Bagian 07 - 1

696 109 3
                                        

🎶Eric Nam - I'm OK🎶



💌💌💌




Kurasa, perlahan aku mulai jatuh.

Padahal aku belum pernah sekalipun bertemu langsung dengan Ian. Komunikasi yang kami lakukan sejauh ini, hanya sebatas chattingan. Saling mendengar suara satu sama lain pun tidak.

Tapi hebatnya, dia mampu membuatku nyaman.

Mungkin karena kami punya satu kesukaan yang sama. Dan hal lain yang mulai kusadari adalah Ian yang tahu apa yang ingin kudengar dari seseorang.

Ian tahu menulis itu sulit dan butuh proses panjang agar tulisan itu menjadi bentuk utuh. Dia selalu mengapresiasi apa yang aku lakukan, memberiku semangat, dan meyakinkan bahwa aku bisa menyelesaikannya. Terlebih ketika dia tahu aku serius mengikuti lomba.

Kata-kata semacam itu tidak pernah aku dengar dari siapa pun.

Kedua orangtuaku jelas menentang kecintaanku pada menulis. Kakak ataupun adikku, bisa dibilang tidak begitu peduli dengan apa yang aku sukai. Sementara temanku sebagai harapan terakhir pun sama. Mereka mendukung, tapi hanya sebatas itu. Tidak ada yang benar-benar bisa kuajak bertukar pikiran atau mengungkapkan keluh kesahku.

Dan dengan kehadiran Ian, wadah yang selama ini kosong, sedikit demi sedikit terisi karenanya.

Aku tersenyum tipis setelah pamit pada Ian untuk mengerjakan outline novel yang akan kuikutsertakan dalam lomba nanti. Bertukar cerita dengan Ian selalu menjadi sesuatu yang menyenangkan.

Agar tidak mengganggu, aku menjauhkan ponsel dari jangkauanku dan fokus pada laptopku. Sudah seminggu sejak lomba diumumkan, jadi aku tidak boleh menunda-nunda lagi.

Belum lama aku mengetik, tiba-tiba mataku yang menjelajah mencari inspirasi terhenti pada novel Sherlock Holmes di rak yang masih terbungkus rapi. Tanpa diminta, ingatan seminggu lalu mendadak terputar di kepalaku.

Kejadian yang tidak ingin kuingat sama sekali.

Kedua tanganku terangkat lalu meremas rambutku. Berharap dengan begini, wajah Pak Rayyan bisa menghilang dari kepalaku. Sayangnya, usahaku sia-sia.

Dimulai dari tangan kami bersentuhan, Pak Rayyan yang menyarankan novel lebih hemat, Pak Rayyan membayar novelku dengan dalih mengganti biaya kacamataku, dan terakhir menawarkan tumpangan.

Jujur, aku menyesal.

Harusnya hari itu, aku mendengar Inem dan mengikutinya ke rumah Karina.

Di tengah rasa frustrasiku yang belum juga bisa mengenyahkan Pak Rayyan, samar-samar hidungku menangkap bau busuk yang familier. Bau kecoak. Aku mengendusnya, baunya semakin jelas.

Mataku mulai menyapu dinding di hadapanku, rak, dan meja belajarku. Jangan sampai kecoak itu sedang memantauku dari jarak dekat. Tidak menemukan tanda-tanda keberadaannya, aku menunduk lalu menengok.

Itu dia.

Ada Cemong di dekat ranjangku dan dia sedang bermain dengan seekor kecoak. Aku bangkit dari dudukku dengan gerakan cepat dan di saat bersamaan, Cemong melirikku. Cemong langsung siaga, tahu dia dalam keadaan berbahaya.

Sebelum aku berhasil menghampiri dan menyingkirkan kecoak itu dari hadapannya, Cemong lebih dulu menggigit hasil buruannya itu lalu berlari keluar dari kamarku. Lupakan soal outline, urusan Cemong harus didahulukan.

Aku berlari kecil mengejar anak itu. Aku masih menoleransi jika Cemong menangkap cecak, kumbang, atau belalang. Tapi kecoak, tidak boleh bahkan untuk sekadar jadi mainannya.

Untungnya, Cemong berhenti di ruang tamu dan melepas kecoak itu. Aku segera menggendongnya, menyambar selembar tisu di atas meja, lalu membuang kecoak itu ke luar rumah.

Sambil melangkah menuju kamar dan Cemong masih dalam gendongan, aku menasihatinya. “Mong, kecoak itu kotor. Enggak boleh dijadiin mainan apalagi dimakan. Lain kali jangan gitu, ya?” Cemong mengeong saat aku mengelus punggungnya.

“Iya, iya. Besok aku beliin snack.” Cemong mengeong lagi.

Sesampainya di depan kamar, seketika senyumku luntur melihat punggung Papa di dalam kamarku. Parahnya, Papa sedang memerhatikan layar laptopku. Aku menelan salivaku susah payah kemudian menurunkan Cemong.

Karena tidak tahu akan terjadi masalah, Cemong berjalan santai menuju ranjangku dan tiduran di sana. Boleh tidak, aku tukaran posisi dengan Cemong kali ini saja.

“Ini apa?” Papa berbalik saat aku masuk beberapa langkah.

Aku menunduk. “Tugas, Pa,” jawabku pelan. Aku tahu, tidak seharusnya berbohong. Tapi sungguh, aku tidak sedang dalam keadaan ingin dimarahi sekarang.

“Papa tanya sekali. Ini apa?” Suara Papa memang tidak meninggi, tapi setiap katanya terdengar makin tajam.

Kali ini, aku tidak sanggup menjawab.

“Harus berapa kali Papa ingetin kamu? Jadi penulis itu enggak ada gunanya. Penulis-penulis sukses, kaya raya, milyarder, yang kamu lihat itu bisa dihitung jari. Sementara ada ratusan penulis yang tidak kamu tau pontang-panting demi bisa hidup.”

Wadah yang sebelumnya Ian isi baik-baik, sekarang bocor oleh kata-kata Papa yang menusuk. Perlahan, wadahnya kembali mengering. Mungkin isi itulah yang keluar dan berakhir menjadi air mata.

Aku menyeka air mata di pipiku masih dalam posisi menunduk. Tidak ada keberanian mengangkat kepala dan memandang Papa yang tengah marah. “Ini bukan cuma soal uang, Pa,” bisikku.

“Terus apa? Kiya, kamu perlu uang untuk hidup. Bukan cuma ikutin passion atau sesuatu yang kamu suka. Orang-orang kerja untuk cari uang, enggak peduli mereka suka atau enggak.” Papa menghela napas. “Papa sama Mama enggak bisa selamanya jamin hidup kamu, ada saatnya kamu harus berjuang untuk diri kamu sendiri. Papa enggak mau kamu milih luntang-lantung jadi penulis.”

Air mataku menetes lagi. Rasa khawatir Papa, aku paham. Tapi tidak bisakah, Papa, sekali saja percaya padaku?

Kalau aku bisa.

Kalau mimpiku tidak salah.

Kalau tidak ada yang tidak mungkin.

Kalau … aku juga pantas dipuji dengan apa yang aku suka.

“Laptop kamu Papa sita.”

Kepalaku terangkat cepat. Mataku terbuka lebar melihat Papa melipat laptop dan mengangkatnya. Aku berjalan cepat menghampiri Papa. “Papa, jangan,” mohonku.

“Kamu bisa ambil cuma untuk kerjakan tugas, selebihnya Papa yang pegang,” tegas Papa lalu keluar dari kamarku.

Tubuhku melorot di kursi dengan berderai air mata. Sekarang apa yang harus aku lakukan? Tanpa laptop, bagaimana caranya aku menyelesaikan naskahku?

Aku menjatuhkan kepalaku di meja belajar lalu menggapai ponselku. Ada pesan dari Ian, setengah jam yang lalu.

Ujung bibirku terangkat pelan, meski air di sudut mataku masih menetes.

Anehnya, di saat seperti ini, aku merasa membutuhkan Ian.

It's You, But Not YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang