Suzy & Beakhyun - Dream
💌💌💌
Menunggu lebih dari sebulan lamanya, tidak terasa sia-sia ketika aku tahu naskahku lolos. Aku senang bukan main. Ini adalah pertama kalinya naskahku lolos dalam satu lomba.
Dulu, mulai dari mengirim naskah cerpen ke majalah, ikut serta dalam lomba menulis novel, bahkan mengajukannya langsung pada penerbit, tidak ada satu pun yang lolos.
Karena itu, aku masih merasa semuanya mimpi.
Namun rasa bahagiaku berakhir cukup di hari itu. Keesokan harinya, aku menerima email dari editor yang akan menangani dan membimbing naskahku hingga tuntas.
Dan orang itu adalah Pak Rayyan. Dosen yang mengajar di kampus, sekaligus dosen yang pernah terlibat sedikit masalah denganku. Padahal aku berharap, pertemuan kami di toko buku waktu itu adalah terakhir kalinya.
Sekarang? Aku malah harus terhubung dengannya selama beberapa bulan ke depan.
Aku mengeratkan pelukan pada laptop di dadaku sambil terus melangkah menuju perpustakaan. Berulang kali aku menghirup oksigen dan mengembuskannya perlahan demi menenangkan diri.
Sayangnya usahaku sia-sia.
Jujur, kalau boleh, aku tidak ingin bertemu Pak Rayyan. Apalagi ini masih dalam lingkungan kampus. Semalam, saat Pak Rayyan memintaku bertemu di perpustakaan kampus untuk membahas naskahku, aku berharap bisa menolaknya.
Tapi aku tidak bisa. Dan lagi, solusi apa yang bisa kuberikan jika menolak bertemu dalam lingkungan kampus? Menyarankan bertemu di kafe atau semacamnya? Yang ada kami disalahpahami jika ada yang melihat.
Sekali lagi, aku mengembuskan napas sebelum memantapkan diri masuk ke perpustakaan.
Cuaca hari ini panas—seperti biasa—namun jari-jariku malah sedingin es. Respon tubuhku yang tidak pernah berubah jika aku harus bertemu dengan orang baru atau orang yang tidak dekat denganku.
Peganganku pada laptop semakin mengerat ketika mataku langsung tertuju pada sosok yang sedang duduk sendiri di pojok belakang. Pak Rayyan tidak menyadari kehadiranku, dia sibuk dengan iPad-nya.
Sembari melangkah, aku melirik ke kiri dan kanan. Untungnya, perpustakaan tidak ramai siang ini. Hanya ada tiga meja yang terisi. Itu pun tidak diduduki lebih dari tiga orang.
Saat aku mengembalikan pandanganku ke depan, Pak Rayyan sudah meletakkan iPad-nya dan menatapku. Entah sejak kapan. Aku memilih menunduk disisa perjalanan hingga aku duduk di hadapannya.
Aku membalas senyum Pak Rayyan yang menyambutku.
“Kita ketemu lagi,” sahut Pak Rayyan ramah.
“Iya, Pak.”
“Tapi kali ini beda, kita bukan dosen dan mahasiswa.”
Aku hanya bisa menanggapinya dengan senyum tipis.
“Jadi, gimana rasanya jadi salah satu yang lolos?” tanya Pak Rayyan sembari memasukkan iPad-nya ke dalam tas ranselnya.
“Seneng, Pak.”
Pak Rayyan tersenyum. Kemungkinan besar karena mukaku yang saat ini tegang bukan main. “Ya udah, saya bisa lihat outline lengkap kamu?”
“Oh iya, Pak.” Laptop yang tadinya kupangku, pindah ke atas meja. Lalu sedikit terburu-buru mengeluarkan apa yang diminta Pak Rayyan. “Saya juga bawa naskah yang udah setengah jadi, Pak.”
“Secepat itu?” Alis Pak Rayyan terangkat tinggi.
Aku menggeleng samar dan menyerahkan outline yang telah kucetak. “Sebenarnya naskah ini udah lama saya tulis, Pak. Saya ambil garis besarnya terus saya rombak total.”
KAMU SEDANG MEMBACA
It's You, But Not You
Literatura FemininaKiya ingin menjadi seorang penulis meski ditentang keras oleh ayahnya. Mulai dari menulis sembunyi-sembunyi, mengunggah karyanya di platform menulis, dan ikut lomba. Semua Kiya lakukan tanpa sepengetahuan orang-orang di rumahnya. Di tengah usahanya...
