🎶 PL - Dreamlike 🎶
💌💌💌
Walau mengenalnya melalui keisengan Inem, aku tidak menyangka hubunganku dan Ian sampai sejauh ini. Maksudku, yang kupikirkan di awal, mungkin kami hanya akan berbalas pesan sebentar lalu setelah itu menghilang. Kembali menjadi dua orang asing.
Nyatanya tidak.
Ian bahkan membagikan informasi lomba padaku lebih dulu padahal resminya baru dipublikasikan besok. Sebenarnya, meski bertanya-tanya dari mana Ian tahu, apa dia punya koneksi, dan berbagai pertanyaan lain, tapi aku memilih menyimpannya.
Aku tidak ingin dia sampai merasa tidak nyaman karena aku banyak bertanya tentang kehidupan pribadinya. Lebih baik aku berterima kasih atas kebaikannya.
“Ki’, gue males pulang. Ke rumah Karina, yuk!” bujuk Jasmine sambil gelendotan di lenganku.
Aku memasukkan ponsel ke dalam tasku lalu menyampirkannya di bahuku. “Emangnya tuan rumah bolehin?” tanyaku melirik Karina yang tengah berdiri menunggu kami di ambang pintu.
Bukan mengangguk atau menggeleng, Karina malah mengedikkan bahu.
“Boleh, lah!” jawab Jasmine.
Aku menarik tanganku dari belitannya. “Enggak, ah. Gue mau ke Gramed.”
Jasmine memanyunkan bibirnya. “Perasaan lo ke sana baru-baru ini deh.”
Baru-baru ini? “Nem, itu sebulan yang lalu.” Aku tidak tahu definisi baru-baru ini menurut Jasmine itu berapa lama, tapi bukannya itu berlebihan?
“Buat gue itu belum lama, Ki’. Yang lama itu enam bulan sekali atau setahun sekali.”
“Iya, itu buat lo.” Karena Jasmine tidak suka membaca, malahan dia mengantuk jika disuruh membaca buku beratus halaman. Makanya toko buku atau perpustakaan adalah tempat yang mustahil Jasmine sambangi. “Udah, ya? Gue pergi sekarang.”
Jasmine menahan tas ranselku. “Kiya, jebal!” (Tolong)
Tanpa menoleh ke arahnya, aku menarik paksa tasku dan melenggang meninggalkan Jasmine yang lagi-lagi berakting sok dramatis.
“Karina, gue duluan,” pamitku ketika melewati Karina.
Karina mengangguk sambil mengacungkan jempolnya. “Oke.”
“Gajima!” (Jangan pergi)
**
Selain ingin mencari referensi sebagai persiapan lomba nanti, alasan lain kenapa aku ke toko buku tanpa memedulikan bujukan Jasmine adalah membeli beberapa novel yang dua bulan ini nangkring di wishlist-ku.
Bukan masalah uang atau tidak sempat sehingga novel itu tak kunjung terpajang di rak kamarku, tapi lebih ke ragu karena harganya yang lumayan jika ingin melengkapi serinya. Akhirnya terkadang, aku malah membeli novel yang diskon gila-gilaan di e-commerce.
Padahal kalau dipikir, ya sama saja. Aku beli novel diskon, tapi jumlahnya banyak. Harganya jadi tidak beda jauh jika aku membeli novel yang memang aku inginkan.
Tapi hari ini, aku janji pada diriku sendiri akan membawanya pulang—itu pun kalau stoknya masih ada.
Oh, aman!
Senyumku merekah begitu berdiri di depan rak yang memajang novel karya Sir Arthur Conan Doyle. Sherlock Holmes. Sebenarnya aku bukan penggemar berat novel-novel petualangan atau detektif, tapi lebih kepada novel yang ringan. Sherlock Holmes memang termasuk berat dari segi cerita, namun cara penulis meramu tiap katanya membuat ceritanya mengalir begitu saja.
Aku justru tidak terlalu menyukai novel dengan diksi tidak umum atau bahasa yang mendayu-dayu. Bukan karena novelnya tidak bagus, cuman memang bukan sesuatu yang aku suka.
Setiap orang punya seleranya masing-masing, kan?
Setelah memastikan novel incaranku aman, aku lanjut berkeliling melihat-lihat novel lain. Beruntung jika aku mendapatkan novel yang bisa kujadikan referensi dan kalaupun tidak ada, masih ada toko online yang menunggu.
Hampir satu jam berkeliling, aku memutuskan berhenti setelah terpikat pada dua novel. Satunya metropop dan satunya lagi bergenre fantasi.
Sejujurnya, aku masih sanggup berkeliling. Bahkan jika disuruh melewati rak sebelumnya, membaca blurb novel yang sama pun, aku tidak keberatan. Tapi demi menjaga uang jajanku, aku menahan diri dan kembali ke rak awal. Di mana novel incaranku berada.
Dengan senyum yang tidak bisa kusembunyikan, tanganku terulur ingin meraihnya. Namun di saat yang bersamaan, tangan besar seseorang tiba-tiba muncul dan tanpa sengaja malah memegang tanganku.
Kepalaku menoleh cepat ke sisi kanan dan semakin terkejut menemukan Pak Rayyan sebagai si pemilik tangan itu.
Kebetulan macam apa lagi ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
It's You, But Not You
أدب نسائيKiya ingin menjadi seorang penulis meski ditentang keras oleh ayahnya. Mulai dari menulis sembunyi-sembunyi, mengunggah karyanya di platform menulis, dan ikut lomba. Semua Kiya lakukan tanpa sepengetahuan orang-orang di rumahnya. Di tengah usahanya...
