Bagian 05 - 1

745 119 6
                                        

Now Playing | Rothy - HELLO




💌💌💌




"Untuk yang poinnya di bawah 60 dan ingin mengulang, silakan tentukan harinya terus keti hubungi saya."

"Iya, Bu."

Hasil kuis baru saja dibagikan dan dilihat dari wajah-wajah para penghuni kelas, sepertinya banyak yang harus mengulang.

Aku menunduk, menatap kertas kuisku di atas meja. Angka 70 ditulis di sudut kanan atas dengan tinta biru. Bagiku, poin 70 sudah lebih dari cukup membuatku puas. Apalagi aku tidak perlu mengulang.

"Wih, 70."

Aku menoleh ke arah Jasmine yang duduk di sebelahku. "Lo berapa?" tanyaku.

Jasmine membuka kertas yang telah ia lipat dan menunjukkannya padaku. "65 dong. Gue enggak ngulang," katanya bangga.

Sama sepertiku, selama tidak mengulang, meski nilainya tidak tinggi-tinggi amat, itu sudah cukup bagi Jasmine. Sangat jauh berbeda dengan Karina yang pastinya akan stres berat jika mendapatkan nilai 80 ke bawah.

"Gue juga enggak ngulang." Aku lalu bertos ria dengan Jasmine.

"Ada apa Karina?"

Aku dan Jasmine kompak mengalihkan pandangan ke depan. Bu Dewi yang tadi bersuara kini menatap Karina yang duduk di barisan paling depan.

"Jadi yang nilainya 80 enggak perlu mengulang, kan, Bu?" tanya Karina membuat suasana kelas yang hening jadi semakin hening.

Tapi hanya berselang beberapa detik, karena setelah itu suara cekikikan dan helaan napas yang sengaja dikeluarkan kuat-kuat mulai memenuhi kelas. Aku mengedarkan pandangan, memerhatikan mereka yang kini menatap Karina mencemooh, lalu berakhir pada Bu Dewi.

"Memangnya perkataan saya barusan kurang jelas?" tanya Bu Dewi tegas namun tetap terdengar tenang.

Pertanyaan Bu Dewi memang diajukan untuk Karina, tapi mungkin karena hampir seisi kelas gemas dengan Karina jadi mereka kompak menyahut. "Sangat jelas, Bu!"

Bu Dewi mengangguk. "Ya sudah. Ingat, ya, tugasnya dikumpul sebelum hari Jumat," lalu melenggang meninggalkan kelas.

"Kadang gue malu akuin dia temen gue," desah Jasmine sambil menyampirkan tas ranselnya.

Adegan yang baru saja terjadi adalah salah satu alasan mengapa Karina kurang disukai di kelas. Mungkin bisa dibilang, dia itu bebal. Karina yang meski dikenal pintar, terkadang mengajukan pertanyaan yang sebenarnya untuk mahasiswa yang berada ditingkat bawah dalam hal nilai sekalipun bisa menjawabnya.

Itu baru salah satunya, seperti yang kukatakan.

Yang satu ini mungkin yang paling dibenci teman sekelasku. Karina sangat senang mengajukan pertanyaan jika ada yang mempresentasikan tugasnya di depan kelas. Namun kebanyakan pertanyaannya bukan karena Karina tidak tahu jawabannya, namun lebih kepada menguji.

Belum cukup sampai di situ saja. Karina juga susah menerima jawaban dan akan terus bertanya sampai topiknya terkadang melenceng jauh dari pembahasan. Kalau sudah begitu, dosen yang akhirnya turun tangan dan menyelesaikan aksi tanya jawab yang tak ada habisnya.

Sebagai orang yang dekat dengannya, aku dan Jasmine sering menasihatinya. Bukan melarang, tapi mengingatkan untuk tidak menyulitkan orang lain demi dirinya sendiri. Sayangnya, Karina seakan tak mau mendengar.

Namun di balik sifatnya yang menyebalkan itu, Karina tetap punya sisi baik. Terutama dari sudut pandangku dan Jasmine.

"Kalau mau pamer nilai, jangan sampai kelihatan banget lah," sindir Jasmine ketika kami berjalan beriringan menuju kantin. Jasmine berdiri di sisi kiriku, sementara Karina di sisi kanan.

Karina dengan tampang tidak pedulinya berkata, "Gue cuma nanya."

"Ara (Tau), masalahnya pertanyaan lo itu jawabannya sudah sangat-sangat jelas. Bahkan gue yang bego ini juga bisa jawab pertanyaan lo."

