Bagian 03 - 2

1K 152 7
                                    


Di saat tengah mengenakan sepatu, aku tersentak ketika seseorang tiba-tiba memegangnya bahuku. Aku menoleh cepat dan menemukan Ian yang masih dengan muka bantalnya berdiri di sebelahku.

Sepelan apa langkahnya sampai aku tidak mendengarnya mendekat ke arahku?

Ian memicing. "Bang, lo enggak pernah chat Kiya lagi, kan?"

Lagi-lagi masalah perempuan itu. Aku menggerakkan bahuku agar dia menjauhkan tangannya. "Enggak sempat."

"Enggak sempat atau lo mau gue jomlo terus?" tuduhnya.

Aku meluruskan punggung setelah berhasil mengenakan kedua sepatu dan sedikit merapikan lengan kemejaku lalu bertanya, "Kenapa bukan lo aja yang chat?"

Ian menghela napas. "Kita kan udah sepakat, Bang. Masa lo tiba-tiba berubah."

Gantian aku yang menghela napas. "Makanya jangan desak gue. Cewek juga enggak suka sama cowok yang terlalu agresif, chat dia tiap hari, nanyain dia ngapain, padahal baru kenal."

Ian mengernyit sambil mengangguk-angguk. "Gitu, ya?"

Untuk kedua kalinya aku menghela napas. Yang kukatakan barusan memang tidak salah, tapi itu hanya alibi menutup keenggananku bertukar pesan dengan perempuan. Lagi pula apa sih yang dilakukan? Paling basi-basi tidak penting khas anak remaja. Jujur saja, aku sudah terlalu tua untuk mengikuti alur pedekate anak-anak zaman sekarang.

Sebentar.

Ngomong-ngomong soal perempuan itu, sepertinya aku melupakan sesuatu tentangnya. Pertama dan terakhir kali aku melihatnya adalah saat di kampus. Dia tidak sengaja menabrakku lalu ... itu dia! Kacamata! Berarti aku harus menghubunginya untuk menanyakan perihal ganti rugi kacamatanya.

Oh, jangan.

Hampir saja aku lupa jika laki-laki yang bertukar pesan dengannya adalah Ian, bukan Rayyan sih dosen yang menginjak kacamatanya. Aku menghela napas, heran sendiri kenapa aku bisa lupa meminta kontaknya. Karena kecil kemungkinan aku bertemu dengannya di kampus. Dan dilihat dari tingkahnya yang selalu menjaga jarak dan menolak, bisa jadi dia menghindar jika tahu akan berpapasan denganku.

"Lo kenapa, Bang?"

Pertanyaan Ian menarikku keluar dari lamunanku. Aku menggeleng.

"Ya udah deh, masalah Kiya gue serahin sepenuhnya sama lo. Gue enggak banyak bacot lagi, tapi inget setelah lo ngerasa Kiya udah ada rasa tertarik sama gue. Selanjutnya biar gue yang urus."

Siapa juga yang mau terus-terusan mengurus masalah percintaannya. Aku hanya mengangguk kemudian berlalu menuju mobil yang terparkir sambil memikirkan tentang ganti rugi yang kujanjikan.

Ah, bukan janji. Bisa dibilang ini sudah termasuk utang.

***

"Siang, Pak."

"Siang," balasku sambil lalu pada beberapa mahasiswa yang berpapasan denganku.

Sejak memutuskan mengajar di salah satu kampus, aku sudah memikirkan matang-matang tentang beberapa hal. Salah satunya bagaimana sosokku di mata mahasiswa. Kalau mau, sebenarnya aku bisa saja jadi dosen yang tegas dan mungkin akan dicap killer oleh mahasiswa. Tapi aku tidak ingin itu terjadi.

Aku lebih ingin dikenal sebagai dosen yang menyenangkan. Sehingga mahasiswaku tidak terbebani atau merasa enggan mengikuti kelasku. Menurutku, kondisi kelas yang santai namun serius lebih memungkinkan bagi mahasiswa menerima materi yang aku sampaikan.

Masalah lain yang kadang muncul dari pilihanku adalah mahasiswa yang kelewat batas karena tidak bisa membedakan dalam dan luar kelas. Jangan kira aku akan membiarkannya begitu saja. Peringatan pertama memang hanya teguran, tapi jika terjadi dua kali ada konsekuensi yang menunggu.

Aku memang ramah, tapi bukan berarti aku jadi remeh di mata mereka.

"Siang, Pak Rayyan," sapa Bu Dewi ketika kami berpapasan dari arah berlawanan.

"Siang, Bu," balasku dengan seulas senyum tipis sambil tetap melangkah. Jika aku berhenti dan meladeni basa-basinya, dia bisa saja mengartikannya sebagai lampu hijau dariku.

Melewati taman, mataku tidak sengaja menangkap sosok yang sejam lalu membuatku berpikir. Perempuan itu sedang duduk di bangku taman sambil melihat ke arahku. Kakiku sontak berhenti mengayun. Baru saja aku bermaksud menarik ujung bibirku membentuk seulas senyum, Kiya malah memutus netra seakan-akan tidak melihatku.

Ada yang salah?

Perempuan itu, semakin membuatku penasaran. Apa aku pernah berbuat salah sampai dia menghindar sedemikian kerasnya? Atau aku terlihat menakutkan di matanya? Pertanyaan demi pertanyaan berputar di kepalaku. Seandainya bukan karena kelasku yang sebentar lagi akan mulai, mungkin aku akan menghampirinya saat ini juga.

Aku menengok jam tanganku lalu menatap punggung Kiya sekali lagi sebelum kembali melanjutkan langkahku. Nanti, setelah kelas aku akan mencarinya. Tentu saja bukan untuk menanyakan alasannya menjaga jarak, tapi tentang kacamatanya.

Sayangnya, rencanaku tidak berhasil. Aku tidak menemukannya. Entah karena dia memang tidak lagi di kampus atau berusaha menghindariku.

Hingga keesokan harinya, tanpa sengaja aku berpapasan dengannya di ujung tangga tempat insiden dua hari lalu terjadi.

"Pagi, Pak," sapanya tanpa mengangkat pandangan.

Aku tidak bisa menahan senyumku karena hanya bisa melihat ubun-ubun kepalanya. "Pagi."

Kiya bergeser ke kiri, sepertinya dia ingin kabur lagi. Makanya aku ikut bergeser menghalangi jalannya. Walau samar, aku sadar Kiya berniat mendongak namun cepat-cepat dia berhenti dan kembali menunduk. Tidak menyerah, kali ini Kiya bergeser ke kanan dan aku menghalanginya lagi.

Akhirnya dia mendongak. "Permisi, Pak."

Aku bergeming. Ada yang harus dibahas jadi dia tidak boleh kabur. "Kalau saya tidak salah ingat, dua hari lalu kamu janji akan kasih saya nota kacamata baru kamu."

Kiya segera mengalihkan pandangannya ke sembarang arah.

"Atau saya yang salah ingat?" kataku lagi.

Kiya mendongak lagi lalu menggeleng. "Enggak usah, Pak. Bapak maafin saja aja udah lebih dari cukup."

"Buat saya, belum cukup. Kamu memang nabrak saya, tapi saya juga ngerusak kacamata kamu."

Dia menunduk lagi. "Saya enggak minta Bapak untuk tanggung jawab," ujarnya dengan suara agak pelan. Tapi karena keadaan yang sepi tanpa ada mahasiswa yang lalu lalang, aku bisa mendengarnya.

"Kasih saya alasan kenapa kamu tolak kebaikan saya," kataku belum berniat melepasnya.

"Karena tabrakan waktu itu murni kesalahan saya dan masalah kacamata, itu konsekuensi yang memang harus saya terima, Pak," jelasnya tenang.

"Tapi kamu harus ingat kalau kemarin bilang boleh atas tawaran saya bayar setengah dari harga kacamata kamu."

Kiya membuka mulutnya ingin mengatakan sesuatu namun mendadak urung ketika suara langkah dan tawa beberapa mahasiswi terdengar mendekat. Matanya mengedar panik lalu mendongak dengan tatapan yang menyiratkan dia bermaksud pergi dari hadapanku sekarang juga.

Sepertinya dia takut ada orang yang melihatnya ngobrol denganku.

"Sekali lagi enggak usah, Pak. Saya benar-benar udah ikhlas dan enggak ada dendam sama Bapak. Kalau gitu, saya permisi, Pak," katanya cepat lalu menaiki tangga dengan langkah buru-buru.

Aku berbalik, mataku mengikuti langkahnya hingga ia berbelok dan menghilang di lantai dua. Padahal mahasiswa lain bisa mengajakku ngobrol layaknya teman di luar kelas, kenapa dia setakut itu?

It's You, But Not YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang