Makasih untuk kalian yang setia nunggu ceritaku yang sering hiatus ini(っ˘̩╭╮˘̩)っ
Happy reading❤️
💌💌💌
“Sori, Yan. Gue enggak jadi ikut.”
Kira-kira begitulah kalimat permintaan maaf yang Ratih ucapkan ketika calon suaminya mengabarkan akan menjemputnya. Dan itu artinya, janji yang sebelumnya kami buat batal.
Tapi bukan berarti aku ikut batal ke toko buku. Mumpung hari ini aku sedang kosong dan bosan jika langsung pulang ke rumah, jadi tidak ada salahnya menikmati me time di toko buku. Selain itu, ada novel yang memang ingin kubeli.
Bukan novel baru, tapi novel lama. Dulu, aku punya. Sayangnya, novel itu lenyap entah ke mana ketika Ian meminjamkannya pada temannya. Ian bukannya tidak menagih novel itu dari temannya, sudah dia lakukan.
Masalahnya, ternyata temannya itu dengan percaya diri meminjamkan novel itu pada temannya. Lalu alurnya kembali terulang hingga novel itu entah sampai ke tangan siapa.
Dan pada akhirnya, aku hanya bisa ikhlas. Merelakan novel yang kujaga baik-baik selayaknya anak sendiri hilang tanpa jejak.
Bicara soal uang, harganya memang tidak seberapa. Tapi kembali lagi, ini masalah kepercayaan yang diberikan pada orang yang dipinjamkan. Terkadang, aku jadi ragu atau bahkan enggan meminjamkan koleksiku pada orang lain.
Tepat saat aku melewati ruangan dosen, Pak Surya keluar dari sana. “Eh, Pak Rayyan. Pas banget.”
Ayunan kakiku berhenti lalu mengulas senyum. “Apanya yang pas, Pak?”
“Kata Bu Dewi, kamu berkecimpung juga ya di bidang penerbitan?” tanya Pak Surya.
Aku mengernyit sebentar. Setiap mendengar nama Bu Dewi, entah mengapa aku mendadak was-was. “Iya, Pak.”
“Suka baca buku?” tanya Pak Surya lagi. “Oh, khususnya novel.”
Meski belum bisa menebak ke mana arah pembicaraan dan alasan Pak Surya menahanku, aku tetap menjawab, “Suka, Pak.”
“Berarti saya bisa tanya-tanya kamu.” Aku mengangguk lalu Pak Surya melanjutkan. “Kebetulan anak saya yang bungsu juga suka baca novel. Lusa nanti dia ulang tahun dan rencananya saya mau kadoin dia novel. Tapi saya enggak ngerti sama bacaan dia.”
Seketika itu juga, aku merasa lega. Senyumku kini mengembang tanpa beban. “Ah, genre yang dia suka apa, Pak?”
“Saya enggak tau, tapi, sebentar” jawab Pak Surya sambil mengeluarkan ponsel dari saku kemejanya. Mengutak-atiknya sebentar lalu mengarahkan layarnya padaku. “Ini, saya fotoin raknya.”
Dari foto yang ditunjukkan Pak Surya, ada beberapa judul maupun penulis yang kutahu. Jadi, aku bisa langsung tahu novel apa yang sekiranya akan disukai anak Pak Surya.
“Kamu bisa kasih saya rekomendasi novel yang kira-kira anak saya suka?” tanya Pak Surya lalu menyimpan kembali ponselnya.
Aku mengangguk. “Pak, kebetulan saya mau ke toko buku. Gimana kalau saya aja yang beli, besok saya bawa novelnya,” tawarku.
“Jangan. Saya ngerepotin kalau gitu,” tolak Pak Surya.
“Enggak apa-apa, Pak. Bapak mau beli berapa novel?” bujukku lagi.
Pak Surya terdiam sebentar, mungkin sedang menimbang-nimbang tawaranku. “Aduh, makasih banyak ya, Pak Rayyan.”
“Sama-sama, Pak.”
“Kira-kira tiga cukup?”
**
Hampir setengah jam berkeliling, aku berhasil mendapatkan tiga novel pesanan Pak Surya. Bukan perkara sulit menemukan novel Chicklit yang banyak digemari anak remaja zaman sekarang.
Kini, giliranku mencari novel yang memang menjadi tujuan awalku datang ke toko buku.
Itu dia!
Sherlock Holmes. Tangan kiriku yang bebas terangkat ingin menggapai buku tebal itu, namun disaat bersamaan tangan seseorang muncul dan aku malah memegang tangannya.
Aku menoleh cepat dan tidak menyangka sosok yang kutemukan di sebelahku. Sama sekali tidak terbayangkan, aku akan bertemu Kiya di tempat ini. Kebetulan yang terlalu kebetulan. “Kiya?”
Matanya yang terbuka lebar mengerjap dua kali lalu buru-buru menarik tangannya yang ternyata masih kupegang. “Sore, Pak.”
Aku mengangguk satu kali, melirik dua novel yang berada di keranjangnya, lalu bertanya, “Kamu ... sendiri?”
Kiya mendongak, menatapku sekilas. “Iya, Pak.” Lalu meraih buku yang sempat tertunda karena insiden barusan.
“Boleh saya kasih saran?” kataku dan langsung menarik atensi Kiya.
Aku menunjuk 9 buku seri dari Sherlock Holmes lalu beralih menunjuk dua buku Sherlock Holmes dengan ketebalan kurang lebih 5cm di rak atasnya. “Dua buku ini isinya sama. Bedanya, ini versi yang dipecah jadi 9 bagian. Sementara ini dipecah cuma jadi 2, makanya lumayan tebal. Dari segi harga, yang tebal ini jauh lebih hemat.”
Ini pertama kalinya, Kiya benar-benar memfokuskan pandangannya dan tidak mengalihkannya sedikit pun selama aku menjelaskan. Dia mendengarkan dengan alis terangkat, tanda tertarik. Namun begitu aku berhenti, Kiya segera menurunkan pandangannya.
“Makasih sarannya, Pak,” ucapnya pelan sembari memindahkan dua novel tebal karya Sir Arthur Conan Doyle dari rak ke keranjangnya kemudian melirikku ragu-ragu. “Kalau gitu saya duluan, Pak.”
Belum sempat membalas, Kiya berbalik dan berjalan cepat meninggalkanku. Tapi entah mengapa, bukannya tersinggung, aku malah menganggapnya lucu. Kukira penilaian Kiya telah berubah terhadapku, ternyata sama saja.
Setelah mengambil novel Sherlock Holmes, aku mengikuti Kiya menuju kasir. Menaruh keranjangku di meja kasir lalu menyerahkan kartu debitku. “Tolong sekalian sama yang ini.”
“Pak.”
Aku menoleh ke arahnya dan tersenyum melihat matanya yang terbuka lebar. “Anggap aja ini pengganti kacamata kamu yang rusak.”
“Tapi,” Kiya mengedarkan pandangan terlebih dulu lalu melanjutkan, “saya beli lumayan banyak, Pak.”
Aku mengangkat sebelah alisku. “Bukannya harga kacamata lumayan mahal?”
Menyerah, Kiya berhenti menatapku dan menunduk. “Makasih banyak, Pak.”
Lagi-lagi ujung bibirku tertarik melihat tingkahnya. Sepertinya, aku harus meminta maaf padanya karena berani menilai hanya dengan melihat fotonya waktu itu. Apa yang aku bayangkan sangat jauh berbeda dengan Kiya yang kini berdiri di hadapanku.
“Sekali lagi makasih banyak, Pak,” kata Kiya lagi saat kami keluar dari toko buku. “Saya duluan, Pak.”
“Kiya!” panggilku.
Kiya berbalik.
Sejujurnya, aku juga ragu untuk mengutarakan niatku padanya. Walaupun dia tahu aku dosennya, menawarkan tumpangan mungkin tetap jadi sesuatu yang aneh untuknya. Benar, kan? Tapi di sisi lain, aku merasa harus menawarkan terlepas dari dia menerima atau menolak.
Aku mengambil satu langkah mendekat ke arahnya. “Emm, rumah kamu di mana? Kalau kamu mau, saya bisa antar kamu pulang.”
Tanpa pikir panjang, Kiya segera menggeleng. “Enggak usah, Pak. Saya bisa pulang sendiri. Makasih, Pak.” Dan nyaris berlari menjauh dariku.
Terlepas dari tawaranku, kurasa Kiya menarik garis yang terlalu kentara di antara kami. Atau jangan-jangan aku pernah punya salah tanpa aku sadari?
KAMU SEDANG MEMBACA
It's You, But Not You
Chick-LitKiya ingin menjadi seorang penulis meski ditentang keras oleh ayahnya. Mulai dari menulis sembunyi-sembunyi, mengunggah karyanya di platform menulis, dan ikut lomba. Semua Kiya lakukan tanpa sepengetahuan orang-orang di rumahnya. Di tengah usahanya...
