kini, Ian sudah berdiri tepat di belakangku.
“Gue mau lihat kalian bahas apa kalau chatingan.” Ian mengulurkan tangannya meminta ponsel yang belum kulepas.
“Oh. Ini.” Aku menyerahkannya sedikit … berat hati, mungkin?
Ian duduk di tempat tidurku lalu dengan khusyuk membaca obrolan bersama Kiya. Butuh waktu cukup lama mengingat hampir setiap hari aku menghubunginya duluan. Dan obrolan kami biasanya lumayan panjang walau hanya waktunya sedikit.
Sesekali Ian mengernyit, mungkin ada yang tidak dia pahami. Tidak berapa lama, alisnya terangkat dengan senyum kecil. Lalu mengernyit lagi, manggut-manggut sampai akhirnya dia mengangkat pandangan dan melirikku.
“Kalian udah sering chatingan?” tanyanya namun matanya kembali terarah ke layar ponsel.
“Lumayan. Hampir setiap hari,” jawabku jujur.
Raut Ian berubah cerah. “Berarti, bisa dibilang lo berhasil, Bang?”
Aku mengangkat bahu. “Belum tentu. Bisa aja dia cuma anggap gue teman.”
Ian mendengkus. “Memangnya cewek sama cowok bisa temenan?”
Aku spontan terkekeh. Aku paham mengapa Ian mendadak sensitif. Seingatku, penyebabnya ada ketika Ian SMA. Ian berteman dengan seorang perempuan sekelasnya. Tapi ternyata perempuan itu menyukai Ian dan menyatakan perasaannya.
Ian yang sejak awal murni ingin berteman kecewa. Apalagi perempuan itu tahu Ian tengah menyukai seseorang kala itu. Tapi sejujurnya aku setuju dengan Ian, di dunia ini mana ada pertemanan antara laki-laki dan perempuan?
“Bang, ini kalian bahas apa sih?” tanya Ian setelah membacanya.
“Yang mana?”
“Semuanya. Enggak ada yang gue ngerti.”
Lalu apa maksud senyum dan anggukan kepalanya tadi? “Tentang buku, nulis cerita, dan tetek bengeknya,” jelasku.
“Bang, lo kan tau gue enggak suka baca buku. Baca selembar dua lembar aja gue ngantuk. Ntar gimana kalau gue udah siap chatan sama Kiya? Bisa aja dia curiga semisal gue enggak ngerti apa yang dibahas.”
Jika waktu itu tiba, artinya bukan aku lagi yang menemaninya, kan? Sejenak aku melupakan fakta bahwa aku hanya perantara. Untungnya, Ian mengingatkan.
“Nanya-nanya hal basic kan bisa, Bang. Ini masih perkenalan,” tambah Ian.
“Justru pertanyaan basi yang lo maksud itu yang bikin cewek enggak tertarik.” Karena Ian diam, jadi aku melanjutkan. “Pancing pertanyaan dengan topik yang mereka suka. Contohnya, Kiya. Kebetulan dia suka nulis, baca buku, ya gue ajak dia bahas itu. Biar obrolannya ngalir sampai akhirnya dia nyaman.”
Laki-laki yang buta soal cinta ini manggut-manggut. “Ooh. Tapi dari mana lo tau Kiya suka baca buku, suka nulis?”
“Secara enggak sengaja.”
Ian mengangguk-angguk lagi. “Oke, lupain. Bukan itu yang harus kita bahas. Masalahnya sekarang, ada di gue,” katanya sambil menunjuk ke arah dadanya.
“Lo?” Aku ikut menunjuknya.
“Iya, gimana caranya gue imbangin Kiya sementara gue enggak paham tentang apa yang dia suka?”
“Ya kalian bisa obrolin hal lain,” saranku.
“Pertanyaan-pertanyaan basic yang lo bilang bikin cewek enggak tertarik, begitu?”
“Yan, masa untuk pembahasan semacam itu harus gue juga yang atur?” Aku bersedekap di kursiku.
Ian menghela napas. “Oke, oke. Gue akan cari tau sendiri.”
Sayangnya, aku malah tidak yakin pada anak ini. Takutnya justru dia yang menunjukkan pada Kiya bahwa kami bukan orang yang sama. “Memangnya lo udah siap kenal Kiya langsung?”
Ian mengangguk samar. “Iya. Dari obrolan kalian, kayaknya Kiya juga udah nyaman dan deket sama lo.” Ian tiba-tiba terdiam lalu menggeleng. “Ah, deket sama gue maksudnya.”
Aneh. Harusnya aku lega karena tak lagi harus terlibat dengan hubungan mereka, tapi nyatanya aku merasa janggal. Kiya butuh seseorang yang bisa mendengar dan memberi timbal balik tentang apa yang dia suka.
Sementara, Ian tidak tertarik sama sekali dengan apa yang Kiya suka. Memaksa Ian menyukai apa yang orang lain suka juga bukan jalan keluar.
Aku khawatir tentang itu.
“Lagian gue juga enggak enak repotin lo terus, Bang.” Ian berdiri, melangkah ke arah, dan menyerahkan ponsel itu padaku. “Ya udah, ayo turun. Kita makan bareng, Bang.”
“Papa belum pulang?” Aku meraih ponsel itu dan menatapnya.
“Katanya, enggak usah ditungguin.”
Aku mengangguk. “Lo duluan aja.” Masih ada yang ingin kusampaikan pada Kiya.
Ian berlalu dari hadapanku, namun belum semenit pintu kamarku kembali terbuka. Kepala Ian menyembul di sana dengan senyum semringah. “Bang, tiba-tiba gue kepikiran.”
“Apa?”
“Atau gue langsung ketemu aja sama Kiya? Face to face. Gimana menurut lo, Bang?”
Aku menarik ujung bibirku ke atas yang entah mengapa sedikit sulit malam ini. “Terserah kalian.”
KAMU SEDANG MEMBACA
It's You, But Not You
Romanzi rosa / ChickLitKiya ingin menjadi seorang penulis meski ditentang keras oleh ayahnya. Mulai dari menulis sembunyi-sembunyi, mengunggah karyanya di platform menulis, dan ikut lomba. Semua Kiya lakukan tanpa sepengetahuan orang-orang di rumahnya. Di tengah usahanya...
