Bagian 05 - 2

567 106 0
                                    

Jika diingat-ingat, mungkin ini pertama kalinya aku punya niat makan siang di kantin kampus. Bukan karena menunya tidak ada yang sesuai selera atau tidak enak, hanya saja aku biasanya akan pulang sebelum jam makan siang.

Dan hari ini menjadi pengecualian. Masih ada yang mesti kuurus makanya aku tertahan di sini. Dan ya, mau tidak mau aku memutuskan menerima ajakan Ratih ke kantin.

Berbeda dengan Dewi, aku lumayan dekat dan nyaman dengan Ratih. Alasan paling mendasar yaitu Ratih yang benar-benar menganggapku sebagai teman seprofesinya. Dia tidak seperti Dewi yang punya perasaan lebih terhadapku. Ditambah lagi, perempuan berhijab ini sudah punya calon dan rencananya tahun depan akan menikah.

Memang, walaupun punya calon bahkan tanggal telah ditentukan sekalipun, perasaan seseorang masih bisa berpaling. Tapi aku yakin dengan Ratih. Sebagai laki-laki, aku tentu punya intuisi tersendiri jika seseorang punya ketertarikan padaku. Maksudku, aku tidak sedenial itu.

Ratih itu cocoknya cukup jadi temanku.

“Jam segini pasti kantinnya penuh,” kataku setelah mengintip jam tanganku.

“Sepi, jam makan siang udah lewat,” ucap Ratih yakin.

Aku manggut-manggut.

“Eh, ngomong-ngomong, lo deket sama Dewi?” Melihatku mengernyit, Ratih melanjutkan. “Dalam konteks, kedekatan antara pria dan wanita.”

Masih dengan kaki yang terus mengayun, alisku terangkat setelah mendengar pertanyaan Ratih. Tidak seperti dosen-dosen lain yang gencar menjodoh-jodohkanku dengan Dewi, Ratih tidak pernah menyinggung masalah pribadi semacam ini denganku.

Dia bukan tipe orang yang kepo. Makanya aku agak kaget dia tiba-tiba mengorek hubungan yang tidak pernah terjadi antara aku dan Dewi.

“Oke. Lo pasti punya alasan kenapa sampai nanya kayak gini ke gue, Ibu Ratih,” tanyaku sedikit bercanda.

Ratih mengangguk samar. “Beberapa hari lalu, Bu Dewi nanya-nanya gue. Katanya, kita punya hubungan apa? Kok kelihatannya dekat.”

Baiklah. Sepertinya aku sudah bisa menebak ke mana arah pembicaraan kami.

“Gue jawab kita teman. Padahal dia tau gue mau nikah, masa curiga kita ada sesuatu.”

Aku menjejalkan satu tanganku ke saku celana sambil geleng-geleng. “Gue enggak ada hubungan apa-apa sama Bu Dewi.”

“Beneran?” Ratih menyipitkan mata. “Takutnya gue menghambat progres hubungan kalian.”

“Progres?” Aku terkekeh mendengarnya. Progres apanya kalau berbincang singkat dengan Dewi saja aku jarang. Oh, tidak. Mungkin lebih tepatnya, aku yang menjaga jarak. “Ada-ada aja.”

“Ya, kan, sebagai sesama perempuan, gue cuma mencoba menghargai. Makanya gue nanya.”

“Oke, cukup. Pertanyaan lo udah terjawab, kan?” Aku berusaha menyudahi topik pembicaraan kami.

“Sudah, Pak.”

Akhirnya kami beriringan menuju kantin dalam diam hingga sampai di sana. Ternyata Ratih tidak berbohong. Suasana kantinnya lengang, hanya ada beberapa meja yang terisi.

Pandanganku secara otomatis terpaku pada salah satu meja. Kiya duduk di sana, dia menengok, dan netra kami bertemu. Hanya sepersekian detik, karena Kiya buru-buru membuang muka.

Alisku terangkat, tidak habis pikir. Ingin rasanya aku segera menghampirinya dan menanyakan langsung padanya, apakah di matanya aku ini begitu menakutkan sampai-sampai dia tidak sanggup berlama-lama saling tatap denganku?

Jujur saja, sikapnya itu sedikit menyentil harga diriku.

“Mau pesan apa?”

Suara Ratih mengalihkan pandanganku dari punggung Kiya ke papan menu. “Mi rebus pake telur. Minumnya es teh,” pesanku tanpa pikir panjang lalu mengembalikan pandanganku ke arah perempuan itu.

“Saya nasi campur, minumnya air putih aja.”

Setelah memesan, aku melangkah agak cepat untuk memilih posisi tempat duduk. Meja yang kupilih sejajar langsung dengan meja Kiya, namun aku sengaja memberi jarak dua meja agar tidak terlalu dekat.

Sembari menunggu pesanan dan merespons Ratih yang bercerita tentang beberapa mahasiswanya, sesekali aku melirik samar ke arah Kiya. Berbeda dengan dua temannya, dia jauh lebih tenang. Ketika kedua temannya asyik bercengkerama, Kiya hanya tersenyum tipis dan sesekali menyahut.

Jika disandingkan dengan Ian, kurasa mereka akan cocok.

“Makasih.”

Lagi-lagi suara Ratih menyadarkanku. Begitu aku berhenti memerhatikan Kiya, pesananku telah tersaji di atas meja. Sebelum meraih sendok, untuk kali terakhir aku meliriknya. Kali ini Kiya tengah mengutak-atik ponselnya.

Mendadak aku teringat Kiya yang punya hobi menulis. Hari ini tanggal berapa? Melupakan mi rebusku, aku malah meraba saku celana mencari ponsel. Tanggal 5 Juli, berarti besok info lomba yang diadakan IYAGI keluar.

Entah mengapa, aku tiba-tiba terpikir membiarkan Kiya tahu lebih dulu. Tapi bukankah ini menyalahi peraturan? Aku terdiam, sedang menimbang-nimbang. Sebenarnya tidak ada bedanya dia tahu hari ini atau besok, namun ada keinginan lain yang ternyata mengusikku.

“Mau ke mana?” tanya Ratih saat aku bangkit dari dudukku.

“WC,” jawabku bohong lalu bergegas meninggalkan kantin.

Tidak butuh waktu lama, ponsel Ian yang kugunakan berkomunikasi dengan Kiya telah berada di tanganku. Dalam perjalanan kembali ke kantin, aku mengirimkan pesan terkait lomba. Tidak secara mendetail, hanya mengatakan padanya untuk bersiap-siap jika berminat.

Tepat saat aku sampai di kantin, balasan Kiya masuk. Mataku mencarinya tanpa sadar. Dia masih di sana, namun perhatiannya sepenuhnya tertuju ke ponselnya dengan senyum merekah dan tatapan berbinar.

Senyumnya menulariku.

Aku duduk di kursiku lalu membalas pesannya. Setelah berhasil terkirim, aku mengangkat pandangan dan lagi-lagi meliriknya. Ekspresinya berubah drastis, tidak seperti beberapa menit lalu.

Alis terangkat, senyum kecil yang bertahan di wajahnya, kedua ibu jarinya yang mengetik cepat, dan gerakan buru-burunya mendorong kacamatanya yang melorot. Entah kenapa, itu terlihat lucu di mataku.

“Yan, nanti lo jadi kan ke gramed?”

Aku menoleh cepat ke arah Ratih. “Huh?”

Ratih mengernyit. “Nanti, gramed,” ulangnya lebih singkat.

“Oh, jadi,” kataku. Tadi pagi, aku memang membuat janji akan bertandang ke toko buku sekalian mengantarnya pulang.

Ponsel dalam genggamanku bergetar lagi, namun mataku lebih dulu mengarah ke mangkuk di hadapanku. Kenapa aku sampai melupakan makananku?

Harusnya aku tak sesemangat ini. Semua yang kulakukan untuk Ian.

It's You, But Not YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang