Bagian 02 - 2

1.6K 277 143
                                        

Happy reading❤️



💌💌💌




Hantaman keras menerjang ketika kakiku baru menginjak lantai satu. Tubuhku terdorong selangkah, cup kopi di tanganku ikut tumpah mengenai si penabrak. Mahasiswa di hadapanku ini menunduk dalam diam.

Aku tahu bukan aku yang salah. Namun, pakaian perempuan di hadapanku ini jadi kotor karena kopi yang kubawa. Berniat mendekat, suara retak di bawah kakiku segera mengalihkan perhatianku. "Astaga! Maaf ..." Selain menumpahkan kopi, aku juga merusak kacamata mahasiswa ini.

Sedetik kemudian, perempuan itu mendongak. "Pak, s-saya minta maaf. Saya benar-benar enggak sengaja, Pak."

Aku tertegun.

Tanpa kacamata yang bertengger, perempuan ini persis Bunda ketika muda dulu. Bibir mungil, kulit putih pucat, dan wajah yang memancarkan aura keibuan. Bedanya, perempuan ini mempunyai tahi lalat di sudut bawah mata kirinya. Dan perempuan ini, yang berhasil menarik perhatian adikku.

Kiya.

"Saya akan ganti kopi Bapak, tapi nanti. Saya harus masuk kelas sekarang, Pak. Sekali lagi saya minta maaf, Pak."

Aku mengenyit, Kiya terlihat sangat ketakutan dan panik. "Iya, saya tidak masalah dengan kopinya. Tapi baju kamu."

Kiya menggeleng cepat. "Enggak apa-apa, Pak. Kalau begitu saya permisi, Pak. Saya bakal ganti kopinya nanti."

Aku hendak protes, tetapi Kiya segera melesat menaiki tangga. Bahkan kata yang berada di ujung lidahku tidak sempat keluar. Aku menggeleng pelan lalu menunduk memperhatikan sepatu hitam mengkilapku. Ada tumpahan kopi di sana, cipratan kecil juga mengenai celana yang kugunakan.

"Loh? Pak Rayyan, ini kenapa?" Pak Surya yang muncul tiba-tiba menatapku, menunggu jawaban.

Aku tersenyum tipis. "Saya tadi enggak sengaja tabrak mahasiswa, Pak."

"Waduh, sepatunya sampai kotor begitu. Mari ke ruangan saya, kamu bersihkan di sana."

Sebenarnya aku bisa saja langsung pulang, toh jadwal mengejar sudah selesai. Tetapi perempuan barusan membuatku berpikir dua kali. Aku melirik kacamata di dekat kakiku sembari menimbang tawaran Pak Surya.

Ada satu dua hal yang menahanku sampai akhirnya aku mengangguk. "Makasih banyak, Pak."

"Ayo. Nanti biar saya minta Pak Cahyo yang bersihkan."

Aku mengangguk sekali lagi, memungut kacamata Kiya kemudian mengekor di belakang Pak Surya. Sesampainya di ruangan, aku segera duduk sementara Pak Surya sibuk membuka laci mejanya satu per satu.

"Oh, ini," sahut Pak Surya lalu meletakkan tisu basah di atas meja.

"Maaf ya, Pak. Jadi ngerepotin."

"Repot bagaimana? Ini cuma ambil tisu," kata Pak Surya diakhiri tawa menggelegar yang hanya kubalas dengan melempar senyum simpul.

"Oh, iya. Kamu sudah selesai ngajar?"

Aku mengangguk sambil terus mengelap sepatuku. "Iya, Pak."

"Langsung pulang?"

"Rencananya begitu, Pak."

"Sekali-kali kamu kumpul sama dosen lain, jangan langsung pulang. Ajak mereka makan siang biar kalian akrab."

Sejujurnya, aku tak langsung pulang. Kesibukan lain menantiku sepulang kampus namun selama ini tak kuumbar pada dosen atau staf di fakultas. Jadi, aku hanya bisa tersenyum mendengar nasihat Pak Surya.

"Siapa tau jodoh kamu ada di antara mereka," lanjut Pak Surya diakhiri tawa. "Apalagi saya perhatikan, sepertinya Bu Dewi tertarik sama kamu."

Ya, aku memang bukan lagi remaja 17 tahun yang sering kali masih bingung dengan perasaannya sendiri atau tidak menyadari ketertarikan seseorang padaku. Aku sadar betul salah satu dosen menaruh perasaan dan karena itu aku berusaha menjaga jarak. Walau tidak menolaknya secara langsung, aku berharap dia melihat tembok pemisah yang kubangun. "Mungkin perasaan Bapak aja, saya sama Bu Dewi cuma teman."

It's You, But Not YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang