Bagian 12 - 2

307 56 1
                                        

Sambil bersenandung ringan, aku turun dari mobil. Dengan makanan kucing berukuran 1kg dalam pelukanku.

Kebetulan Papa juga baru saja tiba. Namun bukannya masuk, Papa malah menungguku di teras dengan tatapan penasaran. Lebih tepatnya, matanya tidak berpaling dari yang kubawa.

“Makanan kucing?” Papa mengernyit. “Kamu mau pelihara kucing?”

Aku menggeleng dengan tetap mempertahankan senyumku.

“Terus kenapa beli makanan kucing? Mau kamu cemilin?” tanya Papa yang entah bercanda atau serius.

Tapi kalau itu serius, kurasa itu keterlaluan—ya walaupun makanan kucing aman-aman saja untuk dikonsumsi manusia.

“Mau kukasih ke kucing-kucing di jalan, Pa,” jawabku.

Kernyitan di kening Papa bertambah. Terlihat lebih heran dengan fakta aku ingin berbuat baik kepada makhluk hidup dibanding menjadikan makanan kucing camilan.

“Tiba-tiba?”

“Memangnya harus ada persiapannya dulu?” Aku mengangkat bahu.

“Apa pemicunya?” Pertanyaan Papa tidak ada habisnya.

Aku menepuk-nepuk bagian dadaku. “Hati nurani, Pa.”

Papa mendecakkan lidah. “Hati nuranimu itu enggak mungkin terketuk kalau bukan karena perempuan.”

Alisku terangkat, menatap Papa tak percaya. “Kenapa sih bahas itu lagi?”

“Pembahasan soal pendamping masa depan kamu memang akan jadi makanan sehari-hari di usia kamu yang sekarang,” kata Papa sembari mendorong pintu dan melangkah masuk.

“Aku belum setua itu.” Aku mengikuti Papa masuk.

Papa berhenti kemudian menoleh. “Iya, Papa yang makin tua.”

Aku tersenyum, menepuk pundak Papa, “Selamat istirahat, biar Papa sehat-sehat dan panjang umur. Aamiin,” dan berlalu kamarku.

Jika kuladeni lebih lama, pembahasan Papa bisa melebar ke mana-mana. Urusannya bisa panjang, sementara masih banyak hal yang harus aku kerjakan.

Sesampainya di kamar, aku menaruh makanan kucing di dekat kaki tempat tidur dan menatapnya sebentar sembari memikirkan tempat mana yang bisa kudatangi untuk memberi makan kucing, seperti yang dilakukan Kiya.

“Bang.”

Aku berbalik dan menemukan Ian berdiri diambang pintu. Tapi raut wajahnya itu sedikit berbeda dari biasanya.

Bagaimana, ya, menjelaskannya. Tidak ada binar semangat di matanya atau ujung bibir yang selalu terangkat.

“Kenapa?” tanyaku.

Ada jeda sejenak sebelum Ian bertanya, “Tadi lo ketemu sama Kiya?”

Aku mengalihkan pandangan sebentar untuk menenangkan diri dan kembali menatap Ian yang menunggu jawabanku dengan ekspresi penuh kecurigaan.

Aku mengangguk. “Enggak sengaja ketemu. Kenapa?”

“Kiya minta gue sampein makasih ke lo, tapi dia enggak ngejelasin terima kasih buat apa.” Ian masih bertahan di posisinya. “Kalian ketemu di mana?”

“Di pinggir jalan, dia lagi kasih makan kucing dan gue kebetulan lewat,” jawabku jujur.

“Kenapa lo samperin Kiya?” tanya Ian lagi.

Gerakan tanganku yang sedang membuka kancing di bagian lengan terhenti. “Maksudnya?”

Ian masuk ke kamarku dan menutup pintunya. Mataku mengikuti langkahnya hingga ia duduk di tepi tempat tidurku. “Kalian deket?” tanyanya hati-hati.

“Enggak,” jawabku tanpa pikir panjang.

Memang kami tidak dekat, kan? Selain sebagai dosen yang kebetulan sempat terlibat insiden dan sebagai editor, selebihnya Kiya menganggapku orang asing.

Laki-laki yang harus selalu dalam jarak aman.

Ian mengangguk ringan. “Kayaknya Kiya tuh tipe cewek yang emang sulit dideketin kali, ya, Bang.”

“Mungkin.” Aku menanggalkan kemejaku dan melempar ke keranjang cucian. Berusaha mencari kesibukan agar Ian berhenti memberondongku dengan pertanyaan terkait Kiya.

Sayangnya, usahaku tidak berhasil sama sekali. Melihatku menyampirkan handuk di pundak, Ian malah menahanku dengan satu pertanyaan lagi. Membuatku urung masuk ke kamar mandi.

“Bang, kalian pas sering chatingan bahas apa sih? Kasih tau gue juga, biar gue bisa paham.” Ian merebahkan tubuhnya. “Atau lo ada saran, Bang?”

Ian, sepertinya, dia benar-benar menyukai Kiya. Lihatlah bagaimana dia berusaha menyukai apa yang Kiya sukai. Membuatku sejenak sadar untuk tidak muncul di antara mereka berdua.

Akhirnya aku mengangguk, menghampiri rak penuh novel. Aku menarik tiga novel yang sekira cocok dengan selera Kiya lalu melemparkannya ke atas tempat tidur.

“Kayaknya Kiya belum baca novel itu.”

Ian menatapku, dia belum sepenuhnya mengerti.

“Lo bisa baca itu terus coba saranin ke Kiya. Setelah itu, kalian bisa bahas isinya bareng-bareng,” jelasku.

Barulah senyumnya merekah lalu memungut novel itu satu per satu. “Thank’s, Bang.”

Aku hanya mengangguk dan masuk ke kamar mandi.

It's You, But Not YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang