Tepat lima minggu sejak aku berhenti berpura-pura menjadi Ian. Yang juga berarti, sejak saat itulah aku tidak lagi bertukar pesan dengan Kiya. Keseharianku kembali seperti semula. Namun bukannya lega, aku justru merasa ada yang hilang.
Ya, kehilangan teman ngobrol.
Ditambah, sejauh ini, Ian tidak pernah mengeluh atau menghampiriku karena buntu. Informasi perihal Kiya jadi makin minim yang bisa sampai ke telingaku. Berpapasan di kampus pun sangat jarang terjadi.
Dan lagi, kalaupun kami berpapasan, aku tidak punya alasan menyapanya. Yang dia tahu, orang yang sering menemaninya bukan aku—meskipun itu aku—tapi Ian.
Aku hanya bisa membiarkannya berlalu bersama dua teman yang selalu ada di sampingnya.
Benar. Memang inilah yang harusnya terjadi. Aku jadi perantara bagi mereka berdua dan setelah mereka dekat, tugasku selesai. Itulah yang semestinya aku tanamkan dalam kepalaku. Bukannya berusaha agar terhubung kembali dengan perempuan idaman adikku.
“Dra, pengumumannya hari ini, kan?” tanyaku ketika duduk di depan laptop milik Andra dan mengutak-atiknya. Lebih tepatnya, ada yang ingin kucari tahu.
Andra yang sebelumnya sibuk dengan ponselnya, berdiri dan menghampiriku. “Yap!”
“Udah diumumin?” tanyaku lagi.
“Belum, Pak Bos.”
“Kenapa belum? Kita udah undur tanggal pengumumannya, nanti mereka ngamuk.”
Catat. Aku tidak mengada-ada. Pada postingan terakhir tentang lomba, para peserta sudah menagihnya di kolom komentar. Aku tidak mau cara pandang mereka jadi buruk.
“Iya, iya. Nanti setelah makan siang diumumin.”
“Gue mau lihat peserta yang lolos.” Aku menggeser kursi agar Andra yang berdiri di sampingku bisa leluasa mencari apa yang kuminta di laptopnya.
“Silakan.” Andra kembali bergeser ketika nama-nama peserta lolos muncul dilayar laptop.
Aku mendongak, menatapnya. “Ngapain masih di situ?” tanyaku pada Andra yang betah di posisinya.
“Nungguin lo. Siapa tau masih butuh sesuatu.”
“Enggak ada. Sana, sana,” usirku.
Andra menunjukkan wajah masamnya sebelum meninggalkanku. “Siap, Pak Bos.”
Setelah Andra pergi, aku memusatkan perhatianku pada layar laptop. Membaca premisnya satu per satu hingga aku menemukan satu nama yang sangat kutahu.
“Dia lolos,” gumamku. Senyumku muncul tanpa diminta.
Aku menegakkan punggungku lalu lanjut membaca tiga bab pertama karya yang Kiya kirim. Dari segi EYD dan tanda baca, kemampuannya tidak perlu diragukan lagi. Entah berapa kali dia menyunting tulisannya hingga aku tidak menemukan satu pun kesalahan dalam penulisannya.
Menurutku, yang kurang hanya jam terbang. Sebenarnya dia tahu apa yang ingin dia tulis, tapi Kiya kurang menyalurkan perasaannya ke dalam tulisannya. Dia harus banyak latihan.
Selesai membaca semua karya peserta yang lolos, aku meraih ponselku dan menghubungi Andra. Aku bisa saja berteriak untuk memanggilnya, tapi untuk saat ini aku tidak ingin buang-buang tenaga. Kalau ada cara mudah, kenapa harus memilih yang sulit?
“Andra, lo bisa ke sini enggak?” tanyaku begitu panggilanku tersambung.
Andra menghela napas kasar di ujung sana. “Nah kan! Apa gue bilang. Mending gue nungguin lo, daripada bolak-balik kek gini!”
Aku memutus sambungan telepon sebelum Andra semakin banyak bicara.
Pintu terbuka dan Andra muncul di sana. Tentu dengan wajah tak bersahabat. “Apa? Lo butuh apa?”
Aku menunjuk laptopnya. “Editor yang handle mereka udah ditentuin?”
“Udah, kemarin. Kenapa?” Andra masih betah berdiri di depan pintu.
“Gue dapet peserta yang mana?” tanyaku.
Andra memutar bola mata malas, “Bentar,” lalu menghampiriku. Andra membuka salah satu folder di laptopnya. “Nih!”
Aku membacanya dengan saksama. Mega yang kebagian mementori Kiya.
“Bisa dituker enggak?” Aku mendongak, menatap Andra yang berdiri di sebelahku.
Dimulai dari aku melangkahkan kaki keluar dari rumah di pagi hari, lalu sampai di kampus, dan berakhir di sini. Aku berani bersumpah, satu kali pun, tidak pernah terlintas dibenakku datang ke tempat ini untuk mengatur agar aku bisa bertemu lagi dengannya.
Ya, aku akui alasanku datang adalah mengecek apa dia lolos atau tidak. Titik.
Tapi tidak dengan niat yang lain. Sungguh, pertanyaan itu mendadak keluar dari mulutku.
Andra mengernyit. “Anda kok banyak maunya?”
“Bisa enggak?” ulangku. Kalaupun memang tidak bisa, aku tidak akan merasa terlalu kecewa.
Andra memicing curiga selama beberapa detik. Jelas dia curiga. Aku yang sekarang ini memang bukan Rayyan yang Andra kenal. “Bisa sih, anak-anak juga enggak masalah dapet naskah yang mana. Tapi kenapa tiba-tiba lo minta tuker?”
Aku mengendikan bahu. Menolak menjawab jujur dan malas mencari kebohongan.
“Mau yang mana?” tanya Andra pada akhirnya. Dia memosisikan jari-jarinya di atas keyboard kemudian melirikku.
“Yang ini.” Aku menunjuk nama Adinda Zakiyah.
“Cuma yang satu ini?” tanya Andra. Kecurigaannya kembali muncul.
Terpaksa, aku berbohong. Aku mengangguk. “Gue udah baca tulisannya, kayaknya dia butuh banyak bimbingan dari gue.”
Andra manggut-manggut dan akhirnya menukar posisi Kiya dengan salah satu peserta. “Udah nih. Butuh apa lagi?” Andra menegakkan tubuhnya.
“Enggak ada. Lo balik aja ke bawah,” usirku untuk kedua kalinya.
Sepeninggal Andra, aku terdiam di kursiku dengan mata terpaku pada layar laptop. Bertanya-tanya, apa tujuanku melakukan hal barusan?
Yang jelas, bukan sekadar iseng.
Dan bukan pula mengenal Kiya lebih jauh dan menilai apa dia cocok untuk adikku atau tidak. Sebulan mengenal—meski tanpa tatap muka—sudah cukup membuat kesimpulan bahwa Kiya adalah perempuan yang baik. Jika ditanya apa dia cocok dengan Ian, ya cocok.
Jadi apa tujuanku?
Tertarik?
Aku memijit pelipisku lalu tersenyum masam. Ya, itulah alasanku. Perlahan, tanpa aku sadari, aku tertarik padanya. Tapi kenapa harus dia?
KAMU SEDANG MEMBACA
It's You, But Not You
ChickLitKiya ingin menjadi seorang penulis meski ditentang keras oleh ayahnya. Mulai dari menulis sembunyi-sembunyi, mengunggah karyanya di platform menulis, dan ikut lomba. Semua Kiya lakukan tanpa sepengetahuan orang-orang di rumahnya. Di tengah usahanya...