Aku manggut-manggut. Persis seperti yang kupikirkan.

Karina menoleh ke arah Jasmine. "Maksud pertanyaan gue itu, siapa tau yang nilainya tinggi pun boleh ngulang. Karena pengen nilainya naik jadi 85, 90, atau 100."

Jasmine melompat ke depan dan menghalangi jalan. "Lo, ya, ada aja jawabannya. Iyain aja kenapa sih?"

"Gue enggak mau kalah dari lo."

Bukannya membalas Karina, Jasmine malah melirikku. "Ki', belain gue dong. Diem aja dari tadi."

Aku menunjuk diriku sendiri. Kenapa aku diam saja? Karena memang belum waktunya aku menengahi mereka. Tapi karena Jasmine tidak melepas pandangannya dariku, mau tidak mau aku bersuara. "Emm, Inem bener."

Jasmine tersenyum menang sambil menunjukku. "Tuh!"

Karina melirikku lalu kembali menatap lurus ke depan. "Enggak, kalian aja yang enggak ngerti maksud pertanyaan gue."

Karina melengos meninggalkan Jasmine yang melongo di tempatnya. "Aish, capek!"

"Lain kali enggak usah dinasihatin," kataku.

Ini bukan pertama kalinya, jadi sedikit banyak aku bisa membayangkan reaksi maupun kata-kata yang akan keluar dari mulut Karina. Maka dari itu, menurutku, daripada membuang-buang energi menasihatinya, aku memilih diam.

"Aigo ..."

Aku merangkul pundak Jasmine, menepuknya pelan lalu menggiringnya melanjutkan langkah menyusul Karina yang sudah jauh di depan sana.

Sesampainya di kantin, Karina langsung memesan makanan sementara aku dan Jasmine kebagian tugas mencari tempat duduk. Emm, mungkin lebih pas kalau aku menyebutnya memilih tempat duduk. Karena jam makan siang sudah lewat, kantin tidak terlalu ramai dan masih banyak meja yang kosong.

Karina menyusul tak lama kemudian. Dia duduk di sampingku, berhadapan langsung dengan Jasmine yang sibuk dengan ponselnya. Sembari menunggu makanan tiba, aku iseng mengintip ke kolong-kolong meja. Siapa tahu ada kucing yang sedang mencari makan.

Benar saja. Ada kucing berwarna hitam di bawah meja di belakangku. Aku segera memanggilnya dan ketika mata kami bertemu, kucing hitam itu langsung menghampiriku. Mungkin dia ingat aku yang pernah memberinya makan, makanya dia tidak ragu.

"Hai," sapaku sambil mengelus kepalanya. Aku lalu mengeluarkan stoples kecil berisi makanan kering kucing dari ranselku, menaruhnya pada selembar kertas, dan meletakkannya di dekat kursiku dengan tenang agar tidak menarik perhatian sekitar.

Selalu membawa makanan kering ke mana pun aku pergi dan memberi makan kucing-kucing yang kutemui sudah menjadi kebiasaan setahun belakangan ini. Hanya ini yang bisa kulakukan untuk kucing-kucing tanpa tuan yang hidup mandiri di jalan.

Karena, meski ingin, aku tidak bisa seenaknya membawa setiap kucing yang kutemui pulang. Meminta izin memelihara satu kucing saja setengah mati, apalagi punya niat menyulap rumah menjadi shelter kucing.

"Lo emang cocok kalau dipanggil Mama kucing," ujar Jasmine membuatku mengalihkan perhatian dari kucing yang tengah lahap menyantap makanannya.

Aku mengulas senyum tipis. "Terus Papa kucingnya siapa?"

"Ya pacar lo lah!" balas Jasmine.

"Lo punya pacar, Ki'?" tanya Karina.

Aku menoleh dengan kening mengernyit. Kan, Karinanya salah paham. "Enggak, gue mana ada pacar."

"Omo!" (Astaga!)

Pekikan tertahan Jasmine mengalihkan perhatianku dan Karina. Lagi-lagi bahasa keduanya muncul.

Jasmine mencondongkan tubuhnya ke depan dengan mata masih terus tertuju pada sesuatu atau seseorang di belakangku. "Pak Rayyan! Ada Pak Rayyan!"

Karina spontan menengok, sedangkan aku membeku di tempat. Gawat! Terakhir aku menghindarinya dengan sangat tidak sopan. Kali ini, jika bertemu, dia tidak akan menagihnya dua kali, kan?

Di sini banyak orang.

It's You, But Not YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang